Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Monday, September 15, 2025

Membangun Ruang Diskursif

Di tengah proses mencermati dan belajar tentang perkembangan manusia dengan segala kompleksitasnya, saya semakin menyadari ruang diskursif sudah benar-benar sekarat di tengah masyarakat kita. Ruang yang sama maksud ini adalah suatu arena di mana gagasan, ide, wacana dan pengetahuan bisa dinegosiasikan, diperdebatkan dan sekaligus dihargai sebagai gagasan dari seorang manusia! Bagi saya ini esensial. Karena di "ruangan" ini manusia harus membuka topeng, menaruh semua status, dan mengesampingkan semua hierarki, sehingga yang muncul dan bertarung adalah semata-mata hanya ide, gagasan, argumentasi dan diskusi. Orang tidak boleh lagi mundur dan bersembunyi di balik statemen dan sikap yang ditunjukkan, karena di saat bersamaan argumentasi sebagai basis penting bagi reasoning harus dikedepankan dan diperdebatkan. 

[Gambar hanya pemanis. Saya comot dari media sosial yang liar]

Di mana ruangan dan arena yang bisa menjadi alternatif? Saya terus coba mencarinya, hingga akhirnya saya menemukan di mana saya bisa melakukannya secara langsung, yaitu ruang kelas di sebuah universitas!

Jika sebagian pembaca menakar ada ambisi yang berlebihan dari statemen ini, jawaban saya terletak pada abstraksi begini: Saya mendapati suatu kecenderungan semakin masifnya "polisi moral", "tekanan moral", "standar aturan", "hierarki standar dan selera," dan sebagai dalam kehidupan sosial kita. Dalam konteks bernegara, kita sedang mengalami pendisiplinan pikiran dan daya pikir sekaligus: Orang-orang mau demo harus sopan, mau mengkritik harus dengan solusi, dan sebagainya. Semua itu diproduksi oleh aparat negara, oleh mereka yang berkuasa, mereka yang punya power dan bahkan status quo dan sifatnya masif-sistematis, dan tentu saja menekan. Semua narasi itu menjadi tekanan besar yang mengerangkeng--bahkan pun untuk berpikir. 

Pembungkaman terhadap diskursus begini sangat berbahaya. Karena logika dan rasionalitas bisa jongkok dan payah dalam situasi demikian.

Tapi naifnya, beberapa pengalaman dan praktik media sosial--hanya karena bisa anonim, menjadi pendengung (influencer), dan sebagainya--menjadikan media sosial sebagai kendaraan untuk melampiaskan uneg-uneg yang sporadik dan chaos. Orang bisa bertindak apa saja, dengan tanpa kesadaran logis! Kemudian minta maaf sedemikian rupa setelah mendapat tekanan dan teguran, dan terutama ancaman hukuman. Ini juga berbahaya. Kita menjadi barbar. Tidak punya landasan logika dan kesadaran. Potensi hebat manusia seperti akal-pikir bisa punah kalau begini terus-menerus.

Untuk itu, mulai semester ini, secara tegas saya sampaikan ke teman-teman mahasiswa di depan kelas secara radikal: (1) kalian bebas bisa kuliah atau tidak, karena presensi tidak saya hitung. Saya hanya ingin belajar bersama dengan orang-orang yang ingin belajar dan berpikir; (2) kalian tidak perlu menghormati saya hanya karena saya dosen Anda. Tunjukkan stance, sikap, attitude, dan moral yang Anda pegang dan Anda yakini. Bahwa saya menghormati orang lain adalah sikap dan moral saya. Tapi, kalian harus punya reasoning dan argumentasi mampu memberikan rasionalisasi terhadap apa yang Anda tunjukkan dalam praktik hidup Anda (saya pastikan bahwa saya akan membuka diskusinya di kelas ini). Saya bisa di-WA kapan saya Anda mau, boleh pakai salam, selamat, hormat dll., saya tidak butuh dan tidak memperhatikan itu. Jadi semua hal terkait standa moral, kita diskusikan di kelas.

Belum selesai menyampaikan itu, seorang mahasiswa yang duduk paling depan di kelas tiba-tiba berdiri dan mengambil HP yang berdering dan sedang dicas, lalu mengobrol dengan suara orang di ujung jaringan sana. Tanpa pamit dan izin kepada saya sebagai dosen yang berdiri tepat hanya sekitar satu meter! Saya terdiam dan tersenyum senang. Karena saya mendapati contoh yang bagus terhadap apa yang saya sampaikan (tapi orang ini adalah sosok yang menarik dan kompleks, di pertemuan kedua semakin saya mendapatkan konfirmasinya). Setelah selesai teleponan, saya minta segera duduk.

Saya secara verbatim tidak ingat pasti obrolan dengan sosok mahasiswa yang satu ini. Tapi kira-kira begini....

"Mas, terima kasih kamu sudah menawarkan suatu praktik dan contoh menarik."

Dia diam dengan tatapan yang kosong.

"Saya mau bertanya, apakah  kamu sudah biasa melakukan hal begini. Di depan guru kamu biasa tidak memperhatikan atau bicara sendiri; di depan keluargamu yang sedang mengobrol suatu hal serius tapi kamu main HP atau ngerjain yang lain? Apakah begitu itu sudah menjadi kehidupanmu?"

Dia masih diam. Saya khawatir dia belum paham. Untuk itu, saya tegaskan lagi.

"Mas, kamu tidak salah melakukan itu. Saya tidak punya hak menyalahkan kamu. Santai ya. Saya dan mungkin teman-teman yang lain ingin mendengarkan kenapa kamu melakukan itu? Apakah itu sudah menjadi kebiasaan atau gimana?"

Dia akhirnya membuka suara, "Maaf, Pak, saya salah."

Saya langsung bilang ke depan kelas secara umum. "Bukan itu jawaban yang saya harapkan. Yang saya harapkan adalah kalian dengan kokoh bisa memberikan alasan, berargumentasi dan mempertahankan sikap yang kalian ambil dan lakukan, jika itu adalah ekspresi dan praktik yang berdasarkan pada kesadaranmu, atau dari basis habitus yang kalian lakukan. Saya dengan senang hati akan mendengarnya, standar mana dan ukuran apa yang kalian gunakan."

Mungkin karena ini kelas angkatan 2025, mahasiswa semester satu, diskusinya masih sepi. Tapi saya, karena memilih ingin membangun ruang diskursif, ingin terus menstimulasi bagaimana mereka mendapatkan pengetahun, seperti apa caranya, dan bagaimana aplikasinya.

Terima kasih, mahasiswaku semua. Saya belajar kepada kalian! Di kelas saya kita bangun ruang diskursif karena di luar sana kalian sudah dijinakkan oleh sedemikian rupa sistem, struktur dan institusi.

  


Thursday, March 20, 2025

Elegi untuk Kedua Anakku









—Ef & Mosada

 

20 Maret 2025
adalah permulaan hari-hari gelap
bagi tanah dan air yang kalian tapak
saat hujan berlumpur atau
saat babahmu terkapar dihantam
kepedihan hidup
kekecewaan
dan sakit yang panjang
 
Babahmu mencatat hari-hari ke depan
pada dua lembar takdir, anakku
satu lembar berisi roman wajahmu
menjalarkan kebahagiaan panjang 
dan tak akan pernah padam
satu lembar lainnya adalah kekosongan
lobang menganga yang menancap
oleh pisau yang dihunus si pecinta
yang kehilangan hati dan jiwanya
di pundak seorang lelaki yang sakit
di hati lelaki yang ringkih
 
Seperti Hank Williams
dalam Men with Broken Hearts
babahmu mencatat pada lembar kedua
God, why must these living dead
know pain with every breath?
 
Lima tahun menjadi mayat berjalan
lima tahun menatap jalan-jalan mati
 
Lima tahun kekuasaan
lima tahun pengkhianatan!
 
Lima tahun!
 
20 Maret 2025