Sunday, March 02, 2014

Hati-Hati Plagiarisme!

(Versi cetak esai ini dimuat dı Jawa Pos 02/03/2014 sebagai tanggapan atas tulisan Abdul Waid di koran yang sama Jawa Pos 23/02/2014 di sini).

Plagiarisme: jauhi virusnya, jangan jauhi orangnya!”
@ih_plagiat

Minggu kemarin (Jawa Pos/23/2/2014) rubrik ini menurunkan sebuah ulasan tentang plagiarisme oleh Abdul Waid berjudul Antara Plagiat, Mengutip, dan Menyadur; membahas kasus plagiarisme yang menjerat Anggito Abimanyu, seorang akademisi dan sekaligus pejabat negara. Dengan konsentrasi membahas kasus plagiarisme Anggito, Waid terlihat lalai terhadap hal substansial tentang plagiarisme itu sendiri. Tulisan ini saya anggap perlu sebagai bahan bacaan lebih lanjut dengan memberikan penjelasan yang up to date kepada khalayak pembaca.

Sebenarnya, saya sudah tidak terkejut dengan kasus plagiarisme yang secara umum terjadi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir. Setelah kasus plagiarisme Prof. Anak Agung Banyu Perwita, seorang alumni pendidikan Amerika dari Universitas Parahyangan Bandung empat tahun silam, saya tidak lagi melihat kasus plagiarisme sebagai suatu yang “istimewa”. Karena sepertinya tindakan plagiarisme, yang sebenarnya haram dalam dunia kepenulisan, terus-menerus dibikin lentur dan bahkan kurang digubris oleh khalayak baik oleh para penulis sendiri ataupun pihak hukum. Ia justru menjadi semacam “keteledoran” yang dibiarkan (atau dipaksa) menjadi benar dengan cara membiarkan sejak di bangku Sekolah Dasar hingga di jenjang pendidikan tinggi sekalipun. 

Argumen di atas bisa kita buktikan dengan munculnya “pembelaan” atas kasus plagiarisme. Naifnya, para pembela kasus plagiarisme tidak sedikit dan bahkan dari kalangan penulis sendiri. Mereka membela dengan membabi buta tanpa melihat substansi “plagiarisme” itu sendiri. 

Sekarang kita bersepakat untuk tidak menyerang plagiator secara personal, tetapi kasus plagiarisme harus dituntaskan secara hukum dan jelas. Karena secara hukum kita sudah mempunyai aturan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang secara ketat dan jelas mengatur kasus plagiarisme. 

Lalu, apa yang perlu diperhatikan dalam tulisan Waid? Jawabannya adalah tentang definisi plagiat yang dicuplik Waid, dengan mengatakan bahwa plagiat adalah tindakan pengambilan karangan (orang lain) secara utuh (tidak sepotong-sepotong) dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri. Saya tidak tahu kamus susunan siapa yang dirujuk Waid (terbit tahun 1995?). Definisi ini sangat usang dan tidak lagi dipakai karena terlihat longgar dan tidak ada batasannya. Jika definisi ini yang dipakai akan sangat berbahaya dalam praktiknya, karena dengan mudah kita akan mencuri tulisan dalam sebuah buku dengan cara mengambilnya secara sepotong-sepotong. Dan praktik seperti itu kemudian bisa diklaim sebagai tindakan bukan plagiarisme, seperti argumentasi Waid terhadap kasus Anggito (baca: paragraf 8).

Untuk itu, sebagai bandingan selevel, mari tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional terbitan tahun 2008. Di sana sudah mulai lebih jelas didefinisikan bahwa plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri (hal: 1083).

Definisi di atas lebih ketat dan mempunyai titik temu dengan Undang-Undang yang berlaku, misalnya seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi di Bab 1 Pasal 1 yang berbunyi: Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa pernyataan sumber secara tepat dan memadai. 

Definisi plagiarisme di atas sebenarnya sudah sangat ketat dan jelas. Ia secara lengkap banyak merujuk kepada kampus-kampus terbaik dunia seperti misalnya Harvard University (http://isites.harvard.edu/) ihwal kebijakan dan pemahaman plagiarisme. Untuk itu definisi tersebut harus disepakati sebagai pijakan sah karena sudah diatur dalam Undang-Undang. 

Selanjutnya, mari tengok kasus plagiarisme yang menimpa Fareed Zakiria sebagai contoh menarik dan sekaligus kontras dengan kasus yang diangkat Waid. Wartawan dan penulis bertalenta berdarah India, kolumnis dan editor-in-chef Newsweek International, editor-at-large Time, dan host di CNN untuk program Global Public Square. Ia harus ditangguhkan—selama dilakukan proses pengecekan tulisan (under review)—dari sederet kegiatan fenomenal tersebut (CNN, Time dan Newsweek) hanya karena teledor melakukan plagiat dalam kolomnya di Majalah Time, 20 Agustus 2012 yang ditengarai memplagiat artikel karya Jill Lepore di New Yorker pada 22 April 2010. 

Hebatnya, secara terbuka Fareed mengakui kepada publik tentang keteledorannya sebagai a terrible mistake, meski setelah diselidiki oleh tim Time dan CNN perbuatannya masih bisa terampuni sebagai tindakan "isolated", "unintentional" dan “a journalistic lapse”. 

Namun begitu kecelakaan hanya-satu paragraf yang sudah sedikit diprafrasa oleh Fareed tersebut telah mencoreng sosoknya di mata dunia. Lain halnya dengan Anggito yang oleh Waid disebut bukan plagiator, tetapi “lebih tepat dibilang mengutip dengan tidak jujur, bukan plagiat”. 

Saya curiga Waid tidak menelisik lebih jauh sumber, definisi ataupun aturan plagiarisme, khususnya UU yang secara sah sudah diterbitkan pemerintah. Sikap terburu-buru seperti ini sangat riskan terhadap kesimpulan yang menyimpang. Sebagai sama-sama penulis, kita harus seksama melihat lebih jeli sebelum merampungkan sebuah tulisan. Karena secara moril, kita akan bertanggung jawab terhadap tulisan kita sendiri.

Bagi saya, Anggito adalah plagiator dengan dipertegas oleh surat pernyataan mundur dari institusi UGM yang disampaikannya di depen pers. Dalam surat pernyataan tersebut menunjukkan tindak kesengajaan dirinya dengan mengambil data yang ada di meja kerjanya tanpa melihat dan mengecek lebih lanjut sumber data-data tersebut.

Akhirnya saya hanya bisa berharap semoga kesimpulan Waid dalam tulisannya Minggu kemarin tidak mempengaruhi pemahaman khalayak lebih banyak. Karena jika iya, saya curiga praktik plagiat akan semakin menggurita dengan tanpa diperkenalkan terlebih dulu definisi dan aturan sah tentang plagiarisme yang berlaku.

0 comments: