Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Showing posts with label name me. Show all posts
Showing posts with label name me. Show all posts

Friday, May 01, 2020

Muslim Leaders Visit

Shepparton News, 25 Jun 2011; By Zach Hope

Shepparton played host to three emerging Indonesian community leaders on Monday as part of Department of Foreign Affairs and Trade’s AustraliaIndonesia Muslim Leaders Exchange program.
Rizkayadi Makassar, Muhammad Kholis Hamdy and B.J. Sujibto are in Australia for a sponsored two-week stint studying Australian diversity and integration and visiting Muslim communities, with Shepparton selected as the only regional centre on the trio’s itinerary.

Mila Sudarsono, travelling with the group as DFAT’s representative, said Shepparton was chosen because of its diverse population and the success it had enjoyed in integrating multiple ethnic groups.

‘‘A lot of it is because of the interesting migration history you have. It’s a melting pot city and they can get an insight into how well different communities have integrated in a regional setting in Australia,’’ Ms Sudarsono said.

‘‘It’s very important they get out of the metropolitan centres and see work at the community level. They’ve really enjoyed their time here . . . It’s something they can take back to Indonesia to see if they can implement there.

‘‘And the drive out (to Shepparton and Dookie) was rather eye-opening too. One of the guys made the comment they felt like they were in a movie scene because before they could have only imagined rural Australia.’’

The trio arrived in town on Sunday and enjoyed afternoon tea at the Shepparton Mosque. On Monday they visited Melbourne University’s Dookie campus, where they witnessed training for future aid workers, before receiving a tour of Mooroopna’s Rumbalara Aboriginal Cooperative’s facilities in the afternoon.

They spent a week in Melbourne and will now visit Canberra and Sydney before returning to Indonesia.

The AustraliaIndonesia Muslim Leaders Exchange program is in its 10th year and aims to give youth leaders from both countries a snapshot of life, culture and faith practices of the other.


Friday, August 12, 2016

Dicari Kejujuran Seorang Penulis

Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Anthony Limtan
[Foto Harian Analisa]
Pekan lalu, media sosial maupun kumunitas penulis Harian Analisa  di facebook ‘ramai’ memperbincangkan seorang penulis yang berstatus mahasiswa melakukan plagiat dalam beberapa tulisannya, termasuk di rubrik Opini. 

Penulis berinisial HKH, bisa dikatakan pemula dan rajin mengirimkan berbagai buah pikirannya, soal politik, ekonomi dan masalah sosial lainnya. Dan namanya juga sering mencuat di berbagai media terbitan lokal.

Namun, seperti pepatah mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Seperti itulah nasib HKH yang namanya sempat mencuat di jajaran kaum intelek kampus dalam menyuguhkan buah pikirannya, kini berakhir dengan  sumpah serapah.

Kejadian seperti ini bukan hal baru lagi yang terjadi di bidang akademis maupun non akademis. Dalam dunia akademis, penjiplakan karya tulis, seperti makalah dan skripsi sudah jamak dilakukan. Kurangnya kesadaran etika dalam mengutip suatu pendapat, sebagian atau seluruhnya menyebabkan terjadinya plagiarisme di kalangan mahasiswa.

Ketika seorang plagiat diklarifikasi redaksi soal keaslian tulisannya, masih saja bisa berdalih dengan mengatakan bahwa dia hanya mengutipnya dari tulisan tertentu. Tapi, jelasnya sering  terjadi mengambil hampir seluruh tulisan milik orang lain dan tanpa menyebut sumbernya.

Di Harian Analisa, redaksi mengoleksi sejumlah nama yang telah dibubuhi tinta hitam. Itu artinya, kejadian ini bukan hal baru yang muncul ke permukaan. Seperti pernah diberitakan dalam media, mereka yang pernah melakukan plagiat bukan hanya mahasiswa tapi juga sudah merambah ke berbagai profesi disiplin ilmu, khususnya dunia akademik, seperti dosen, dekan, maupun orang yang memiliki gelar terhormat Doktor.

Informasi Teknologi

Pemicunya adalah internet. Perkembangan informasi teknologi yang progresif semakin memudahkan seseorang untuk melakukan pembajakan dan tindakan plagiarisme. Hanya dengan melakukan copy paste tulisan orang lain, ubah judul, ubah sedikit kalimat dalam paragraf, jadilah itu tulisan miliknya.  

Mudah sekali bukan ? Tapi berkat perkembangan teknologi yang dapat menelusuri originalitas sebuah tulisan, dan ribuan bahkan jutaan masyarakat pembaca sebagai juri, hal ini seharusnya membuat para plagiat berpikir ulang melakukan perbuatan tercela itu.

Berbagai masukan disampaikan pembaca ke redaksi, ada yang mengatakan, Analisa kecolongan sampai membiarkan seorang plagiat berkarya. Masukan yang lain, mengatakan, sebaiknya tulisan yang akan dimuat diuji dulu melalui sebuah website yang dapat memeriksa keaslian sebuah tulisan.

Kami sampaikan terima kasih atas semua masukan yang diberikan, tujuannya untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Namun, kami sampaikan, bukan kami tidak tegas dalam hal plagiarisme bila tidak melakukan pengecekan kembali untuk setiap tulisan yang akan dimuat. Terlalu banyak hal yang lebih penting yang dapat kami kerjakan di meja redaksi daripada harus mencek satu persatu persatu keaslian sebuah tulisan. Ibarat belanja di super market, pengelola membiarkan pembeli mengambil sendiri  produk yang diinginkan tanpa harus dikuntit, diawasi agar tidak terjadi pencurian.

Namun bila konsumen kedapatan mencuri, tentu hukuman moralnya jauh lebih berat daripada sekadar mendapat sanksi fisik. 

Demikian juga plagiarisme. Bila selama ini nama seseorang itu begitu dikagumi karena buah pikiran yang dituangkan dalam tulisan begitu menarik perhatian. Namun ternyata tulisan itu adalah hasil plagiat, saya kira hukuman blacklist bagi penulis itu adalah hal biasa. Namun hal yang mampu meruntuhkan martabat seseorang itu justru hukuman sosial dari komunitas penulis, pembaca, lingkungan akademik. Kata orang, sanksinya biasalah itu, tapi malunya ini mau letak dimana?

Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan Analisa untuk penulis pemula untuk menuangkan buah pikirnya, menjadi kado intimewa. Manfaatkanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Bukan karena Harian ini kekurangan narasumber sehingga peluang ini diberikan juga kepada mahasiswa.Bukan!

Bisa saja Analisa membuat seleksi ketat seperti koran ternama nasional terbitan Jakarta hanya memberikan kesempatan pada para pakar berbagai disiplin ilmu, semisal dosen, praktisi hukum, pelaku bisnis dan berbabai strata profesi. Namun, terus terang, bila kebijakan ini kami terapkan, penulis pemula atau juga identik dengan mahasiswa akan kehilangan kesempatan belajar menjadi penulis handal.

Harian Analisa berkomitmen memberikan kesempatan itu bagi pemula tanpa mengedepankan status sosial yang dimiliki. Siapapun boleh berpendapat selagi apa yang dituliskan itu bermanfaat bagi banyak orang. Tentu redaksi memiliki kriteria tulisan yang diinginkan, semisal yang lagi hangat dibicarakan (up date).

Namun terlepas dari semua itu, hal yang paling penting adalah kejujuran diri seorang penulis. Kejujuran merupakan dasar untuk menegakkan kebenaran, termasuk menegakkan dan membangun kebenaran ilmiah.

Suatu kejujuran yang hakiki hanya diketahui secara pasti oleh dirinya sendiri, sedangkan orang lain hanya bisa mengetahui ekpresi dari kejujuran itu. Saya yakin, di antara kita pasti ada yang pernah melalukan plagiat, tapi karena takut akan Tuhan, masyarakat pembaca, hati nurani, maka perbuatan tercela itu tidak berlanjut.

Redaksi Analisa memberikan sanksi atas perbuatan plagiarisme, berupa mem-blacklist nama tersebut. Oleh karenanya, para penulis mari berani jujur pada diri sendiri. Jika karya Anda yang selama ini dikagumi pembaca namun pada akhirnya terkuak bahwasanya semua itu adalah palsu, tentu kekaguman itu akhirnya berbuah sumpah serapah.

Jika demikian, masihkah Anda mau melakukan plagiarisme?***


Menyingkap Plagiasi Tulisan di Koran

Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Junaidi Khab

Pada tanggal 8 Mei 2016 bagi dunia literasi mungkin harus menjadi cambukan kembali atas kasus plagiasi oleh salah seorang penulis. Sebenarnya, hal ini bukan isu aktual. Kasus plagiasi sudah pernah terjadi jauh hari sebelumnya. Misalkan di koran nasional Kompas oleh salah satu dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2014. 

