Oleh Matroni el Moezany, ini dikliping dari sini
Kutub
adalah sebuah wadak sekaligus tempat yang ada dibawah naungan Pondok Pesantren
Hasyim Asy’arie yang diasuh oleh seorang budayawan K.H. Zainal Arifin Thaha
(alm) sekarang di asuh oleh istrinya Maya Feri Oktavia (Bunda Maya). Santrinya
datang dari berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, Madura, dan Bali mereka
(santri) di samping belajar kitab kuning (ngaji), mereka juga belajar menulis.
Baik menulis opini, esai, puisi, cerpen, resensi, jurnalistik ada juga yang
sudah menerbitkan buku.
Berangkar dari bekal seperti itu kesemangatan yang ditanamkan oleh pengasuh (K.H. Zainal Arifin Thaha, budayawan) sendiri yaitu profesionalitas, spiritualitas, dan kreativitas yang itu langsung dipandu beliau sendiri. Dengan semangat yang "berdarah-darah" mereka semua berjuang untuk menulis di media massa dan mereka mayoritas berhasil meraih itu semua. Bahkan dalam satu media kadang di isi oleh anak Kutub, mengapa? Karena ketiga tersebut (profesionalitas, spiritualitas, dan kreativitas), di tanam dalam semangat dan mereka semuanya berangkat dari kosong tapi dengan semangat yang berdarah-darah itu mereka meraih semua apa yang diharapkan pengasuh dan mereka sendiri, seperti syarat yang diberikan pengasuh kepada santrinya "kalau ingin mondok di sini tidak boleh minta orang tua, baik masalah finansial dalam makan tiap harinya, termasuk biaya kuliah," mereka dilarang keras oleh beliau (pengasuh), mengapa? Karena Kutub ini lahir sebagai wadak bagi orang-orang yang mau Mandiri dari segala aspek (keuangan, dan biaya kehidupan).
Di
Indonesia bahkan di dunia hanya Kutub-lah yang bisa dan berani memberikan
sebuah komonitas yang gratis dan santrinya harus mandiri, sebab selama ini
belum ada pondok yang gratis seperti tradisi Kutub. Dari situlah dengan
digratiskan, mereka harus berjuang mencari nafkah baik dengan menjual koran,
berdagang ankringan yang penting mereka mendapatkan uang halal mereka pasti mau
untuk mengerjakan. Bahkan ada sebagian mereka yang kadang tidak makan selama
dua hari ini biasa, ada yang puasa karena masih belum menadapatkan uang. Dan
tradisi tidak makan tersebut mereka berhasil, karena dengan kelaparan mereka
bisa mencapai spiritual yang pengasuh inginkan. Tapi, dengan rasa kebersamaan
mereka semua bisa hidup dan makan dengan nyaman, satu nampan sepuluh orang ini
tradisi yang selalu menghiasi Kutub setiap pagi dan sore.
Saya
kira komonitas Kutub adalah komonitas orang-orang yang bisa dan mampu untuk
dijadikan contoh atau teladan dalam kehidupan sehari-hari, baik sekarang maupun
kehidupan selanjutnya. Sebab di zaman sekarang ini, sulit ada sebuah komonitas
yang orang-orangnya mampu memberikan semangat dalam memperjuangkan dirinya
secara mandiri demi masa depan. Dan mayoritas dari mereka adalah mahasiswa.
Coba kita bayangkan seoarang mahasiswa yang bisa mandiri dalam segala hal. Ini
sangat mustahil, tapi Kutub membuktikan ini semua. Saya kira di Indonesia
sedikit dari banyak mahasiswa bahkan bisa dikata tidak ada mahasiswa yang
seperti Kutub. Seperti HP beli sendiri dari hasil menulis di media massa.
Sepeda motor beli sendiri juga dari tabungan yang mereka dapatkan dari tulisan
itu bahkan biaya kuliah sampai selesai mereka dapatkan dari menulis. Ini sangat
luar biasa.
Sungguh
luar bisa Kutub ini, di era modern seperti ini masih ada orang yang bisa
mendiri, saya yakin bahwa mereka adalah orang yang pasti sukses dalam
menghadapi segala aspek kehidupan, karena sangat sulit bagi orang-orang sejak
mulai menjadi mahasiswa bisa seperti anak Kutub yang bisa mencari uang sendiri.
Apalagi anak-anak era sekarang tidak mau dibilang miskin walau pun dia apa
adanya. Realitas mahasiswa sekarang tidak ada uang tinggal telepon rumah, tapi
apakah mahasiswa yang seperti itu tahu bagaimana sulitnya mencari uang, dia
tidak mau tahu yang penting ada uang, cukup!.
Di
antara tokoh yang terlibat dalam mengurus atau orang yang memberi semangat
dalam menulis dan semangat kemandirian adalah Joni Ariadinata (cerpenis), Evi
Idawati (Penyair Jogja), Kuswaidi Syafi’e (sastrawan sufi), D. Zawawi Imron
(sastrawan), Salman Rusdi Anwar (sastrawan), Ahmad Mukhlis Amrin (sastrawan),
Bernando J Sujibto (sastrawan), Muhammadun As (Penulis), Gugun el-Guyani
(penulis), Mahwi Air Tawar (cerpenis) dan masih banyak tokoh yang lainnya yang
memang siap untuk selalu aktif di KUTUB.
Kendala yang dihadapi
Dengan
kemajuan budaya yang saat ini semakin melanglang dunia kita, seharusnya Kutub
lebih banyak berorientasi pada dasar awal dibangun. Karena tanpa melihat ke
dasar historis, Kutub akan kewalahan menghadapai budaya tersebut. Dalam
generasi Kutub ini sudah banyak yang keluar, walau pun pengasuh bilang
"tidak ada alumni dalam Kutub ini" tapi realitasnya Kutub memang baik
dalam pengkaderan, tapi sayangnya kader-kader Kutub tidak berdomisili dimana
Kutub terdomisili. Ini sebuah masalah yang sebenarnya harus diselesaikan oleh
Kutub sendiri.
Kendala
lain saat ini yang sedang menghiasi Kutub adalah budaya pragmatisme (hitam
putih) inilah yang dikatakan Musa Asy’arie bahwa mereka yang tidak mengenal
realitas dalam realitas, Kutub hanya mengenal realitas opini dan realitas
media. Lalu kemudian mengapa Kutub yang dulunya sangat kental (anti) dengan
modernisme kok sekarang seperti itu (kegersangan spiritual)? Artinya dalam
dunia menulis, sekarang Kutub beranggapan bahwa mereka yang menulis adalah
mereka yang dimuat di media massa, jadi yang tidak dimuat di media massa
berarti tidak menulis. Ini sangat naif sekali saya kira, pertama karena ada
unsur menipisnya nilai-nilai spiritaulisme yang sudah sejak lama dibangun,
kedua kurangnya semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Ketiga kurangnya
sensitivisme terhadap situasi sekitarnya. Keempat kurangnya perhatian terhadap
sesuatu yang paling terkecil. Sebab seperti kata-kata puisi "lihatlah
sesuatu di dunia ini sesuatu yang paling terkecil, siapa sangka kobaran yang
sederhana dapat membanjiri semesta". Artinya kita memulai sesuatu yang
sekiranya tidak ada gunanya, tapi dibalik semua yang kita kerjakan menyimpan
beribu mutiara yang terpendam di dalamnya, siapa yang tahu atas ini semua? Spiritualitas!
Keberhasilan
Kutub
sejak di rintis oleh Zainal Arifin Thaha sudah banyak melahirkan generasi yang
berkualitas, seperti yang telah saya sebutkan di atas, walau pun di antara
mereka masih dalam proses penjajakan dalam menyamai ajaran yang dibawa oleh
pengasuh tersebut. Mereka para santri sudah berhasil menghiasi media massa,
baik segi menulis puisi, opini, esai, resensi, dan cerpen, walau pun tidak
semua para santri itu, tapi setidaknya menulis apa yang mereka bisa, bisa
opini, menulis opini, bisa esai menulis esai begitu seterusnya.
Dengan
demikian, Kutub sudah bisa meramba dunia-dunia yang kata orang "dunia
kesengsaraan" mengapa tidak sengsara bila satu dua hari tidak menemukan
makan hanya minum air saja sudah cukup. Kutub adalah tempat bagi orang yang
ingin meramba dunia modern maupun dunia transenden. Karena kutub mempunyai
nilai yang ada di dalam Spiritualisme, profesionalisme dan kreativisme dengan
ketiga inilah Kutub menjadi besar di mata masyarakat pada umumnya di Yogyakarta
pada khususnya karena Kutub sendiri berada di daerah Yogaykarta Kabupaten
Bantul, Cabean. Letaknya sangat jauh dari peradaban tapi santri-santrinya bisa
mengusai informasi yang sedang aktual.
Walaupun Kutub sudah mengalami kemunduran dalam hal spiritual, tapi setidaknya
jangan sampai ada kata menyerah untuk berusaha ke arah dimana Kutub masih di
tangan almarhum K.H. Zainal Arifin Thaha. Selamat berjuang menghadapi gejolah
waktu yang kian rapuh.
0 comments:
Post a Comment