Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Sunday, December 15, 2013

Kütüphane

Benim için en iyi mekan kütüphanedir. O insanların hayatı için çok faydalıdır. Teknolojiler, eğitimler, fenler ve uygarlık onun mükkemmel fonksiyonundan dolayı hızla gelişiyor. İslamın ortaçağ tarihlerinde, 8 yüzyıldan 13 yüzyıla Abbasiler Dönemi gibi, kütüphanelerde camiiler kadar özeldir. 

Bir bilgiyi aramak için ilk gittiği yer kütüphanedir. Ben bir şehirde ınsanları "Burada kütüphane nerededir?", dedim. Her zaman kütüphanelerde çok mutluyum.

Konya’da dersten sonra, yurda gitmeden önce, kütüphaneye gidiyorum. Karatay Üniversitesinin Kütüphanesine gittim. Ama orada kitaplar çok az. Selçuk Üniversitesinin Kütüphanesinde, Karatay ve Merkez Kütüphanelerindeki kitaplardan daha çok kitap var. Selçuk Üniversitesinin kütüphanesinde üçüncü katta sosyoloji kitapları çok var. Üçüncü katta bir oda sosyal bilimler kitapları hakkında. Derse girmez isem sık sık kütüphaneye uğruyorum. Bende onların üye kartı var. Gençlik Merkez’inde de kayıt yaptım çünkü orada bir kütüphane var.

Fenomena Pengemis

Suatu hari di akhir bulan Oktober 2013, saya berkunjung ke salah satu situs klasik di Konya, Turkey: Sille, tempat perlintasan orang-orang Romawi ataupun Konstantinopel menuju Jerusalem untuk ibadah. Di tempat ini nyaris segala hal tampak sebagai kemurnian sebuah desa--belum dijamah urbanisasi.

Tuesday, December 10, 2013

Benim Adım Kar

This writing in Turkish --looking like in haste to appear-- is my first experience in touching snow ever in my life. Something strange happened when the time of snow-flurry was suddenly coming out of the window in which I sit at the studying room in Alaaddin Dormitory, Selcuklu, Konya, Turkey. Believe me that I never saw how it came down into earth and how it looked like to the people, strange person like me. I experienced a winter, yes I admitted it, when in one short-visit to Australia on June 2011. But snow was never and snow just comes on the peak of mountain on southern Aussie! So it's normal when it was coming and I felt weird of myself.

Sunday, December 08, 2013

Sumbu Sejarah Kitab-Kitab Suci

Majalah Gatra ed. 7-11 Des 2013
Ada yang terabaikan dalam tradisi keberagamaan kita sejauh ini: aspek historisitas kitab suci dari agama samawi. Sebagai agama yang sama-sama mengklaim dirinya hadiah dari Allah, Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai aspek-aspek historisitas yang tidak bisa diputuskan satu sama lain. Ketiga agama ini nyaris mempunyai sumbu yang sama. Namun begitu, sedikit sekali upaya untuk mencari sumbu tersebut sebagai kesadaran rekonsiliasi atau, setidaknya, ia menjadi titik temu untuk melihat khazanah sejarah masing-masing yang terhubungkan tadi. 

Tuesday, December 03, 2013

Bersama Hujan Akhir November

ini hujan akhir november
seperti menutup perayaan
daun-daun kepada tanah
melepas ketiadaan

yang cokelat di tanah ini
adalah wajahku yang kau simpan
pada pucuk-pucuk daun

ada yang gugur setiap musim
selalu tentang rotasi waktu
perjumpaan yang sama
hujan akhir november
meremasnya
jadi bisikan yang jauh

kita sebenarnya telah tiada
selain hanya merayakan nama
dan selalu sama di akhir cerita

ke bukit alaaddin
hujan akhir november
menemuiku, juga mereka
sebagai neo-sisipus
mengemas angin
mengitari bukit
menatap jalan pulang
dalam gerbong tram
dalam rintihan sunyi
di dadanya

balon di tangan anak-anak itu
di sebuah taman kota yang ceria
tiba-tiba meletus. mereka histeris
hujan akhir november
akan segera pulang
untuk badai musim dingin
sebentar lagi.

setelah itu
aku akan bersama badai musim dingin?

Thursday, November 28, 2013

Türkiye’deki İlk Günüm Hakkında



benim mükemmel öğretmenım
20 Eylülde Türkiye’ye İstanbul Atatürk Havaalanına Endonezyalı bir arkadaşımla geldim. Havaalanındayken, yedi saat transit vardı, ona “Burası bizim rüyamız biz buraya okumak için geldik,” dedim. Arkadaşım “Bu andan itiberen bir hikayeye başlayalım,” dedi. Birdenbire onun karizmatik yüzü bana gülümsedi. Bir dakika sonra birlekte güldük. O andan itibaren İstanbul’da vaktimin boş geçmesini istemiyordum, benim için o şehir çok önemli cünkü. İstanbul tarihi şehirlerinden biridir o yüzden İstanbul’u çok seviyorum böylece bu duygularım beni bu sehri dolaşmaya yönlendirdi.

Saturday, November 02, 2013

Touching The Autumn

One upon a time, in the last year of Madrasah Ibtidaiyah (MI), I found a small book titled “Taman Sang Nabi” (The Garden of The Prophet), a lyrical prose by Kahlil Gibran, a magnificent poet from Lebanon. It belonged to my older brothers—either Hermanto (alm.) or Muhli—in which they bought at Pondok Pesantren Annuqayah Nirmala. I forgot whose book belonged to because they were in the same hobby as books collector and also as bookworm and they entirely affected me in loving books. I must say thanks to them. I remembered well the book: black cover with pinked-orb picture just like an earth or maybe like a flower sheath. I don’t know exactly. 

