Versi cetak dari tulisan ini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu, 30 Oktober 2011
"Jika bumi, langit dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari pertama, dan jauh setelah
hari keenam?"
(Ahmad Nurullah, Setelah Hari Keenam)
personal doc |
Pada titik itulah puisi, ruang yang bukan manden (mundane), lahir. Puisi selalu (harus) menembus kejamakan alam pikir manusia yang dikonstruksi dari realitas yang "dibuat-dibuat" atas dasar interest dan kepentingan beberapa (sejarah) orang. Karena dalam puisi ada dewa bernama imajinasi yang mengantarkan semuanya menjadi mungkin, dan menegaskan bahwa ruh yang diasah oleh penyair berupa imajinasi telah melampaui realitas itu sendiri (beyond reality). Diktum popular dari Albert Einstein menguatkan proposisi tersebut bahwa "logic will get you A to B, imagination will take you everything."
Deskripsi di atas adalah secuil pengantar memasuki
kumpulan puisi karangan penyair Ahmad Nurullah berjudul Setelah Hari
Keenam. Judul buku yang diambil dari judul salah satu puisi di
dalamnya (hlm 98-99) secara terang benderang sudah mempersoalkan atau mempertanyakan
ulang tentang entitas pencitaan ragat raya (sama' wal ardl), yang
menurut kitab suci (Al-Qur'an) diciptakan Tuhan selama enam hari (fi sittati
ayyaam).Setelah Hari Keenam, atau sejak jauh sebelum hari
pertama, apa yang Tuhan lakukan? Pertanyaan itu tentu menembus pola-pikir
kebiasaan banyak orang; sebuah topik yang menurut banyak orang selesai, namun
tidak di tangan penyair! Nurullah menjawabnya sendiri, namun dengan nada sinis
dan memporak-porandakan akal jamak manusia beragama. Seperti dalam bait //... Aku tak
hendak mengatakan:/ Tuhan adalah pengangguran//.
Ada yang getas dalam teks religiositas, sehingga
penyair menambalnya dengan pertanyaan yang menyuruk-menusuk. Jika puisi ini
diperuntukkan kepada para pemeluk teguh agama, yang sehari-hari menyantap teks
agama secara artifisial, Nurullah tak ingin membiarkan mereka ber-taqlid buta
dengan menambalnya-jika itu dianggap teks yang getas-pertanyaan puitik.
Misalnya tergambar dalam puisi Di Tebing Waktu: Meditasi: //Sebelum jagat raya diciptakan,/apa
yang dilakukan Tuhan, Stephen?/Membangun Surga?/Merancang Neraka?/Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin,/di mana kau ada?//
Pertanyaan filosofis-eksistensinalis-tentang
pra-ada, ada dan pasca-ada-membetot penyair melakukan kerja intens dengan menelisik
teks-teks agama yang disimplifikasi secara literal. Akar eksistensinal tentang
religiositas atau keilahian menjadi tema yang terus berdenyut, sehingga penyair
dengan sangat tegas melakoni kerja filosofis tersebut dalam banyak puisi di
buku ini.
Latar belakangnya sebagai orang Madura telah banyak
menyita penyair dalam menulis puisi dengan tema-tema yang dekat seperti
religiositas dan ketuhanan. Tapi topik religius yang ditulis Nurullah tidak
seperti kebanyakan penyair di Indonesia, yang hanya merekam momen dan bahasa
puitik yang digambarkan melalui bahasa-bahasa simbolik semata seperti kata
sejadah, tasbih, kitab suci, masjid, mushalla, peci. Nurullah tidak seperti
itu, dan bahkan bisa dipastikan ia tidak pernah menyebutkan kata-kata simbolis
tentang agama selain hanya kata Tuhan. Nya, Mu dan Alkitab. Ia justru
sangat kekeh dengan
kritisisme terhadap ketuhanan, keberagamaan dan ciptaan itu sendiri, seperti
sangat jelas tergambar dalam puisi Di Tebing Waktu: Meditasi, Narkisus, Setelah Hari
Keenam, dan Ritus Bunuh Diri. Artinya, Nurullah tidak hendak
bermain dengan simbol-simbol agama-karena dalam puisi yang lain simbol dan teks
justru dijewer oleh penyair-namun ia masuk kepada ranah filosofis tentang
eksistensialisme: Ilahi dan ciptaanNya. Di situlah kelebihan Nurullah dalam
membidik tema religiositas dalam puisi-puisinya.
Dalam konteks ini, Nurullah seperti ingin menegaskan
tentang bahasa puisi, dalam tema Tariq Ramadan (2010:2), sebagai doublespeak, menawarkan
kontradiksi demi kontradiksi dari teks puisi. Di situ berperan imajinasi dan
metafora dalam puisi. Nurullah menyadari betul bagaimana membaca konsep
teologi, agama, dan ciptaan dalam puisi-puisinya. Ia sangat berani
mempertanyakan ulang tentang ciptaan karena bahasa puisi adalahdoublespeak di
mana semua orang bisa masuk dan memaknainya sendiri. Nurullah seperti
mengajarkan bagaimana membebaskan teks sebagai suatu bacaan dengan selongsong
makna yang pekat, namun bebas diraba, dimasuki, atau dimuntahkannya kembali.
Puisi-puisi Nurullah dalam antologi ini mengajak
pembaca mengkritiki setiap hal (realitas yang tersusun dalam teks), mulai dari
suatu yang dekat-melekat dalam kehidupan kita hingga sesuatu yang jauh, atau
dalam istilah Radhar Panca Dahana, yang memberiendorsement terhadap
buku ini, "memasuki lorong terjauh sekaligus terdekat dari diri
kita". Semangat mempertanyakan ulang tentang realitas misalnya ditunjukkan
Nurullah melalui tanda tanya (question mark) yang bertebaran dalam antologi
ini. Tercatat sekitar lebih dari 60 persen atau 32 dari 50 puisi dalam Setelah Hari
Keenam dijejali dengan pertanyaan-pertanyaan penyair secara
verbal. Lain lagi pertanyaan tidak verbal yang sengaja ditebar penyair melalui
bait-bait puisi yang intens dan sublim dalam mempersoalkan ruang dan waktu.
Upaya Nurullah untuk terus melakukan pembacaan
kritis terhadap teks dan tanda (dalam realita) dimulai dari sebuah
"definisi" tentang makna di balik kata-kata, misalnya dalam puisinya
yang berjudul Menginap di Sebuah Kastil dalam Puisimu. Di sana
Nurullah menulis://Tak ada kata yang telanjang/Kata-kata berkabut. Atau
berputar/Seperti rombongan penari balet/mengenakan busana berlapis/Ruang dan
waktu berkelambu/Titik pun bercadar.//Ketika makna berkabut atau
mengenakan busana berlapis, pada saat itulah teks menjadi suatu yang tidak lagi
bermakna tunggal atau bahkan mempunyai kebenaran satu. Dalam teks puisi
Nurullah, realita diperlakukan seperti sebuah teks: diinterpretasi, dan menjadi
suatu yang belum final. Atau dalam bahasa Harold Bloom dipertegas bahwa "form"
in poetry is itself a trope, a figurative substitution of the as-it-were
"outside" of a poem for what the poem is supposed to represent or be
"about." (Bloom dkk, 1979: 1).
Namun akhirnya dari sekian kegelisahaan penyair
tentang Tuhan, agama dan ciptaan-Nya, puisi Perkampungan Ilahi telah
menjawab kegelisahan tersebut dan menjadi puncak pencaharian Nurullah tentang
ketuhanan itu sendiri, seperti digambarkan dalam larik://Tanah bukit
lembah surut ke titik nihil/Antara nol dan minus yang panjang/Bagai barisan molekul
berlari di dalam air/tanpa gelas. Bagai darah merah darah putih mengalir/tanpa
jasad//Di perkampungan Ilahi/Tak ada lagi kebisingan/Kecuali nyanyian//.
Puisi ini seperti menjadi puncak dan jawaban bagi kegelisahan demi kegelisahan
penyair, karena dalamPerkampungan Ilahi penyair seperti sudah
menemukan titik terang tentang Ilahi dan keilahian itu sendiri.
Namun, ironisnya puisi dari penyair Ahmad Nurullah
yang bisa dinikmati dalam buku kumpulan tunggal hanya sebiji-tipis ini. Jalan
kepenyairannya yang sepanjang sekitar 24 tahun itu hanya bisa ditandai dengan
buku ini, Setelah
Hari Keenam dengan 50 buah puisi saja!
0 comments:
Post a Comment