Namun, dengan bijak dosen UGM tersebut mengakui dan melakukan pengunduran dari status dosen UGM, karena hal itu mencoreng almamater. Kasus ini mungkin tidak menjadi jeweran bagi penulis lain. Sehingga, masih tetap ada penulis yang melakukan hal serupa di media massa.

Kejadian plagiasi kini terulang kembali di koran Harian Analisa Medan. Penulis dengan inisial HKH diklaim melakukan plagiasi tulisan milik Bernando J. Sujibto dengan judul “Perkara Prosa di Turki” dengan judul yang tak jauh berbeda. Bernando merupakan penulis asal Sumenep yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Selcuk University, Konya Turki. Sementara HKH merupakan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) yang katanya ia mahasiswa sastra. Namun, tulisan yang dimuat di Harian Analisa pada Minggu, 8 Mei 2016 di dalamnya mengandung unsur plagiasi.
[Dari Situs Analisa]

Tulisan Bernando ini kali pertama tayang di media online kawakan basabasi.co Yogyakarta, pada 17 Maret 2016. Kemudian diposting secara pribadi di www.turkishspirits.org. Husnul dengan telaten menambal dan mengukir kalimat-kalimat asli dari tulisan Bernando. Judulnya cuma diganti satu kata, “Perkara” diubah menjadi “Masalah” dengan mengurai beberapa paragraf sebagai bumbu. Memang sedap dan enak untuk dinikmati oleh para pembaca. Namun, sebenarnya itu makanan milik orang lain yang diolah, lalu dimakan oleh publik tanpa mendapat ijin dari pemiliknya. Secara kaidah hukum Islam, publik telah menikmati hasil racikan hidangan otak yang haram.

Melihat kasus semacam ini memang sangat memalukan. Seseorang yang (dianggap) sudah dipercaya oleh media ternyata melakukan plagiasi. Terlebih menggunakan status perguruan tinggi yang tentunya bisa mencoreng almamaternya. Memang, ini kita akui sebagai kejahatan intelektual yang sulit dijangkau hukum negara. Tak ada undang-udang yang melindungi suatu karya tulis dengan sempurna, hanya setengah-setengah perlindungannya. Padahal, plagiasi merupakan kejahatan intelektual, yang secara tidak langsung membunuh peradaban yang telah kita bangun dengan baik melalui ilmu pengetahuan.

Namun, keuntungan masih berpihak pada HKH dengan mengikuti permintaan dari Bernando agar mengakui dan meminta maaf kepada publik. Hal itu dilakukan oleh HKH di dinding akun facebook Bernando dengan berterusterang bahwa ia telah melakukan plagiasi atas tulisan Bernando di basabasi.co. 
[Tulisan di Basabasi.co]

Dengan tangan terbuka, Bernando pun memberikan maaf dengan memberi peringatan kepada publik agar pelaku plagiasi yang meminta maaf jangan sampai dijauhi, tapi Bernando meminta agar menjauhi virus plagiasinya saja agar tidak menjangkit penulis-penulis yang lain. Sungguh mulia. Namun, entah pemberian maaf dari Harian Analisa, basabasi.co, universitas tempat HKH menempuh studi, dan pihak terkait lainnya. Hal itu ada dalam kebijakannya masing-masing untuk menyikapi kasus ini.

Bukan Salah Media

Melihat kasus plagiasi tulisan yang terbit di media (koran) dan lainnya, dalam hal ini masih ada dua pandangan. Pertama, publik mungkin akan memandang bahwa pihak yang bersalah itu penulis yang melakukan plagiasi. Kedua, pihak media yang telah ceroboh menerbitkan suatu tulisan tanpa melihat aspek-aspek tulisannya. Namun, publik tentunya sudah tahu dan cerdas untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Terlebih untuk menyalahkan publik memang sangat cerdas.

Dalam hal ini, saya menegaskan bahwa media (koran) yang memuat tulisan dari hasil plagiasi tidak serta-merta bisa disalahkan. Hal itu dengan alasan bahwa setiap media yang berupa koran atau lainnya sebelumnya tentu memberi ketentuan tentang tulisan yang boleh dikirim untuk dimuat. 

Salah satunya yang perlu diperhatikan yaitu tulisan harus asli, bukan hasil jiplakan atau plagiasi. Jika suatu hari ada tulisan yang dimuat, dan tulisan itu merupakan dari hasil plagiasi, pihak media tentu memiliki kebijakan tersendiri sebagai aturan yang ditentukan secara internal.

Mengingat kejadian kasus plagiasi tulisan yang masih terjadi di republik ini, media harus melakukan penyaringan secara ketat untuk menerbitkan suatu karya yang dikirim oleh publik. Memang, usaha ini sangat sulit dan tidak mungkin dilakukan karena pihak redaktur tentunya tidak hanya menerima satu atau dua tulisan di dapur redaksi. Ada banyak tulisan yang harus dipilah dan dipilih untuk menjadi konsumsi publik. 
[Tulisan Plagiat versi Harian Analisa]
Namun, jika ada usaha yang dilakukan oleh redaktur media, kemungkinan besar kasus plagiasi di negeri ini sedikit-banyak bisa dikendalikan dengan segera memberikan peringatan dan sanksi kepada pelaku plagiasi. Usaha ini bukan serta-merta untuk mematikan kreatifitas para penulis yang melakukan plagiasi, tapi sebagai pelajaran kita semua.

Maka dari itu, menjadi seorang penulis harus benar-benar profesional dengan menggunakan daya kreatifitas sebaik dan semaksimal mungkin. Melakukan plagiasi hanya akan menanam benih-benih kejahatan dan malu kepada publik. 

Selain itu, juga bisa membunuh secara mental jika plagiasi yang dilakukan diketahui publik. Ia bisa merasa terkucilkan dari lingkungannya. Mari, jadi penulis yang benar-benar kreatif dengan menuliskan ide-gagasan inspiratif yang ada di otak kita! ***

Penulis adalah Akademisi, lulusan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Alumnus #Kampus Fiksi DIVA Press 2016


Saturday, August 29, 2015

Ada Kopi Tiwus, tapi Dapatnya dari Jawa Barat

Features Jawa Pos, Sabtu, 29 Agustus 2015
"Desain kedai Filosofi Kopi maupun kopi racikan dibuat seperti dalam cerita karya Dewi Lestari. Diharapkan jadi tempat bertemunya para kaum kreatif."

Oleh Gunawan Sutanto, Jakarta


MEMASUKI Filosofi Kopi untuk kali pertama tak ubahnya memasuki sebuah arena teka-teki. Seperti diajak menebak: hayo, bagian mana dari kedai di Blok M, Jakarta, itu yang dititiskan dari buku, film, atau yang malah tidak ada di dua-duanya?

Bar tempat barista yang terletak di tengah kedai? Itu ada di buku Filosofi Kopi, kumpulan cerita pendek dan prosa karya Dewi "Dee" Lestari. Lantai dan dinding yang terbuat dari kayu berserat kasar? Itu juga ada di buku yang masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2006 tersebut. Tapi, perangkat kopi yang ditata rapi, berbaris memanjang di atas meja bar, itu se­pertinya tak dideskripsikan secara mendetail di buku. Itu “bahasa” dalam film yang diangkat dari buku tersebut dan dirilis April lalu itu.

Di sana, diurut dari kiri, ada mesin espresso merah menyala merek Nuova Simonelli. Di sebelahnya berjejer tiga mesin grinder. Lalu kompor elektrik tanam dan ketel. Tak ketinggalan alat seduh manual: Syphone, Aeropress, dan V60.  “Saya ingin tak sekadar membuat film, tapi juga membuat sebuah brand tentang kopi Indonesia,” kata Handoko Hendroyono, salah seorang pemilik kedai dan produser film Filosofi Kopi

Di kedai itu pula penggambaran film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko tersebut dilakukan. Desainnya pun dipertahankan seperti dalam film yang antara lain dibintangi Rio Dewanto (sebagai Jody) dan Chico Jericho (sebagai Ben) itu. Kisah Filosofi Kopi berfondasi pada kedai yang didirikan Ben dan Jody. Di dunia nyata, kedai tersebut dibangun empat orang: Handoko, Anggia Kharisma, Rio, dan Chico. “Selain kami berempat, tentu banyak teman yang men-support kami dengan berbagai macam cara,” ucap Handoko.

Nah, kuatnya citraan fiksi itulah yang barangkali membedakan kedai tersebut dengan berbagai kedai kopi lain yang belakangan menjamur di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Kedai Filosofi Kopi mungkin kedai kopi pertama yang dibangun berdasar karya fiksi. Mirip Museum of Innocence di Istanbul, Turki, yang dibangun berdasar novel dengan judul serupa karya Nobelis Sastra Orhan Pamuk. 

Museum itu berisi simbol dan artefak yang dicuplik dari isi novel dengan judul dalam bahasa Turki Masumiyet Muzesi tersebut. Penulis Bernando J. Sujibto dalam esainya di Jawa Pos pada 22 Februari menulis, mengunjungi museum itu seperti sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan cinta fiktif yang pernah dialami tokoh cerita bernama Kemal. 

Di kedai Filosofi Kopi, nama-nama house blend atau kopi racikan pun dibuat seperti dalam karangan Dee. Kopi tiwus misalnya. Bedanya, kalau di buku disebutkan kopi itu didapat dari kebun kecil milik Pak Seno di sebuah desa daerah Jawa Tengah, dalam realitasnya di kedai di Blok M tersebut, kopi tiwus merupakan hasil pencarian Handoko dkk dari perkebunan kopi di daerah Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Rabu sore lalu itu (26/8) Jawa Pos sempat menjajal kopi yang diseduh manual menggunakan saringan V60 tersebut. Sedap! Handoko memang berharap kedai Filosofi Kopi tak hanya berhenti sebagai “monumen” dari karya fiksi. Tapi juga turut berperan mengangkat kopi Indonesia.  Sebelum film Filosofi Kopi tayang, sebenarnya Handoko, Anggia, Rio, dan Chico “empat orang itu” telah menggagas wujud kedai kopi. Tapi, konsepnya berupa food truck, tepatnya VW Combi yang dimodifikasi. 

VW Combi Filosofi Kopi itu tiap akhir pekan mendatangi sebuah ruang publik. Mereka lantas menginformasikan keberadaan kedai kopi mobile tersebut secara viral, via media sosial dan aplikasi smartphone. Tiga bulan setelah film Filosofi Kopi tayang di bioskop, empat sahabat itu lantas mematangkan niat membuka kedai kopi yang sesungguhnya. Sebuah kedai yang sama persis seperti dalam cerita Filosofi Kopi. 

Upaya tersebut diawali dengan hunting bangunan yang akan disewa sebagai kedai. Mereka sempat memiliki beberapa pilihan tempat di Jakarta. “Kami sempat cocok dengan sebuah bangunan di kawasan kota tua. Tapi, kami pikir lagi kurang pas,” kenang Handoko.

Rio, yang sore itu sibuk menjadi kasir, kemudian punya usul kedai dibuat di sekitar kompleks Blok M Square, kawasan Jalan Melawai. Alasannya, keberadaan kedai harus  mampu menghidupkan kembali citra positif kawasan Blok M. “Dulu ini tempat anak muda banget. Rasanya belum gaul kalau tidak nongkrong di Blok M dan Melawai,”ujar aktor kelahiran 28 Agustus itu saat meluangkan waktu menemani Handoko menemui Jawa Pos.

Empat serangkai tersebut akhirnya menyewa sebuah bangunan yang sudah 17 tahun tak terpakai. Lokasinya berada di tengah kompleks Blok M Square. Bangunan ruko itu terdiri atas dua lantai. Namun, pemiliknya hanya menyewakan lantai dasar yang luasnya sekitar 80 meter persegi. “Tidak tahu kenapa yang punya bangunan tidak mengizinkan lantai 2 digunakan” ujar Handoko.

Menurut Handoko, meski hanya boleh menggunakan lantai 1, hal itu sama sekali tidak mengurangi kemiripan kedai yang ada dalam cerita fiksi. “Dalam cerita filmnya kan kedai kopi itu dibangun di atas bekas toko kelontong milik orang tua Jody,” ujarnya. Empat sekawan tersebut butuh waktu sekitar 2,5 bulan untuk mendesain interior dan eksterior kedai Filosofi Kopi. Desain luar dan dalam tentu dibuat semirip cerita asli se­perti di buku dan film.

Selain kopi tiwus, di kedai itu tersedia kopi lestari dan perfecto. Kopi lestari merupakan house blend berbagai biji kopi dari Gayo, Aceh. Sementara perfecto yang juga bisa ditemukan di dalam buku merupakan campuran kopi terbaik dari Kintamani, Bali.  Handoko mengatakan, kedainya sangat serius dalam membuat house blend. Mereka melibatkan sejumlah pakar kopi Indonesia. ”Kami juga lakukan tes rasa agar menghasilkan racikan yang terbaik,” katanya.

Handoko berharap keberadaan kedai Filkop (Filosofi Kopi) menjadi tempat bertemunya para kaum kreatif. Dia mulai menginisiatori hal itu dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengajak kolaborasi para seniman untuk membantu membuatkan furnitur dan merchandise Filosofi Kopi. “Ini kursi kami bukan beli jadi, tapi buatan teman-teman seniman. Itu ada yang belum jadi,” tunjuk Handoko ke sebuah kursi di teras kedai. 

Handoko menyebutkan, dari sisi bisnis, kedai Filkop mulai menguntungkan. Bahkan, akhir tahun ini mereka sudah membuka cabang di dua tempat, yakni di Bintaro, Jakarta Selatan; dan Renon, Denpasar, Bali. Tapi sayang, ada satu gimmick dari cerita di buku yang hilang dari kedai tersebut. Sejak Jawa Pos datang, memesan kopi, dan mengakhiri wawancara, tak ada secarik kartu kecil yang menerangkan filosofi dari kopi yang baru diminum. Kertas itu diberikan Ben kepada pengunjung yang memesan kopinya. Mungkin karena sore itu Ben sedang tidak di tempat, jadi kartu tersebut lupa diberikan. Mungkin. (jpg/p2/c1/fik).

Friday, September 28, 2012

Menolak Seragam dalam Keberagaman

Tulisan ini digunting dari Balairung Press.

Anung.Bal
Kerinduan masyarakat Yogyakarta akan hadirnya pelangi seusai hujan agaknya terbayar dalam acara Rainbow for Peace. Tepat di titik nol kilometer yang menjadi pusat keramaian Yogyakarta, lingkaran pelangi manusia berpusar menampilkan kebhinekaan Indonesia. Lebih dari seratus lima puluh pemuda mengenakan kaus berwarna pelangi dengan lincah menarikan fragmen-fragmen singkat dari tari saman, kecak, jaipong, tortor, dan tari perang; kombinasi tari yang juga dinamai Tari Kebhinekaan. Layaknya hujan, sore itu mereka hadir untuk menyejukkan Indonesia yang tengah memanas lantaran konflik SARA.

Saturday, September 22, 2012

Seru Damai Lewat Flash Mob Pelangi

Tulisan ini digunting dari Koran Radas Jogja.
 
JOGJA - Meningkatnya aksi kekerasan di Indonesia membuktikan rendahnya toleransi. Terlebih, konflik yang terjadi dilatari berbagai sebab terkait banyak hal seperti suku, ras, hingga agama.

Terkait Hari Perdamaian Internasional, Peace Generation mencoba menyerukan aksi damai lewat Gerakan Pelangi Manusia (Flash Mob) di Titik Nol Kilometer Jogjakarta kemarin (21/9). Lewat acara bertajuk The Rainbow is You tersebut, komunitas yang bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak muda ini, mencoba menyerukan aksi damai lewat aneka kegiatan. Di antaranya, pertunjukkan musik, tarian tradisional, komedi, sulap, hingga Flash Mob. 


Penanggung Jawab Peace Generation B.J. Sujibto menyatakan, Flash Mob Pelangi menjadi salah satu cara untuk menyerukan aksi perdamaian. Terlebih ketika melihat fakta yang terjadi di Indonesia saat ini. 


Friday, September 21, 2012

Gerakan Manusia Pelangi Peringati Hari Perdamaian Internasional

Dinas Dikpora Prov. DIY - Menyambut hari peringatan perdamainan internasional yang jatuh pada tanggal 21 september setiap tahunnya, "Peace Generation" suatu komunitas yang bergerak di bidang resolusi konflik dan perdamaian di kalangan anak -anak muda memprakarsai pemuda-pemuda di Yogyakarta untuk mengadakan gerakan lingkaran manusia pelangi.

Rainbow for Peace : The Rainbow is You adalah gerakan pertama di Indonesia , Beda, Muda dan Cinta Damai untuk kebhinekaan Indonesia. Filosofi dari lingkaran pelangi ini sendiri untuk menunjukan suatu kebhinekaan. 

Tuesday, June 19, 2012

Malaysia Dukung Kegiatan Warga Mandailing

Tulisan ini digunting dari Rakyat Merdeka Online


From Rakyat Merdeka

RMOL. Malaysia lagi-lagi meng­klaim budaya Indonesia sebagai budaya mereka. Kali ini, mereka berencana memasukkan tari Tortor dan Paluan Gordang Sem­bilan sebagai warisan budaya negara mereka. Kontan, klaim ini kembali membuat masyarakat Indonesia geram.


Sebelumnya, Malaysia pernah mengklaim lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo dan se­bagainya.
“Saya sebenarnya kurang me­nge­tahui apa motif Malaysia me­la­kukan itu kepada Indonesia. Namun, jika dilihat dari kasus-kasus pengklaiman budaya sebe­lumnya, Malaysia nampaknya sengaja melakukannya untuk me­manaskan suasana hubungan kedua negara,” ujar budayawan Bernando J. Sujibto saat dihu­bungi Rakyat Merdeka kemarin.

Namun, Bernando tak menya­lahkan sepenuhnya Malaysia atas pengakuan kebudayaan In­do­ne­sia. Menurutnya, ini seba­gai pe­ringatan kepada bangsa Indo­nesia agar melestarikan ke­bu­da­yaan­nya sendiri.

Sementara tokoh masyarakat Mandailing Natal, Amru Daulay menertawakan Menteri Pene­rangan Komunikasi dan Ke­bu­dayaan Malaysia Rais Yatim.

“Saya tidak akan marah, tapi malah akan menertawakan Ma­laysia kalau hal itu benar-be­nar mereka lakukan. Rasanya aneh dan lucu aja Malaysia meng­klaim budaya kita. Jelas-jelas kita pu­nya sejarah kalau Tortor dan Paluan Gordang Sem­bilan milik Mandailing dan Na­tal,” kata bekas Bupati Madina ini seperti dilansir dari Tribun.

Ketika dihubungi Rakyat Mer­deka, kemarin, Duta Besar Ma­laysia untuk Indonesia, Dato Syed Munshe Afdzaruddin mem­bantah negaranya mengklaim ke­dua kesenian tersebut sebagai milik Malaysia. “Malaysia hanya ikut men­du­kung kegiatan buda­ya ma­sya­rakat Mandailing di Ma­laysia,” tekan Afdzaruddin.

“Malaysia terdiri atas berbagai suku bangsa, salah satunya orang Mandailing. Mereka keturunan asli Mandailing dari Sumatera Utara. Mereka sering menggelar berbagai kegiatan terkait buda­yanya,” terang Afdzaruddin.

Afdzaruddin mengaku bakal ber­temu dengan ketua KNPI (Ko­mite Nasional Pemuda Indonesia) Pematang Siantar, Parlaungan Purba, hari ini di Kedutaan Be­sar Malaysia di Jakarta, untuk mem­bahas masalah tersebut.

“Besok (hari ini), saya akan ber­temu dengan Bapak Par­liu­ngan di kantor saya. Kita akan membahas permasalahan ini se­cara mendetail agar tak terjadi ke­salahpahaman. Namun yang pasti, Malaysia bukan meng­klaim kedua tarian tersebut se­bagai ke­budayaan milik mere­ka,” tan­das dubes yang ramah itu.

Sebelumnya, Rais Ya­tim akan mendaftarkan tari Tortor dan Paluan Gordang Sem­bilan, bu­daya asli masyarakat Sumatera Utara, dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. 

Menurut Rais, mem­pro­mo­si­kan seni dan kebudayaan ma­sya­rakat Mandailing itu sangat pen­ting karena bakal me­nun­jukkan asal kedua kebudayaan tersebut.

 “Tarian ini akan diresmikan se­bagai satu cabang warisan ne­gara,” katanya seusai m­e­res­mikan Per­himpunan Anak-anak Mandai­ling, di Malaysia,  Kamis (14/6). 

“Tetapi dengan syarat, per­tun­jukan berkala mesti digelar di hadapan khalayak ramai,” tukas Rais. [Harian Rakyat Merdeka]

Wednesday, March 10, 2010

Gus Zainal dan Revitalisasi Kaum Santri

(Catatan Satu Tahun Kematian KH Zainal Arifin Thaha)

Tulisan ini digunting dari blog Fatkhul Anas,seorang sahabat seperjuangan saya di bawah asuhan Gus Zainal.


14 Maret 2007 jagad Yogyakarta kehilangan seorang cendekiawan dan budayawan muda kharismatik. Dialah KH Zainal Arifin Thaha, cendekiawan kelahiran kediri, 5 Agustus 1972. Dalam usianya yang ke-35 KH Zainal Arifin Thaha mangkat menuju kehadirat Ilahi dengan meninggalkan istri tercinta, 5 orang putra serta para santri Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari. Gus Zainal panggilan akrab bagi KH Zainal Arifih Thaha, adalah sosok manusia istimewa. Beliau selain dikenal sebagai cendekiawan juga merangkum budayawan, penyair, dosen, seniman, bahkan Kyai. Disinilah kepribadian yang luar biasa terangkum dalam diri Gus Zainal. Hanya saja belum sempat melanjutkan cita-cita luhurnya, beliau harus pulang kehadiran Ilahi dalam usia muda.

Tuesday, October 09, 2007

Sekilas Guzzainal

Oleh Salman Rusydie, dikliping dari: sini



Bagi sebagian masyarakat Jogja, nama Zainal Arifin Thaha barangkali bukanlah sosok yang asing. Beliau adalah pribadi yang dekat dengan siapa saja, baik kalangan mahasiswa, tokoh organisasi, tokoh agama, sastrawan, para penulis dan tentu saja masyarakat pada umumnya. Mungkin karena kedekatannya dengan berbagai elemen itulah pada akhirnya Zainal Arifin Thaha juga dikenal sebagai sosok yang memiliki multiaktivitas seperti halnya akademisi, sastrawan, penulis buku, muballigh dan juga dosen. Dari sekian banyak aktivitas yang ia jalankan, ada beberapa peninggalan yang masih bisa kita lihat setelah kepergiannya tujuh tahun yang silam, antara lain berupa karya buku dan juga rintisan pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie.

Saturday, May 19, 2007

FUNGSI DAKWAH DAN DUKUNGAN MASYARAKAT: Menyingkap Fenomena Penyair Muda Madura

Esai oleh Beni Setia dimuat di Suara Karya Sabtu, 19 Mei 2007

from Suara Karya
Tulisan S Yoga, "Geliat Penyair Muda Madura" [ lihat: SK, 7/4. 2007], mengapungkan sebuah tanya dan satu pseudo jawaban. Pertanyaan itu adalah, dari empat kabupaten di Madura, Bangkalan, Sampang, Sumenep dan Pamekasan, kenapa hanya Sumenep yang banyak melahirkan penyair?


S Yoga mensinyalir stimulus tidak langsung dari tradisi intelektual mengkaji kandungan Qur'an di satu sisi, dan kebiasaan tilawatil Qur"an yang mirip seni baca puisi dan kebiasaan barzanji di pesantren pada kelahiran penyair - yang dianggapnya sejajar dengan tradisi macapat pada masyarakat pedesaan lainnnya. Secara spesipik S Yoga menyinggung eksistensi dan sumbangsih dari Ponpes Al Amin di Prenduan dan Annuqayah di Guluk-Guluk. Tetapi siapa penyair Madura yang di-bangkitkan oleh tradisi sastra klasik Jawa macapat?

Wednesday, May 09, 2007

Tradisi Tulis-Menulis yang Kian Rapuh

Oleh Matroni el Moezany, ini dikliping dari sini

Kutub adalah sebuah wadak sekaligus tempat yang ada dibawah naungan Pondok Pesantren Hasyim Asy’arie yang diasuh oleh seorang budayawan K.H. Zainal Arifin Thaha (alm) sekarang di asuh oleh istrinya Maya Feri Oktavia (Bunda Maya). Santrinya datang dari berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, Madura, dan Bali mereka (santri) di samping belajar kitab kuning (ngaji), mereka juga belajar menulis. Baik menulis opini, esai, puisi, cerpen, resensi, jurnalistik ada juga yang sudah menerbitkan buku.

Tuesday, May 08, 2007

Mengenang Gus Zainal Arifin Thoha

Digunting dari sini 

“SEORANG filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda,” tulis Shoe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Ungkapan Gie ini kiranya tepat untuk mengenangkan Gus Zainal Arifin Thoha yang meninggal di usia yang relatif muda, 35 tahun.

Saturday, April 07, 2007

Geliat Penyair Muda Madura

Esai S.Yoga digunting dari Suara Karya edisi 7 April 2007

From Suara Karya
Madura selain terkenal sebagai pulau garam dan tembakau ternyata menyimpan banyak potensi, di antaranya dunia kepenyairan, sastrawan. Ini bisa kita lihat dari beberapa nama yang sudah malang melintang di dunia kepenyairan, sebut saja D Zawami Imron, Abdul Hadi WM, yang lebih muda lagi Jamal D Rahman, Ahmad Nurulah, Syaf Anton WR dan Hidayat Raharja.