That book embraced me with a lot of something strange and difficult to understand at that time. It depicted well a small piece of autumn with marvelous scenery of powerful words as Gibran always did with their outstanding works. I was wrapped with a romantic but abstract and imaginary background: Mushtofa, the prophet seeking the truth in miles-away distance. There, alongside the sojourning path of the protagonist Mushtofa, I recognized autumn with magical touches under Gibran’s hand who beautifully tucked a breath of it; how trees stood still; how leaves fell down into the earth; how winds jolted the leaves and nestled them on the ground; and how Mushtofa (or Gibran himself) felt during his pursuit of somethingness! Yes, I felt those to wonderfully imagine such kind of depiction of autumn, almost in all Gibran's works.

Then, the other masterpieces come into my desk: Orhan Pamuk, William Shakespeare, Robert Frost, William Blake, O Henry, Akutagawa, Najib Mahfouz and other writers like Rainer Maria Rilke and also songs praising the autumn. Of course I will never forget November Rain by Gun 'N Rose. I was impressed with this piece of poem below:

"Now cast your shadow on the sundials,
and loose the winds on the open fields." 

(by Rilke ~ Autoumn Day)

Today I feel it deeply here in Anatolia peninsula. I take off my shoes to directly feel how wind touches my foot and unites it into the ground. Yes I admit this all as very romantic season as people always impress of autumn time. But I feel more than just a romantic time embodied by the season. It’s melancholy. Yes romanticism of melancholy!

Sunday, October 27, 2013

Untuk Sumpah Pemuda

Waktu itu, suara mereka bergetar dari relung jiwa dan aorta yang terkepal; sumpah para pemuda dan pemudi yang ingin menyongsong masa depan bangsa dan negaranya bersatu-damai-tenteram dalam kebersamaan dan keberagaman; pemuda dan pemudi yang siap jadi tiang negara. Lihat bagaimana proses mereka sebelum mengumandangkan sumpah, mari cermati bagaimana, di saat sikap kesukuan sangat dominan, mereka terpanggil memahatkan sebuah janji kebersamaan di bawah suatu nama negara yang belum lahir. 

Tapi ruh suara mereka dari waktu ke waktu makin terdengar sumbang, ditekan pelan pada ruang-ruang pengap sebelum dikuburkan, dibiarkan menguap dibubul asap dari sana-sini, tak dihidupkan sebagai sebuah benang merah sejarah, selain hanya sebentuk seremonial-artifisial. Ya, seremonial tanpa penanaman nilai yang berkelanjutan--dan akhirnya sejarah besar sebagai tonggak kebhennikaan ini pun rapuh. 

Saat ini, kami tahu ada Sumpah Pemuda, tapi jangan tanya tentang nilai-nilai praktis yang dikandungnya, atau yang mesti dilakukannya. Selanjutnya, maafkan jika kami harus benar-benar mengingat Sumpah Pemuda hanya karena angka di kalender menunjuk 28 Oktober!

Thursday, October 24, 2013

Monday, October 21, 2013

Duh, Rasa Sayange!


Menjelang Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2013 kemarın, saya mendapatkan sebuah hadiah yang secara spontan memaksa saya untuk segera terbangun dan menerawang tentang anggitan nasionalisme yang terkandung dalam hayat. Kejadian itu di akhir September, pada sebuah kelas internasional di mana saya bersama mahasiswa dari berbagai negara sedang belajar di kelas persiapan bahasa Turki di sebuah universitas swasta di kota Konya, Turkey.

Hari pertama akan menjadi wahana perkenalan bagi semua mahasiswa asing yang sedang berkumpul dalam satu kelas. Seperti yang diminta dosen, kami memperkenalkan nama, asal negara, tokoh kebanggaan dari negara masing-masing, termasuk lagu kebanggaan: boleh lagu kebangsaan ataupun lagu-lagu lain yang spesial bagi kami. Saya menyebut Soekarno sebagai tokoh kebanggaan dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebanggaanç Begitu juga yang dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang berjumlah sekitar 25 orang. Mısalnya dari Afrika banyak menyebut nama Nelson Mandela sebagai tokoh kebanggaan mereka.

İlk Türkçe Kompozisyonum

Endonezya’dan beş arkadaşım ile geldim. Bir kız ve dört erkek var. Onlar farklı bölümlerden aynı üniversite’de yani Selçuk Üniversitesinde okuyorlar. Benim bölümüm Sosyoloji, sosyal bilimler seviyorum liseden beri. Benım araştırmam azınlık, barış sorunları, toplumsal değişim ve barış sağlayıcı. Genellikle barış süreçlerinin sorunları ve çözüm yollarını araştırmak istiyorum. Mümkünse Kürt toplumu hakkında araştıracağım. Türkiye’yi seçiyorum çünkü başkanı Erdoğan altında hükümetin geçiş çok görünür ve zorlu. Şimdi burada Kürt hakkındaki bilgiler Kürt arkadaşlarımdan toplamak istiyorum. Onlardan biri Berivan Koç, benim ılk Kürt arkadaşım. Hem de her zaman sosyal söylemler hakkında gazete ve kitaplar okurum ve bir gün makale ve hikaye yazarım.

Konya’da mutluyum çünkü burası sakin ve sessiz. Kolayca arkadaşlar yaparım. Sınıfta şanslıyım çünkü gerçekten iyi arkadaşlarım ki çok hızlı Türkce öğreniyorum. Oda’da benim Türkçe hocam. O ıyı Türkçe ve Inglizce biliyor. Onun adı Emre ve onun kuzeni. 

Bu bayram ben Türkçe çalıştımı çünkü tek başıma her şey yaparım. Bu bayramda Endonezyalı arkadaşlarım ile Sille’ye gittim. Daha önce sate, soto, rendang, sambal terasi, gulaı kambıng, tengkleng gibi Endonezya yemekleri pişirdik.

Friday, October 18, 2013

Lobang Sekularisme

Malam ını, Jumat 18 Oktober 2013, tepat sehari sebelum menginjakkan kaki di Turki satu bulan silam, saya terantuk pada sebuah peristiwa yang baru saja terjadi: kami, sebagian dari teman-teman PPI Konya—yang berjumlah sekitar 13 orang—diminta untuk menghadiri undangan orang Turki yang rumahnya, sebentuk flat sederhana di daerah Meram, disewa oleh teman-teman pelajar Indonesia. Orang Turki ini termasuk sangat dekat dengan pelajar Indonesia di Konya. Bahkan, konon, orang ini berharap flat miliknya berlantai tiga itu dipakai oleh anak-anak Indonesia semua....

Pak Faiz, mahasiswa doktoral dan sekaligus sosok yang dituakan dan mengayomi kami, menelpon saya yang tinggal di sebuah asrama di ujung, tepatnya di luar keramaian kota Konya. Beliau menanyakan kesiapan saya dan dua teman untuk menghadiri undangan. Setelah saya komunikasikan—karena bertepatan malam ini juga ada janjian untuk jemput teman yang sedang liburan ke Kayseri—akhirnya kami bertiga menyanggupi untuk ikut bersama rombangan yang lain. Meeting point-nya di rumah Pak Faiz. Maghrib kami tiba, shalat berjamaah, lalu bagi-bagi juz Al-Qur’an untuk kami baca.

Deg! Saya terkesima saat itu. Untuk menutupinya, saya segera pinjam Al-Qur’an di lantai 3. Saya mulai menerka, peristiwa ini akan menarik dicermati.

                                                                   ###

Sunday, October 13, 2013

Dua SMS dari Dosen

Sekitar tanggal 22 Agustus 2013, selepas urusan visa untuk studi di Turki selesai, di suatu sore yang sembab—karena udara dan hawa kota Jakarta—saya duduk di serambi masjid sehabis shalat ashar untuk menunggu keberangkatan kereta menuju Yogyakarta. Saat itu, saya menabur pandang ke separuh langit dari sela-sela atap masjid di seberang stasiun Senen. Di tengah keberingasan raung kendaraan kota, saya merenungi masa silamku, khususnya saat-saat kuliah S1 di UIN Sunan Kalijaga. Masa-masa itu menjadi semacam durasi yang penuh emosi dalam hidup saya, penuh dengan perjuangan dan pemberontakan. Saya merasakan itu semua sebagai bagian dari hidup yang tak akan pernah saya lupakan. Masa-sama itu harus saya tutup dalam memori yang seindah mungkin, sebaik mungkin—tak melukai siapa pun!

Tiba-tiba terbersit dalam pikiran bahwa saya harus berpamitan kepada guru (dosen) di univeristas. Saya pamit baik-baik bahwa mungkin saya tidak sempat bertemu dengan mereka dan mengucapkan terima kasih atas ilmu dan hikmahnya selama saya ada di meja S1 selama kurang lebih 5 tahun lebih. Saya kirimkan pesan singkat itu kepada semua dosen yang pernah mengajar saya. Sejujurnya, saya sangat terharu dengan apa yang saya lakukan itu. Tidak spesial sebenarnya, tapi saya anggap sebagai kewajiban saya untuk minta doa dan spirit dari mereka. Saya tidak peduli dibalas atau tidak.


Monday, October 07, 2013

Konya’da İlk Hasta

It’s not so good for me at all, or actually it’s so damn ashamed, when I am so brave to take the risk during the weird weather by trying or maybe arrogantly like testing the “other weather” out of my life, in Indonesia as tropical country, by wearing a slight T-Shirt just like I used do in my country. Here in Turkey I feel anything is different all about weather. I am enforced to take a breath of a cold air, very cold air! Actually it’s not my first winter I have ever experienced. I was in short visit to Aussie during the winter time in 2011. But here I will stay longer, not just a short time like I did before. So what I’ve done here with “testing the weather” was something silly and my friend, Asrul, will totally laugh at me since he knows I am in bed rest for several days. My body is like trampled by this gigantic experience of weather.

So, I have to submit all doctor's saying about my conditionö with this new-look-like sedative tablet: Benical cold, Rastel 25mg and also Androrex. Yup, it’s my first ill here, like an allergy for cold, suffering throat (boğaz hastası) then getting headache and cough! October 6, 2013. I must go to doctor and fix all things. I am fortunate to have awesome friends from Indonesia: Asrul, Agung and Ghalib. The last one can speak Turkish and helps us a lot. I went to university hospital then unfortunately the pharmacy is not inside. We should bring the recipe outside and buy my medicine from there. It’s something wondering for me when I know that it could not provide medicine.

But everything I enjoy, even this ill! By now I won’t play a game. I don’t wanna pay for something I made wrongdoing like this, 17 TL! Simply crazy!

Friday, October 04, 2013

Epuh Epuh Epuh

Ibu, setiap waktu aku selalu ingin menyapamu, mendengarkan suaramu dan doa-doa yang menguatkan. Doa Ibu telah menciptakan ruas-ruas pengalaman yang kuajalani bersama hari-hari. Apa yang kuhadapi hari ini adalah doa-doa ibu yang tak pernah padam. Ibu adalah harta satu-satunya yang tersisa untukku. 

Ibu, malam ini seperti hari-hari lalu aku selalu merinduimu lebih dari segala sesuatu. Semoga Ibu sehat selalu, seperti keyakinanku kepada doa-doa Ibu, tanpa batas ruang dan waktu, mengalir dalam deras daraku. Setiap saat, aku ingin memelukmu dan meyakinkan bahwa anakmu ini sehat-sehat selalu di sini, di kota tua bekas kerajaan Bani Seljuk yang mulai dikunjungi musim dingin, musim yang aneh yang selalu Ibu khawatirkan. Ibu, anakmu sudah belajar untuk bertahan dalam kondisi apapun sejak awal kali Ibu melepasku belajar dan berpetualang di Yogyakarta. Di sini pun sama, anakmu telah memerangi dingin dalam temperatur 2-10 C setiap hari. Dan aku tidak tahu, sebentar lagi musim dingin akan seperti 

Aku yakin Ibu pasti merasakan tubuh anakmu yang tergigil dingin, seperti selalu Ibu ceritakan tentang sakit yang mendera anak-anakmu hanya dengan menandai rasa nyeri di payudara kirimu, tempat aku dan anak-anakmu yang lain mengisap darahmu: ASI.

Ibu, terima kasih atas doa yang selalu menguatkan. Semua baik-baik di sini, anakmu hanya belum akrab dengan dingin yang aneh ini.

Wednesday, September 25, 2013

Memulai Keterasingan Baru

Salah satu hal yang paling berat aku pertimbangkan sebelum berangkat ke Turki, di samping keluarga kecilku di kampung, adalah seseorang yang selama ini bersamaku, mendukungku begitu penuh seluruh, dan ada pada setiap ruang-waktu yang tercipta, yang kami ciptakan bersama, dalam hidupku. Ia adalah byan. Seorang yang melampaui imajinasiku sendiri. Seorang perempuan tabah yang telah mengartikan kehadiranku sebagai pejuang yang tak mau kalah.

Kebersamaan yang lama telah membuatnya menjadi ada dan semakin utuh sebagai sosok keibuan. Atau aku menemukan cinta seorang ibu juga darinya. Keberadaan itulah yang telah membuatku (dan kita) selalu merasa penuh, mengisi waktu-waktu dalam kebersamaan. Dari sesuatu yang mungkin tak perlu pada awalnya menjadi ada dan penuh arti dalam kebersamaan yang saling mengisi dan menciptakan.

Aku udah lama sekali memulai kisah perjalanan ini, dengan seseorang yang datang dari rasa kekaguman dan aku menyambutnya dengan sebuah kisah yang biasa sebagai seorang lelaki yang mengagumi kesunyian. Ia datang menyalakan kebahagian, menemani kesendirian itu dan sekaligus melahirkan karya-karya besar bersama-sama. Dan waktu telah membentangkan ruang untuk belajar dan memulai sejarah hebat bersama.

Aku pun sadar, aku semakin kuat menulis karena kehadirannya yang menguatkan; menyelipkan mimpi di tengah mimpi-mimpi yang kutabur.

Ia sekarang lebih dari seorang apapun dalam diriku. Meski kadang menghilang dalam beberapa waktu dan banyak datang di waktu-waktu yang lain. Menjadi pelengkap kekurangan dan menambal ruang pengalaman dan tubuhku yang bolong-bolong.

Sepanjang waktu ia telah melampaui dari seseorang yang sekedar hanya kucintai. Ia telah berjalan dalam kekagumanku sendiri sebagai bidadari yang menunjuk langit malam, menandai fajar dan sekaligus menghadirkan matahari. Di antara tulisan-tulisanku, sebuah diari yang biasa kutulis sepanjang waktu, ia hadir menjadi ruh bagi setiap kata dan kalimat. Belantara aksara dan imajinasi yang tumpah ruah dalam setiap tinta waktu yang kupasang sebagai karya, ia ikut meniupkan ruh di sana, ikut menghadirkan eksistensinya. Setiap keberadaan diriku, ia hadir sebagai diriku yang lain. Menjadi manunggal dan utuh.

Kuat-kuatlah di sana, byanku. Temani kesendirian kita dengan kesunyian masing-masing. Dua tahun atau tiga tahun akan menjadi waktu yang mengancamku, dan menghukum kita dalam jarak yang teramat jauh. Aku di tanah dua benua selalu akan menjagamu dengan sekuatku sendiri.

Tuesday, September 10, 2013

Muurgedichten: Puisi dan Ruang Kota

Syahdan, di salah satu tembok kota bersejarah, ada puisi “Aku” karya Chairil Anwar, penyair kesohor yang mati muda dan nyaris menjadi kultus sebagai nama besar dalam sejarah kesusastraan Indonesia, potongan teks La Galigo dalam bahasa Bugis, dan puisi Ranggawarsita dengan aksara Jawa terpancang di sana. Dua puisi tersebut terpahat di sebuah tembok kota—sebagai mural—bersanding dengan puisi-puisi hebat dari sastrawan dunia, seperti William Shakespeare, Rainer Maria Rilke, Jorge Luis Borges, Marina Ivanova Tsvetayeva, dan Fakir Baykurt dengan bahasa mereka masing-masing.

Friday, September 06, 2013

Yang Maha Tembakau

bersama dua adik manisku menyiram tembakau
Bagiku, tembakau adalah bagian dari hidup yang tak bisa dipisahkan. Di samping Bapak dan Ibuku petani tembakau, Bapak juga pedagang tembakau di tingkat bawah (jadi pembeli langsung kepada petani). Tipe pedagang seperti Bapakku adalah pengepul, berjumpalitan di bawah, menjadi suruhan pemilik gudang. Maklum jika masa kecilku, di antara halaman rumah dan emperan, mataku selalu bertubrukan dengan gulu'an (bungkus rajangan tembakau yang sudah dikeringkan) dan potongan rajangan tembakau yang dibungkus platik kresek atau dibiarkan begitu saja tergeletak di lantai, di meja, di tempat duduk. Sangat amburadul, sepertinya. Tapi itulah hidupku bersama pedagang tembakau, Bapakku sendiri. Menurut cerita Ibu, Bapakku konon sukses menjadi pendagang (termasuk tembakau, grusuk, dan cabe) sehingga beliau bisa naik haji tahun 1993, saat aku baru berusia sekitar 7 tahun. Kata Ibu juga, Bapakku adalah pedagang yang tidak pernah bermasalah dengan petani, misalnya punya hutan, atau uang pembayaran untuk petani ditunda-tunda.


Wednesday, August 28, 2013

My Monday

It came over my door like a sudden gift to us, the Seroja's rumah kost lads, to look after it, keep it safe as possible as the way it is. It was Monday on mid-June 2013 when it was first time appeared with stunning and lit a bit wicked face, and then became the reason why I named it Monday, due to the bright Monday at the time--to shine spirit around the house and the lads. It knows I love it, snorts when it is around and often comes to sleep with me, near my ear! It's somewhat weird when hearing its deep breath directly.

While feeding it with milk sometimes, I make sure to send it down into the street in the morning, leave by itself, let it find its real world by playing around freely as mammalia does. I know it has its world around me, a lot of interaction with people, but I do not understand enough what it actually wants except feeding and caring as possible. I know, it's logical, that it is assassination if I serve it like human. No way!

I am just pretty sure that some people who, with personal interest or later institutionalized common-sense, say they love pets (animals in general) then serve them like their lives such human are little immoral. You know, as I stated above, they have their own world. Get them back into their lives now and forever! 

Friday, August 23, 2013

Masa Depan Kesunyian

Anakku kelak akan lahir--bukan dari rumah kardus ataupun dari halimun di sebuah pagi yang asing. Ia akan berdiri dalam pusaran hidup ini, hidup yang katanya diperjualbelikan, dirumuskan dalam angka, dinilai dalam hitungan kelas. Ya, hidup yang akan memaksamu berada dalam kubangan materi. 

Jika kamu sudah lulus kuliah, atau apalah namanya kelak, kamu akan dipaksa untuk menerima sebuah tirani mayoritas, semacam kesepakatan bersama--entah dari mana asalnya--bahwa kamu harus merengkuh banyak lembar uang atau kepingan kekayaan. Jika tidak, kamu akan dianggap gagal. Kamu harus pontang-panting mencari materi. Karena kebahagiaan dibangun dari lembar-lembar kekayaan. Kamu benar-benar akan menjadi mesin yang meraung-raung dengan jiwamu yang sungsang.

Namun, aku tentu tak ingin kamu besar dan tumbuh dalam tirani itu. Aku ingin menyelamatkanmu menjadi seseorang yang merasa bahagia dalam kesunyiannya. Kamu tak akan saya tanyakan seberapa duit setiap bulan kamu hasilkan. Tidak. Kamu tidak akan saya tanyakan seberapa tinggi sekolah dan gelar yang kamu rengkuh. Tidak. 

Tidak.

Aku akan menanyakan seberapa banyak kamu sudah mengabdikan hidupmu untuk orang lain, dan kita menjadi keluarga yang bahagia dalam kesunyian waktu, bersama orang lain atau bersama jiwa-jiwa kita sendiri....

Saturday, August 17, 2013

Caring is Friendship

Kisah kali ini khusus buat seorang teman yang tiba-tiba menawarkan sebuah tiket pesawat ke Jakarta. Katanya, sebagai dukungan kepada saya agar mengambil beasiswa master di Turkey yang saya dapatkan tahun 2013 ini. Terima kasih kawan....

Dalam minggu ini saya sedang ada keperluan mengurus visa untuk study lanjutan di Turkey. Saya sejujurnya tidak ada persiapkan banyak uang untuk keperluan keberangkatan ke Turkey. Di samping kesibukan saya sebulan sebelum Ramadhan: menjadi project leader untuk sebuah kompetisi internasional untuk para alumni Amerika (saya ketepatan menjadi alumni IELSP) bernama PlayPlus--yang nyaris menjadi seorang diri berjuang untuk membuktikan bahwa project itu bisa menang dan terpilih di depan meja panel di Washington sana--ternyata lupa bahwa saya juga harus bekerja make money untuk pulang kampung (mudik) dan persiapan mengurus visa, akhirnya betul-betul terjadi dan menimpa saya minggu ini. I have no enough money for visa. I give some of much to my mom for their daily needs in kampung halaman. Dan ketika saya harus mengurus visa, uang saya menipis dan bahkan bisa dibilang habis. Ini jelas konyol. Sebuah perhitungan yang binasa! Saat begitu, saya bingung, pastinya. Tapi saya bukan tipe penyerah kepada keadaan.

Namun, begitulah hidup. Keyakinan saya berkarya setulusnya untuk PlayPlus, yang sekarang sudah menang bersama sekitar 50 proposal dan menyingkirkan lebih dari 800 proposal dari banyak negara di dunia, benar-benar dilihat Tuhan. Ada seorang kawan yang secara langsung meminjamkan duit dan membelikan tiket pesawat saya ke Jakarta. Saya sempat terdiam merenungi semua ini. Dan, saya sangat bersyukur kepada beberapa teman yang telah membantu saya.

Pasti, jika saya jadi berangkat study ke Turkey, grant sekitar $23.000 itu akan saya limpahkan kepada alumni yang menjadi team member saya. Meski sudah benar-benar menjadi pemilik hak project itu, dan tentu dengan grant yang didapatkan, saya tidak pernah kepikiran buat apa uang sebesar lebih dari Rp 200 juta itu. Karena sudah menjadi project leader, saya berkomitmen untuk menyelesaikan semua persiapan di awal biar selanjutnya teman-teman saya bisa lebih mudah dan akan saya habiskan tenaga di awal untuk membantu project ini. Dan terpaksa, pekerjaan saya yang lain pun terkatung. Begitulah indah-pahitnya sebuah pilihan!

Selanjutnya saya percaya, bahwa ketulusan bekerja untuk orang lain akan selalu mendapatkan hikmahnya yang manis, dari Tuhan, alam semesta, dan juga manusia. Terima kasih kawan....

Dirgahayu Indonesiaku yang ke-68!

Friday, August 02, 2013

"Saat Itu, Ibuku Menangis"

Buat kakakku Hermanto Junaidi ...
yang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat akan pergi sekalipun. Sulit membedakan apakah aku sedang pulang atau pergi--ketika semua risalah hidupku ditakdirkan untuk selalu pergi dan berjelajah, sehingga semua hal begitu asing dalam hidupku. Aku seperti sudah dipasrahkan menjadi anak panah bagi angin yang bergemuruh dari semua arah. Saat ini, aku tiba-tiba ingat semua hal tentang masa kecil, tentang Ibu, tentang (alm.) Ayah yang lamat-lamat kita gambar pada segumpalan benang bernama memori, saat aroma lebaran tiba-tiba menyeruak, yang kita bikin seru dengan tawa atau kebengalan kita masing-masing.....

Dari kamar kostku, di sebuah kota yang sangat kau pahami, aku duduk, berkemas; pikiranku berada di antara rumah, ibukota, pulang, pergi, negara orang, tanah kelahiran, rindu, cerita, Ibu--semua datang meringkusku tiba-tiba. Aku tidak bisa apa-apa selain menuliskannya saat ini, dan berharap engkau membacanya entah dengan cara apa. Pun aku yakin, Ibu sudah merasakannya, sebalum aku menuliskan catatan ini.

Saturday, July 27, 2013

Ambiguitas Perdamaian Sipil

PEKAN-PEKAN ini, jika Anda berkunjung ke Yogya, Anda akan menemukan suguhan menarik di ruang publik yang layak diperbincangkan lebih serius, yaitu spanduk-spanduk yang bertebaran di ruas-ruas jalan utama ataupun hanya selebaran-selebaran kecil yang disebarkan melalui kertas photo copy seadanya. 

Pesannya bernada sama: “Rakyat Yogya Menolak Premanisme‘ atau “Yogya tanpa Preman‘. Kalimat-kalimat tersebut antara lain: Sejuta Preman Mati, Rakyat Yogya Tidak Rugi, Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat, dan khusus untuk pelajar, ada pesan begini: Ke Yogya belajarlah yang baik dan jadilah warga yang baik. Yogya Nyaman Tanpa Preman

Saturday, July 13, 2013

Mengkaji Perbedaan


Versi cetak dari tulisan ini ada di Suara Medeka

taken from www.suaramerdeka.com
Hari-hari ini, kehidupan kita sedang berada pada titik paling awas terhadap perbedaan. Perbedaan menjadi korpus sensitif yang banyak mempengaruhi perspektif kita dalam memahami konflik dan sekaligus strategi perdamaian di Indonesia. Artinya, terma perbedaan telah menjadi semacam lokus segala hiruk-pikuk tragedi kekerasan khususnya yang menyangkut tentang agama dan aliran kepercayaan, seperti dalam kasus Syiah di Sampang, Jawa Timur, misalnya.

Belajar dari kasus Syiah di Sampang, saya berhipotesis bahwa perbedaan telah menjadi lokus yang selalu didendangkan oleh logika mainstream anak bangsa dalam melihat konflik (atau potensi konflik) dan kekerasan di Indonesia.

Wednesday, June 19, 2013

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

Versi cetak tulisan ini ada di KOMPAS, 26 Mei 2013


Hasil jepretan kawan Fathulloh Muzammiel
By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments (IEP, 2013).

Di tengah eskalasi kekerasan yang terjadi dalam satu dekade lebih di Indonesia, saya melihat kita perlu semacam indeks perdamaian kota untuk melihat skala kekerasan dan sekaligus peringkat kota damai di Indonesia.

Sejauh ini, kita belum konsisten membuat indeks berdasarkan indikator dan metode penelitian terpercaya. Indeks seperti ini diharapkan menjadi parameter yang memaparkan kondisi riil skala perdamaian di tiap kota sehingga data seperti itu bisa menjadi otokritik bersama demi membangun perdamaian di republik ini. Kita bisa belajar pada Institute for Economics and Peace (IEP) yang tekun merilis hasil penelitian seputar isu perdamaian dan terorisme setiap tahun. Pada 24 April 2013, lembaga yang bermarkas di Sydney dan punya cabang di New York ini kembali merilis The UK Peace Index yang resmi disiarkan Steve Killelea selaku pendiri/direktur eksekutif.

Monday, June 03, 2013

Caring is Friend #1

Mulai saat ini, saya ingin rajin menuliskan beberapa komentar, catatan (baik personal [tapi nggak personal banget] ataupun kritikan dari teman-teman [dekat atau jauh]). Karena saya disadarkan oleh kata-kata ajaib itu. Saya menyebutnya sebagai kata-kata ajaib dalam pengalaman dan pemahaman personal saya.

Untuk seri Caring is Friend #1 saya ingin mencuplik komentar dari seorang teman.

Thursday, May 30, 2013

Kekerasan Pemekaran Daerah

taken from http://www.jurnas.com
ISU pemekaran wilayah kembali mencuat di Rupit, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kali ini kita dikejutkan dengan tindak kekerasan yang telah memakan korban nyawa. Seperti diberitakan sejumlah media massa, Selasa (30/4/2013), warga terus memblokade sebuah ruas jalan Lintas Sumatera di Kecamatan Rupit sebagai bentuk protes terhadap tewasnya empat warga dalam peristiwa yang terjadi satu hari sebelumnya terkait pemekaran Musirawas Utara (Muratara) yang berakhir ricuh.

Thursday, May 23, 2013

"Mainan" Pemekaran Wilayah

taken from http://www.suarakarya-online.com/
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menilai, pemekaran wilayah yang terjadi hingga kini belum memuaskan bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan dalam sebuah evaluasi yang dilakukan di internal kementrian, ia mengatakan, "Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah, 70 persen dari 205 Daerah Otonon Baru (DOB) telah gagal".

