Hari itu, Senin 31 Januari 2011, kasus Ariel Peterpan dengan video porno bersama Cut Tari dan Luna Maya memasuki babak putusan hakim di Pengadillan Tinggi Bandung. Ariel harus menerima kurungan 3,5 tahun, meski vokalis yang punya suara serak-khas itu masih punya hak untuk naik banding. Semua orang ramai berdatangan: para fans, handai tolan, kawan karib, dan para pendemo. Suara mereka terdengar riuh rendah—ada senyum sumbringah, harapan, dan kecemasan. Sesekali teriakan dengan urat leher yang menjilat ke luar terlontar dari luar gedung pengadilan.
Ariel yang sedang duduk di bangku pesakitan itu terlihat dengan sangat yakin. Senyum khasnya menyebar ke siapa pun yang sempat menjalin muka. Proses di pengadilan dengan pasal pornografi kepada Ariel adalah yang pertama, dan Ariel menjadi saksi sejarah terhadap Undang-Undang yang sempat molor dan kontroversi itu. Jelas ini pengadilan selebritis, artis, dan pablik figure—penuh gengsi dan perlu ditonton bagi yang menyukainya.
Sebelum mandi pagi, saya sempat membuka channel Metro TV. Dan teriakan Allah Akbar menyalak melalui urat leher yang menjilat ke luar tadi, seperti ular yang tengah mengamati mangsa. Semakin lama semain riuh. Suara “Allahu Akbar” pun semakin bergelegar, dan tentu, urat leher mereka pun semakin menjilat dan keras.
Jika kita ingin tahu bagaimana kerasnya urat leher ketika berteriak dengan muka yang geram dan legam, cobalah belajar melihat muka sendiri di depan cermin. Saya jamin, Anda pun tidak akan lama-lama melakukan itu karena terasa malu menemukan keganjilan wajah kita sendiri.
Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya jika nama saya: BJ. Sujibto, Bernando J. Sujibto, ataupun nama Anda diteriakkan dengan urat leher yang keras dan kerutannya seperti lingkaran usus yang kembang-kempis. Apakah saya (atau Anda) akan senang, lalu senyam-senyum, dan meminta terus diteriakkan lebih lantang, atau bahkan saya geram dan naik pitam karena sebuah nama, yang diberikan orangtua dengan memilah-milih yang terbaik, telah dikotori dengan teriakan-teriakan yang penuh emosi?
Saya sebagai Muslim selalu diajarkan menyebutkan nama Allah dan firman-firmanNya dengan vokal seni yang indah dan semampai. Dan bahkan, Allah sendiri memerintahkan kita agar menyebut dan membaca firman-Nya dengan tartila (wa rattilul qur’ani tartilaa). Tartila dalam pemahaman sempit saya adalah seni membaca Al-Qur’an dengan perlahan-lahan, indah dan memikat. Sehingga bukan omong kosong ketika AL-Qur’an dibacakan banyak orang yang bergetar hatinya, bahkan pun orang segarang Umar bin Khattab yang dikenal sebagai Singa Padang Pasir.
Jika nama Allahu Akbar lalu disebutkan dengan suara yang indah, tartila, dipoles dengan senyum renyah disemati garis-garis berseri sumarah, keagungan, kebesaran, kemuliaan Allah akan mengalir ke segenap ciptaan di muka bumi dan kedamaian akan bergelinding menghampiri ciptaan Allah.
Mari serukan nama Allah, ayat-ayat-Nya dan semua risalah sejarah kenabian dengan kesyahduan, binaran senyum, dan sapa hangat untuk semua: demi rahmatul lil alamin.
0 comments:
Post a Comment