Saya terbilang tidak pernah mengalami kecelakaan lalu lintas, selain hari ini, tepatnya pada 14 Oktober 2024, sekitar pukul 10:20 WIB. Saya tidak punya dokumen apa-apa, selain ingatan ini yang saya tuliskan ketika sudah sampai di tempat kerja. Laiknya para pemburu momentum, saya mestinya foto dulu, tapi itu tidak mungkin, karena saya sedang bersama dua anakku. Separuh hidupku seperti terhenti di tengah-tengah mereka.
Pagi itu, seperti biasa saya menemani dua anakku bangun, mandi, sarapan dan siap-siap bersekolah. Saya memang membiarkan mereka bangun pagi sesuai waktu biologisnya. Anak-anak kadang bangun pukul 07 atau bahkan pernah sampai pukul 08. Bagi saya, mereka masih butuh menikmati jam tidur, memaksimalkan mereka bermain juga. Urusan belajar, dalam hal ini terkait sekolah, bagi saya adalah sekunder. Tetapi belajar tentang hidup adalah yang utama. Belajar tidak harus di sekolah, karena di manapun adalah ruang pembelajaran--tinggal sepeka apa kita menghadapinya!
Pendidikan yang saya tekankan adalah pendidikan kehidupan; bagaimana mereka mengenal, mempelajari, berpikir dan menerima kehidupan sebagai hal-hal yang riil di depan mereka. Pada dasarnya, yang penting dalam hidup ini adalah kekuatan emosional, karena manusia hidup sebagai manusia, bukan robot.
Setelah mandi pagi dan sarapan, saya bersiap-siap membawa Ef dan Mosada dengan motor, kendaraan andalan yang sering saya pakai karena lebih cepat, luwes dan tidak bingung soal parki jika butuh ke mana-mana untuk urusan kerja. Sekali dua kali pakai mobil, lebih-lebih karena kebutuhan.
Berangkat
dari rumah, seperti biasa, kami bercerita tentang apa saja. Tak jarang juga
masih mampir di tengah jalan—entah lihat sapi, orang kerja di sawah, pemulung, pengamen atau
peristiwa apapun dalam kehidupan ini.
Ini bisa
dibilang kecelakaan pertama saya dengan motor. Saya biasa melewati ring road di
dekat kampus UAD dan putar balik di situ. Pagi itu, mungkin ini bisa jadi alasan: saya masih mengantuk. Maklum, saya baru bisa tidur jam 2-an karena
harus memastikan si bungsu Mosada tidur. Jika dia belum tidur, saya tidak bisa memejamkan mata. Dan pagi sebelum jam 6 saya sudah harus bangun. Setelah salat Subuh, kadang lanjut
tidur sampai jam 07 menemani mereka juga. Tapi pagi itu tidak. Karena saya masih
WA-an dengan istri, ada beberapa hal yang harus dibereskan.
Ya, akhir-akhir
ini saya memang banyak pikiran. Maklum akhir tahun, ada beberapa projek dan
kerjaan harus beres. Selain itu, istri juga sedang merancang beberapa rencana
yang juga menguras pikiran.
Saya tidak melamun, tentu saja. Tapi mungkin jangkauan mata agak terbatas. Tepat ketika putar balik, saya melewati tumpahan kalau bukan oli ya solar di atas aspal. Karena reflek, ada ketidakseimbangan antara rem dan tubuh kami. Prak, kami jatuh... dalam kondisi pelan tentu saja. Yang saya rangkul pertama adalah si bungsu Mosada, memastikan anak 3 tahun itu tidak terjadi apa-apa. Alhamdulilah aman. Hanya Ef sedikit lecet di lututnya karena dia pakai celana pendek. Saya sendiri mengalami urat terkilir di pergelangan tangan. Nyeri. Selebihnya aman.
Satu hal sebagai lesson-learned adalah tentang teriakan Mosada ketika mau dibantu diangkat oleh mbak-mbak yang menghampiri kami. Dia ketakutan—antara terkejut dan takut dengan orang asing. Yang saya khawatirkan adalah trauma. Saya tidak ingin--atau seminimal mungkin--anak saya mengalami trauma. Memang, itu manusiawi, tapi trauma bagi saya tidak baik, apalagi sampai phobia. No, nauzubillah.
Sekejap saya pastikan mereka berdua menepi.
Setelah motor
berdiri dan saya mengembalikan mereka ke posisi, sebelum menyalakan motor, saya bilang ke mereka, “Ini namanya
kecelakaan, Nak. Kalian sudah merasakannya. Tapi syukur tidak parah dan
berbahaya. Maafkan Babah, ya,” sembari saya memeluk mereka.
Tulisan ini agar kelak menjadi pengingat bagi mereka tentang kehidupan kita begini, kelak. Pasti Ef atau Sada akan membaca catatan ini dan mengingat bahwa kita adalah manusia, juga rakyat kecil, yang merasakan panas dan asap bersama-sama.