Di sini perlu dicermati hasil evaluasi dari pak Menteri. Untuk melihat secara proporsional tentang dampak pemekaran wilayah yang hingga hari ini terus didengungkan di beberapa daerah. Kesadaran untuk melihat secara kritis kasus ini adalah sebagai upaya untuk melihat sejauh mana efektifitas pemekaran daerah bagi kesejahteraan rakyat di daerah.

Modifikasi Diksi Mashuri

Dalam ranah kesusastraan khususnya puisi, Jawa Timur (Jatim) mempunyai posisi yang khas dan distingtif. Jawa Timur tidak mempunyai bahasa pengucapan bersama (locally legitimated languages) dalam puisi-puisi yang ditulis oleh para penyairnya. Berbeda dengan Sumatera Barat yang menjadikan bahasa pantun dan balutan dendang sebagai lokus pengucapan atupun Jawa Barat dengan eksplorasi basis folklor dan idiom-idom natural yang setali tiga uang dilakukan oleh beberapa penyair Lampung, ataupun daerah-daerah lain yang kecenderungan puisi-puisinya mempunyai satu aras pengucapan bersama melalui bahasa yang nyaris mainstreaming dalam konteks lokal-mereka, seperti juga mudah ditemukan dalam puisi-puisi penyair Bali.

Wacana di atas muncul dalam sebuah diskusi buku kumpulan puisi karya Mashuri berjudul Munajat Buaya Darat (MBD) di Pendopo LKiS, Yogykarta, 21 Mei kemarin, yang sekaligus dirayakan dengan lelang buku dan malam amal untuk Fahrudin Nasrulloh, salah satu seniman dan sastrawan Jawa Timur yang tengah terbaring di rumah sakit.

Saturday, May 18, 2013

"Pak, Dia Harus Bisa Baca-Tulis!"

Malam ini saya ikut meramaikan acara Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2013, setelah dari pagi hingga sore ikut kongkow bersama GusDurian di LKiS. Saya bantu apapun yang bisa saya lakukan di tempat acara, seperti ikut membagikan flayer. Acara serupa ini selalu ingin saya sambangi--dan beberapa kegiatan khususnya yang mempromosikan kesetaraan, nirkekerasan, perdamaian, dan isu sejenis.


Sunday, April 21, 2013

Dan Ajal pun Tak Pernah Membunuh Visi

foto dari fb tasyriq
Guru dan sahabat saya, Tasyriq, izinkan saya bercerita tentang saat-saat pertama kali saya bertemu denganmu. Maaf kamu pasti tidak akan pernah tahu apa yang saya tulis ini (karena pada awalnya saya merasa tidak penting untuk diceritakan). Tapi setelah kepergianmu, di sebuah hari dimana bangsa ini tengah gegap-gempita merayakan hari bersejarah bernama Hari Kartini, dan di hari itu kamu pergi untuk selamanya, saya tak punya apa-apa lagi selain menuliskan sepenggal kisah yang saya ingat tentang kamu. Tak lebih dari itu. Daripada semuanya lenyap begitu saja dan dimakan angin lalu, lebih baik--sudah menjadi keyakinan saya sebagai penulis--saya menuliskannya demi melawan lupa!


Tuesday, April 16, 2013

Twitter (dan Dunia) yang Blingsatan

Sejak saya ikut bergaul dengan Twitter sekitar bulan Maret tahun 2010, pengalaman pertama saya tidak terlalu mengesankan. Saya mencoba ikut bikin akun Twitter karena pada waktu itu Obama berkampanye melalui akun jejaring sosial berlambang burung Larry itu. Pelan-pelan tapi pasti, saya menemukan arti Twitter ketika menyadari ihwal kecepatan informasi yang tumpah blingsatan begitu saja dari seantero dunia. Dari situ kemudian saya merasa ternyata Twitter menjadi salah satu satu media yang bisa dirujuk untuk menengok informasi yang berlarian itu. Bahkan akun ini sangat leading dalam hal updating berita terbaru berupa berita dadakan (breaking news) dan sebagainya.

Apresiasi Perdamaian Sipil

Versi cetak tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, 16 Apri 2013

Dalam minggu-minggu ini, jika berkunjung ke wilayah DIY, terutama kota Yogyakarta Kabupaten Sleman, Anda menemukan suguhan menarik di ruang publik yang layak diperbincangkan lebih serius, yaitu kebertebaran spanduk di sejumlah ruas jalan utama ataupun hanya selebaran kecil yang disebarkan melalui kertas fotokopi seadanya. 

Nada pesan pada spanduk atau selebaran itu sama, yaitu rakyat Yogyakarta menolak premanisme. Penjabaran itu antara lain lewat kalimat, ’’Sejuta Preman Mati, Rakyat Jogja Tidak Rugi’’, ’’Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat’’, dan agaknya ada pesan khusus untuk pelajar, ’’Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan Jadilah Warga yang Baik. Jogja Nyaman Tanpa Preman’’.


Selain spanduk dan selebaran, di Yogyakarta banyak aksi yang secara khusus menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme, baik yang dilakukan oleh kelompok pemuda maupun antaraliansi. Respons yang ditunjukkan warga Yogyakarta, jika bisa dikatakan demikian, adalah buntut dari kemerebakan kasus premanisme dalam satu tahun terakhir ini. Pemicunya adalah penganiayaan yang menewaskan anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo Serka Heru Santoso di Hugo’s Cafe Sleman pada Selasa (19/3). Insiden itu berlanjut pada eksekusi beraroma balas dendam terhadap 4 pelaku di LP Cebongan Sleman.


Mencermati respons masyarakat Yogyakarta terhadap premanisme, saya ingin kembali menelisik litani sejarah senada, yaitu operasi khusus yang dikenal sebagai penembakan misterius (petrus) tahun 1980-an yang bertujuan memberantas preman di Yogyakarta. Sejarah mencatat bahwa operasi itu konon dilancarkan oleh pemerintah, dan merembet ke beberapa kota di Jateng.


Yogyakarta menjadi salah satu daerah operasi pembunuhan banyak orang ’’tertuduh’’ preman, yang waktu itu kerap disebut gali (dari akronim gabungan anak liar) kelas kakap, tanpa melalui proses peradilan atau pembuktian semestinya. Terapi kejut berhasil menyiutkan nyali para gali, sekaligus menebar ancaman bagi warga.


Menarik mengutip penjelasan Muh Najib Azca, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang tersiar pada beberapa media massa dalam dua minggu terakhir. Ia mengatakan bahwa sejarah gali (preman) di Yogyakarta berawal dari massa satuan tugas (satgas) partai pada masa Orba, yang merekrut preman untuk kepentingan politik. Semisal Golkar pada masa lalu memiliki organisasi sayap Satgas Pasukan Khusus Cakra, PPP dengan Gerakan Pemuda Kakbah (GBK), dan PDI merekrut preman berbasis wilayah di Yogyakarta.


Dalam perkembangannya, premanisme di Yogyakarta berafiliasi dengan sejumlah kelas sosial yang bisa dikategorisasikan dalam beberapa kelompok menurut basis mereka; dari preman berbasis etnis, preman pasar, preman mahasiswa (biasa dilakoni mahasiswa drop out), hingga preman siswa/ pelajar. Basis dan kelompok mereka berjejaring satu sama lain menurut jenjang dan pengalaman masing-masing.


Di tengah fenomena pembiaran terhadap gejala patologi sosial berkelanjutan itu, bibit premanisme terus berkembang sejalan eksklusivitas kota. Akhirnya premanisme, ataupun gembong kekerasan lain, yang ’’dipelihara’’ oleh negara menjadi bom waktu yang hanya menunggu meledak atau diledakkan. Fakta di Jakarta pada akhir 2012 menjadi salah satu indikator bagaimana modus operandi premanisme sangat mengancam keamanan dan perdamaian warga Ibu Kota.


Respons warga Yogyakarta dengan membentangkan spanduk dan slogan mengecam premanisme adalah perspektif tindakan simbolik tentang perdamaian sipil. Perdamaian sipil dalam konteks Yogyakarta bisa dipahami sebagai proses peacemaking yang ditunjukkan secara persisten untuk mendialogkan tragedi kekerasan dan teror yang mengancam rasa aman mereka. 


Rakyat Yogyakarta ingin menjaga perdamaian sebagai bentuk self-defense terhadap aneka bentuk kekerasan. Kekerasan masif tersebut muncul sebagai tindakan di luar kultur mereka, di tengah kemelemahan dan ketidakhadiran negara dalam banyak kasus kekerasan di akar rumput.


Mediasi Terbuka


Sikap rakyat Yogyakarta yang ditunjukkan secara simbolik adalah sebentuk upaya awal yang coba mendekatkan diri pada proses dialog, mediasi, dan konsolidasi, terutama dalam internal masyarakat. Namun, slogan seperti itu, dan bahkan selebaran yang disampaikan langsung oleh Hamengku Buwono X, harus cepat-cepat dimediasi secara terbuka.


Artinya tak cukup hanya itu, tapi perlu menghadirkan kelompok-kelompok yang sedang dalam ketegangan dan perselisihan (dispute). Artinya, rakyat Yogyakarta dan pemda jangan hanya bersembunyi di balik slogan dan spanduk yang mengutuk dan menolak segala bentuk premanisme.


Sebagai sebuah inisiasi, saya sepakat dengan respons masyarakat Yogyakarta sejauh ini. Artinya, mereka menunjukkan diri sebagai pihak yang ingin menjaga dan mempromosikan perdamaian, baik untuk warga sendiri maupun pendatang. Bila langkah mereka hanya berhenti pada sebentuk slogan dan spanduk, saya khawatir tindakan ini tidak akan selesai. Publik akan menilai sebagai langkah tanggung, bahkan bisa menganggap sebagai ìprovokasiî yang lebih halus melalui media. Akibatnya, proses rekonsiliasi dan dialog asertif yang terbuka tidak pernah tercapai. Jika kekhawatiran terakhir ini yang mewujud maka akan melahirkan kecurigaan sosial dan prasangka yang menjurus pada segregasi dan pengkotak-kotakkan sosial.

Monday, April 15, 2013

Telaah Perjumpaan Islam-Kristen

Studi sejarah ihwal dua agama besar dunia (Islam-Kristen) selalu berada dalam pusaran magnet yang hebat. Ia ditulis untuk membongkar lipatan demi lipatan linimasa lalu yang sengaja tak dituliskan (atau belum dituliskan) demi kepentingan faksi yang ingin kerunyaman dengan memanfaatkan penulisan sejarah. Namun sejarah akan selalu ditulis untuk melengkapi serangkaian peristiwa yang bolong dan sekaligus, seperti diingatkan oleh Gustave Flaubert, agar kita terhindar dari umpatan-umpatan terhadap masa kita sendiri. Juga, umpatan-umpatan kebencian yang kerap mengiringi perjalanan dan interaksi antar pemeluk dua agama di atas.

Thursday, April 04, 2013

Suatu Waktu di Benteng Somba Opu

aku kembali menyaksikan
          sebuah irama
daun-daun kering
               yang diremas
dan batu-batu tua
yang ditinggalkan
menjadi tebing
          bagi para pendaki
          waktu
menghilangkan arah

di sini ada bau mesiu
pada aliran sungai
       kecemasan
tanpa hilir

                                                                                                        Sulsel, 2012/2013