Wednesday, May 09, 2007

Tradisi Tulis-Menulis yang Kian Rapuh

Oleh Matroni el Moezany, ini dikliping dari sini


Kutub adalah sebuah wadak sekaligus tempat yang ada dibawah naungan Pondok Pesantren Hasyim Asy’arie yang diasuh oleh seorang budayawan K.H. Zainal Arifin Thaha (alm) sekarang di asuh oleh istrinya Maya Feri Oktavia (Bunda Maya). Santrinya datang dari berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, Madura, dan Bali mereka (santri) di samping belajar kitab kuning (ngaji), mereka juga belajar menulis. Baik menulis opini, esai, puisi, cerpen, resensi, jurnalistik ada juga yang sudah menerbitkan buku.

Berangkar dari bekal seperti itu kesemangatan yang ditanamkan oleh pengasuh (K.H. Zainal Arifin Thaha, budayawan) sendiri yaitu profesionalitas, spiritualitas, dan kreativitas yang itu langsung dipandu beliau sendiri. Dengan semangat yang "berdarah-darah" mereka semua berjuang untuk menulis di media massa dan mereka mayoritas berhasil meraih itu semua. Bahkan dalam satu media kadang di isi oleh anak Kutub, mengapa? Karena ketiga tersebut (profesionalitas, spiritualitas, dan kreativitas), di tanam dalam semangat dan mereka semuanya berangkat dari kosong tapi dengan semangat yang berdarah-darah itu mereka meraih semua apa yang diharapkan pengasuh dan mereka sendiri, seperti syarat yang diberikan pengasuh kepada santrinya "kalau ingin mondok di sini tidak boleh minta orang tua, baik masalah finansial dalam makan tiap harinya, termasuk biaya kuliah," mereka dilarang keras oleh beliau (pengasuh), mengapa? Karena Kutub ini lahir sebagai wadak bagi orang-orang yang mau Mandiri dari segala aspek (keuangan, dan biaya kehidupan).


Di Indonesia bahkan di dunia hanya Kutub-lah yang bisa dan berani memberikan sebuah komonitas yang gratis dan santrinya harus mandiri, sebab selama ini belum ada pondok yang gratis seperti tradisi Kutub. Dari situlah dengan digratiskan, mereka harus berjuang mencari nafkah baik dengan menjual koran, berdagang ankringan yang penting mereka mendapatkan uang halal mereka pasti mau untuk mengerjakan. Bahkan ada sebagian mereka yang kadang tidak makan selama dua hari ini biasa, ada yang puasa karena masih belum menadapatkan uang. Dan tradisi tidak makan tersebut mereka berhasil, karena dengan kelaparan mereka bisa mencapai spiritual yang pengasuh inginkan. Tapi, dengan rasa kebersamaan mereka semua bisa hidup dan makan dengan nyaman, satu nampan sepuluh orang ini tradisi yang selalu menghiasi Kutub setiap pagi dan sore.


Saya kira komonitas Kutub adalah komonitas orang-orang yang bisa dan mampu untuk dijadikan contoh atau teladan dalam kehidupan sehari-hari, baik sekarang maupun kehidupan selanjutnya. Sebab di zaman sekarang ini, sulit ada sebuah komonitas yang orang-orangnya mampu memberikan semangat dalam memperjuangkan dirinya secara mandiri demi masa depan. Dan mayoritas dari mereka adalah mahasiswa. Coba kita bayangkan seoarang mahasiswa yang bisa mandiri dalam segala hal. Ini sangat mustahil, tapi Kutub membuktikan ini semua. Saya kira di Indonesia sedikit dari banyak mahasiswa bahkan bisa dikata tidak ada mahasiswa yang seperti Kutub. Seperti HP beli sendiri dari hasil menulis di media massa. Sepeda motor beli sendiri juga dari tabungan yang mereka dapatkan dari tulisan itu bahkan biaya kuliah sampai selesai mereka dapatkan dari menulis. Ini sangat luar biasa.


Sungguh luar bisa Kutub ini, di era modern seperti ini masih ada orang yang bisa mendiri, saya yakin bahwa mereka adalah orang yang pasti sukses dalam menghadapi segala aspek kehidupan, karena sangat sulit bagi orang-orang sejak mulai menjadi mahasiswa bisa seperti anak Kutub yang bisa mencari uang sendiri. Apalagi anak-anak era sekarang tidak mau dibilang miskin walau pun dia apa adanya. Realitas mahasiswa sekarang tidak ada uang tinggal telepon rumah, tapi apakah mahasiswa yang seperti itu tahu bagaimana sulitnya mencari uang, dia tidak mau tahu yang penting ada uang, cukup!.


Di antara tokoh yang terlibat dalam mengurus atau orang yang memberi semangat dalam menulis dan semangat kemandirian adalah Joni Ariadinata (cerpenis), Evi Idawati (Penyair Jogja), Kuswaidi Syafi’e (sastrawan sufi), D. Zawawi Imron (sastrawan), Salman Rusdi Anwar (sastrawan), Ahmad Mukhlis Amrin (sastrawan), Bernando J Sujibto (sastrawan), Muhammadun As (Penulis), Gugun el-Guyani (penulis), Mahwi Air Tawar (cerpenis) dan masih banyak tokoh yang lainnya yang memang siap untuk selalu aktif di KUTUB.


Kendala yang dihadapi


Dengan kemajuan budaya yang saat ini semakin melanglang dunia kita, seharusnya Kutub lebih banyak berorientasi pada dasar awal dibangun. Karena tanpa melihat ke dasar historis, Kutub akan kewalahan menghadapai budaya tersebut. Dalam generasi Kutub ini sudah banyak yang keluar, walau pun pengasuh bilang "tidak ada alumni dalam Kutub ini" tapi realitasnya Kutub memang baik dalam pengkaderan, tapi sayangnya kader-kader Kutub tidak berdomisili dimana Kutub terdomisili. Ini sebuah masalah yang sebenarnya harus diselesaikan oleh Kutub sendiri.


Kendala lain saat ini yang sedang menghiasi Kutub adalah budaya pragmatisme (hitam putih) inilah yang dikatakan Musa Asy’arie bahwa mereka yang tidak mengenal realitas dalam realitas, Kutub hanya mengenal realitas opini dan realitas media. Lalu kemudian mengapa Kutub yang dulunya sangat kental (anti) dengan modernisme kok sekarang seperti itu (kegersangan spiritual)? Artinya dalam dunia menulis, sekarang Kutub beranggapan bahwa mereka yang menulis adalah mereka yang dimuat di media massa, jadi yang tidak dimuat di media massa berarti tidak menulis. Ini sangat naif sekali saya kira, pertama karena ada unsur menipisnya nilai-nilai spiritaulisme yang sudah sejak lama dibangun, kedua kurangnya semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Ketiga kurangnya sensitivisme terhadap situasi sekitarnya. Keempat kurangnya perhatian terhadap sesuatu yang paling terkecil. Sebab seperti kata-kata puisi "lihatlah sesuatu di dunia ini sesuatu yang paling terkecil, siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta". Artinya kita memulai sesuatu yang sekiranya tidak ada gunanya, tapi dibalik semua yang kita kerjakan menyimpan beribu mutiara yang terpendam di dalamnya, siapa yang tahu atas ini semua? Spiritualitas!


Keberhasilan


Kutub sejak di rintis oleh Zainal Arifin Thaha sudah banyak melahirkan generasi yang berkualitas, seperti yang telah saya sebutkan di atas, walau pun di antara mereka masih dalam proses penjajakan dalam menyamai ajaran yang dibawa oleh pengasuh tersebut. Mereka para santri sudah berhasil menghiasi media massa, baik segi menulis puisi, opini, esai, resensi, dan cerpen, walau pun tidak semua para santri itu, tapi setidaknya menulis apa yang mereka bisa, bisa opini, menulis opini, bisa esai menulis esai begitu seterusnya.


Dengan demikian, Kutub sudah bisa meramba dunia-dunia yang kata orang "dunia kesengsaraan" mengapa tidak sengsara bila satu dua hari tidak menemukan makan hanya minum air saja sudah cukup. Kutub adalah tempat bagi orang yang ingin meramba dunia modern maupun dunia transenden. Karena kutub mempunyai nilai yang ada di dalam Spiritualisme, profesionalisme dan kreativisme dengan ketiga inilah Kutub menjadi besar di mata masyarakat pada umumnya di Yogyakarta pada khususnya karena Kutub sendiri berada di daerah Yogaykarta Kabupaten Bantul, Cabean. Letaknya sangat jauh dari peradaban tapi santri-santrinya bisa mengusai informasi yang sedang aktual.


Walaupun Kutub sudah mengalami kemunduran dalam hal spiritual, tapi setidaknya jangan sampai ada kata menyerah untuk berusaha ke arah dimana Kutub masih di tangan almarhum K.H. Zainal Arifin Thaha. Selamat berjuang menghadapi gejolah waktu yang kian rapuh.

0 comments: