Wednesday, February 06, 2008

Imlek, Soeharto dan Etnis Tionghoa

Versi cetak dari artikel ini dimuat di Bisnis Indonesia [Rabu, 06/02/2008]

Perayaan Tahun Baru Imlek sebentar lagi akan diperingati, tepat pada 7 Februari 2008, atau Gong Xi Fa Cai 2559. Dalam peringatan kali ini Imlek dituntut mempunyai wahana penghayatan yang berbeda dari sekadar ritual tahunan seperti yang terjadi selama ini.

Kegetiran sejarah tersebut perlu sekali kita urai kembali di tengah perayaan Imlek kali ini sebagai upaya menemukan titik terang kebenaran sejarah. Upaya demikian juga diharapkan bisa semakin memperkuat pengakuan eksistensi etnis Tionghoa dengan segala jenis tradisi dan kebudayaannya, sehingga sikap deskriminatif yang membekas hingga sekarang tidak lagi menjadi alasan terhambatnya solidaritas bagi sesama.


Kepergian mantan presiden kedua Indonesia H.M. Soeharto memang telah membiaskan duka yang teramat dalam bagi rakyat pribumi khususnya. Namun, di balik itu, kepergian Sang Jenderal Besar itu masih menyisakan berjibun masalah yang belum terselesaikan hingga sekarang. 

Dalam konteks ini adalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang hingga kini masih tersisa kuat mengakar di benak masyarakat. Selanjutnya, masalah kelam demikian satu per satu harus dibongkar dan dikuak ke permukaan secara transparan agar dapat ditelisik posisi benar dan salahnya dengan proporsional. 

Tidak bisa dielakkan bahwa Pak Harto telah memerankan sebuah 'sandiwara' politik yang memarjinalkan hak dan martabat etnis Tionghoa secara menyeluruh. Akses kehidupan yang bersinggungan dengan mereka dibatasi ke dalam sekat hitam dan kelam yang hingga sekarang belum diposisikan kebenarannya secara hukum. 

Saat ini, bersamaan dengan perayaan Tahun Baru Imlek dan di tengah sisa 'dukacita' atas Pak Harto, kasus-kasus diskriminasi tersebut harus dihadirkan kembali sebagai proses penguatan memori kolektif terhadap eksistensi kebangsaan kita. 
Yang jelas, bagi mayoritas etnis Tionghoa di negeri ini sosok Pak Harto masih menjadi antipati sejarah mereka sendiri. Terdapat sejarah getir bagi masa lalu keturunan bangsa asing, khususnya etnis China, yang sangat sulit terhapus dari bayang-bayang masa lalu mereka.

Tengok saja sandiwara politik yang dimainkan Orba terhadap bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa dalam usaha menghancurkan martabat dan jati diri etnis Tionghoa, langkah pertama yang dilakukan rezim militer Orde Baru adalah mengganti sebutan Tiongkok dan Tionghoa menjadi "China". 

Usul ini adalah hasil Seminar Angkatan Darat ke-2 pada 1966 di Lembang. Sandiwara politik ini kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan instruksi Presidium Kabinet Ampera agar sebutan Tionghoa dan Republik Rakyat Tiongkok diganti menjadi China dan Republik Rakyat China. 

Tindakan selanjutnya adalah mengeluarkan larangan perayaan ritual kepercayaan, tradisi dan adat-istiadat Tionghoa di luar rumah seperti perayaan Imlek dan tarian singa (barongsai). Simbol-simbol tradisi yang dipunyai etnis Tionghoa sebagai ejawantah identitas pluralisme di negeri ini tidak boleh dibeber ke publik.

Jika dirunut dalam perspektif historis, citra negatif dan 'pahit' terhadap etnis Tionghoa memiliki akar yang panjang, yaitu sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada masa kolonial. Jejak politik kelam ini ternyata kuat mengakar, bahkan dikuatkan dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno dengan menandatangani Perjanjian dengan Republik Rakyat China (RRC) pada tanggal 22 April 1955. 

Perjanjian menghasilkan UU No. 2/ 1958 tentang Dwikewarganegaraan. Akhirnya, semua peranakan Tionghoa di Indonesia harus memilih menjadi Warga Negara Indonesia atau RRT, padahal Indonesia menganut stelsel pasif dan bukan stelsel aktif. Seharusnya etnis Tionghoa otomatis menjadi WNI pascaproklamasi kemerdekaan.

Kemudian, rezim Orba telah menggunakan alasan hukum sebagai alat untuk mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia secara sistematis dan konsisten. Di antaranya Tap MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 yang memberangus hak budaya. Seperti disinyalir Frans H Winarta, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), "sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru adalah bentuk nyata genosida kultural (cultural genocide)."

Angin segar

Tumbangnya nahkoda Orba adalah angin segar bagi etnis Tionghoa yang nantinya akan membuka kran kebebasan untuk melaksanakan tradisi dan kebudayaan mereka. Kesadaran negara Indonesia sebagai bangsa yang plural perlahan tumbuh dengan mengakui aneka suku bangsa dengan simbol tradisinya yang telah ikut mempererat persaudaraan membangun bangsa yang solid dan utuh. 

Landasan ini kemudian diperkuat oleh upaya pemerintah reformasi yang mencabut kebijakan-kebijakan deskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain (i) Keppres No 56/1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI); (ii) Keppres No 6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China; (iii) Inpres 26/1998 tentang Penghapusan Penggunakan Istilah Pri dan Non Pri; (iv) Kepres No 19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional. Pada Januari 2006 Menteri Agama memperbanyak jumlah agama resmi menjadi enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu.

Sekarang, Imlek telah menjadi bagian dari tradisi bangsa kita yang mencerminkan spirit multi-agama dengan penuh warna perdamaian. Namun, fighting spirit etnis Tionghoa dalam memperjuangkan eksistensinya di tengah pemerintahan Orba yang antipati itu harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan dan pengakuan diperoleh dengan keringat dan darah. 
Jadi, kebijakan politik diskrimatif Orba yang melahirkan tragedi berdarah, seperti pada masa penumpasan G30S ribuan etnis Tionghoa turut menjadi korban penangkapan dan pembunuhan dengan tuduhan "Baperki", harus menjadi pelajaran hukum yang turut diusut dan direhabilitasi secara proporsional. 

Dari itu, perayaan Imlek kali ini harus dimaknai sebagai spirit kebangkitan dari timbunan sejarah kelam masa lalu etnis Tionghoa. Sebagai sebuah simbol tradisi bangsa yang dilindungi oleh negara, perayaan Imlek harus kita apresiasi di tengah multikulturalisme dan multi-agama bangsa ini. Akhirnya, selamat tahun baru Imlek untuk semua yang merayakannya....

Imlek ke-2559 dihadapkan dengan fenomena gonjang-ganjing kasus alm. Soeharto yang mempunyai peran kompleks di balik pergulatan sejarah getir etnis Tionghoa. Imlek merupakan salah satu unsur-eksotis tradisi yang dilahirkan dari kebudayaan khas etnis Tionghoa-sebagai penganut mayoritas agama Kong Hu Cu-yang telah mengakar di Nusantara. Eksistensi Imlek menjadi keniscayaan multikulturalisme bangsa Indonesia dan sekaligus tidak bisa dipisahkan dari akar historis etnis Tionghoa yang mengalami getah-getir sejarah hampir separuh masa republik ini. 

0 comments: