Tuesday, October 13, 2015

Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku

Versi lain dimuat di Pindai

“Yazıyor musun? Bari o kadar çok sigara içme!
Zaten lüzumsuz bir iş yapıyorsun. Hiç değilse başka yönden zarar görme!”[i]

Nyaris sebuah rutinitas sekitar tengah malam, pintu kamar dibuka dan suara itu pun terdengar dari seorang yang sangat akrab dalam hidupnya: seorang ibu yang tinggal bersamanya di sebuah apartmen pribadi bernama Pamuk Apartmanı di Nişantaşı, Beyoğlu, Istanbul. Di rumah itu Orhan Pamuk memulai karirnya sebagai penulis dengan bekal warisan buku-buku dari keluarganya, khususnya dari sang Ayah yang telah mengoleksi ribuan buku di perpustakaan pribadi, buku-buku yang dibeli bersama kakaknya Şevket Pamuk di masa-masa mereka remaja, dan tentu sekopor buku misterius dari ayahnya yang baru dibukanya (karena wasiatnya sendiri agar dibaca) setelah dia meninggal tahun 2002!

Kali ini saya ingin mengintip pergumulan Pamuk dengan buku dari hal-hal yang luput dicatat oleh khalayak. Sungguh akan unik menapaktilasi masa-masa Pamuk muda, suatu fase ketika dirinya berada dalam persimpangan pilihan hidup—antara tuntutan keluarga dan passion yang menjalar bebas dalam dirinya. Masa-masa muda inilah, menurut saya, menjadi turning point yang akhirnya menentukan masa depan dan kesuksesan demi kesuksesan yang diraihnya hari ini. 

Untuk itu, Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi seperti Nobel Prize, International IMPAC Dublin Literary Award, Prix France Cultur, Sonning Prize, Orhan Kemal Novel Prize, Aydın Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan, melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena buku!

Bila harus jujur—sekedar mengingat seorang penulis dunia ihwal kegialaannya kepada buku—Orhan Pamuk memang belum (dan mungkin tidak) segigih Jorge Luis Borges ihwal pengabdiannya kepada dunia keperpustakaan yang ditunjukkan secara heroik hingga akhir hayatnya, bahkan secara tersirat Borges ingin melanjutkan hidup di Surga yang dibayanginya seperti perpustakaan. Tetapi keduanya mempunyai jalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya bertemu pada satu titik: bergumul di dunia literasi.

Pamuk kecil tumbuh dari keluarga pecinta buku, khususnya sang ayah. Imajinasi, kreativitas dan kebebasan tumbuh di sana. Meski ia belum sanggup menghabiskan buku-buku koleksi ayahnya—yang berjumlah lebih dari 1500 itu—setidaknya Pamuk muda sudah terbiasa dengan dunia bacaan, yang mulai ditekuni secara lebih serius pada usia belasan tahun akhir. Perpustakaan pertama bagi Pamuk adalah koleksi pustaka pribadi ayahnya. Ketika ada waktu liburan baik dalam atau luar negeri, toko buku menjadi salah satu tempat yang mereka kunjungi, di samping sang ayah biasa menambah koleksi buku-bukunya dari toko bekas bekas di Istanbul.

Persentuhan pertama Pamuk kecil dengan buku dan mimpi menjadi penulis tersemai di Ankara. Pada suatu kesempatan bersama ibu dan kakaknya, Pamuk dihantar belanja buku yang pada waktu bersamaan ada acara imza günü (hari tanda tangan) bersama Aziz Nesin, penulis produktif dan penerjemah novel kontroversial Salman Rushdie Satanic Verses yang nyaris menjadi korban dalam tragedi demonstrasi ribuan orang yang berujung pembakaran sebuah hotel yang ditempati acara dari kelompok paham Alavi di Sivas pada 2 Juli 1993. Saat itu Pamuk masih berusia 8 tahun. Di antara kerumunan orang-orang yang antri menunggu tanda tangan, Pamuk kecil berkhayal: İleride ben de bir yazar olacaktım (saya juga akan menjadi penulis di masa depan) (Öteki Renkler, hal. 197). Dan mimpi itu telah menjadi kenyataan. Dalam 15 tahun terakhir, keberadaan Pamuk ditunggu dan goresan tanda tangannya diburu oleh para penggemarnya—sampai ribuan orang mengantre!

Dalam literatur dan dokumen-dokumen wawancara bersama Pamuk, sependek yang saya baca, momentum di Ankara bisa ditandai sebagai mimpi pertama menjadi penulis yang dititahkan oleh dirinya. Pamuk remaja tumbuh dalam kultur dan ideologi Eropa dengan gelimang imajinasi yang tumpah-ruah di antara kubangan buku-buku. Proyek modernitas dan westernisasi yang menjadi tulang punggung didirikannya Republik Turki melebur dalam keluarga Pamuk: mengisi liburan ke Prancis bersama ayahnya, rokok dan rakı (arak lokal) menjadi salah satu gaya hidup, dan keluarga mereka pun dijalankan dalam kebebasan. Tetapi tentu dengan satu pattern yang sudah tertanam kuat dan harus dicapai: kesuksesan! Apapun profesi yang dipilih, kesuksesan materi adalah tujuan utama yang tergambar jelas dalam keluarga mereka.

Sementara itu, tujuan hidup Pamuk adalah untuk bahagia, dengan ataupun tanpa materi! Maka jalan menulis, yang kata ibunya tidak akan dibeli dan dibaca di Turki, ditempuh Pamuk dengan segala risikonya.

Persentuhan kedua Pamuk muda dengan buku di usia 17-18. Tahun-tahun ini, di masa-masa awal menuju kuliah, ia mulai lebih serius menggeluti buku-buku ayahnya. Semua koleksi buku-buku puisi Turki yang ada dalam perpustakaan pribadi itu dilahap habis. Pada usia 18 Pamuk pertama kali memuplikasikan puisinya di sebuah buletin sastra bernama Yeditepe yang pada rentang tahun 1950-1984 getol memberi ruang kreativitas bagi para sastrawan muda di Turki. Buletin sastra yang bernafas pendek itu diasuh oleh wartawan, penulis dan pengelola penerbitan bernama Mehmet Hüsamettin Bozok (1916-2008).

Pada fase ini, Pamuk lalu bermimpi menjadi penyair dan keinginan menjadi penulis yang sempat tercecap 10 tahun silam pun kembali lahir. Tapi jangan lupa, Pamuk juga mempunyai mimpi lain yang tumbuh bersama kesukaannya menggambar sejak di sekolah dasar: menjadi pelukis! Sebenarnya, obsesi menjadi pelukislah yang paling mendominasi pikiran Pamuk muda, dari usia 7 hingga 22, dan bahkan ia sempat punya studio kecil untuk ekspresi melukisnya. Atau lebih tepatnya, mimpi menjadi pelukis yang sekaligus penyair!

Dalam rentang usia sebelum 22, mimpi menjadi penyair atau pelukis tak lebih dari sekedar letupan-letupan kecil tapi menggebu-gebu. Apakah menjadi pelukis atau penyair? Dua-duanya gagal. Di tengah kecemasan pilihan kreativitas anak muda seusianya, ada satu garis besar yang tidak pernah jauh dari dirinya: mencintai seni sebagai jalan menemukan kebahagiaan!

Lagi, sebelum usia 22 Pamuk berada dalam ambiguitas pilihan kreativitas ihwal dunia seni. Tetapi mujurnya, di tengah pemberontakan-pemberontakan untuk mencari kebahagiaan melalui karya seni, Pamuk tetap getol bergumul dengan buku-buku. Dalam sitauasi seperti itu, hanya seorang ibu yang selalu menjadi teman bicaranya, tak segan-segan berdebat denganya. Misalnya, ia secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya pada jurusan kuliah yang tengah diambilnya (mimarlık/arsitektur) dan sejak tahun kedua ia mulai meninggalkan pelajaran, sebelum akhirnya benar-benar ditinggalkannya pada tahun ketiga.

Sementara ayahnya sering tidak berada di rumah—entah kerja di luar kota, di luar negeri atau sekedar liburan. Ketika liburan di Paris, Pamuk kerap diceritain oleh ayahnya bahwa dirinya pernah melihat Jean-Paul Sartre dari jauh, yang akhir-akhir ini Pamuk paham sendiri—khususnya setelah membuka kopor misterius berisi manuskrip—bahwa ayahnya juga bermimpi menjadi seorang penulis. Tetapi sayangnya, sang ayah gagal menjadi penulis. Karena ayahnya, kata Pamuk, is a troubled optimism, scarred by the anger of being consigned to the margins, of being left outside. Sementara itu, menjadi penulis harus siap menghadapi semua ini: berhasil ataupun gagal!

Persentuhan ketiga Pamuk muda dengan buku dimulai sejak usia 22, tahun 1974. Usia tersebut menjadi tolak ukur bagi pergumulan kreativitasnya dan paling banyak disebut oleh khalayak; sebuah fase revolusioner. Saat itu Pamuk memilih cara mengisolasi dirinya dalam kesunyian kamar dan buku-buku koleksi ayahnya dengan tekad menjadi penulis. Orientasi Pamuk terhujam pada satu bingkai filosofis: hidup mencari kebahagiaan dan seni-sastra adalah jalan yang harus ditempuhnya. Untuk itu, di tengah ‘intimidasi’ keluarga yang mengkhawatirkan masa depannya Pamuk mengurung diri dalam kamar. İa tidak sendiri. Tumpukan buku-buku adalah teman setia yang menghiburnya. Di kamar itu ada meja dan kursi dekat jendela, tumpukan kertas dan pena untuk menulis. Pamuk suka melihat sinar matahari masuk kamarnya dan membentuk silhuet karena dari situ imajinasinya terus hidup. Rokok, kopi, sekali-kali rakı dan juga omelan sang ibu menyertai hari-hari berat dan keputusasaan yang kadangkala datang mengancam dan menggoyahkan pikirannya selama 8 tahun. Ya, selama 8 tahun Pamuk berkubang sunyi dengan buku-buku di kamarnya, sembari mulai menulis novel perdananya, Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya).

Selama 8 tahun inilah Pamuk menjadi kutu buku. Ia melahap habis karya-karya sastra koleksi ayahnya yang disebutnya sebagai perpustakaan pertama baginya; bergumul secara intens dengan para sastrawan baik dari Turki ataupun luar negeri. Karya-karya sastrawan Turki terkemuka seperti Yahya Kemal, Kemal Tahir, Oğuz Atay, Ahmet Hamdi Tanpınar, Orhan Kemal, Yaşar Kemal, Nazım Hikmet, Aziz Nesin, Kemalettin Tuğcu dan Fethi Naci ditimpas habis. Bahkan pun karya Jalaluddin Rumi, Nizami, Ibn Arabi dan Imam Al-Ghazali menjadi santapan liar seorang gila-buku yang memenjarakan diri dalam kamarnya sendiri.

Di samping itu, Pamuk makin kesetanan menenggak saripati karya-karya sastrawan dunia yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Sebutlah seperti Gabriel García Márquez, Julio Cortázar, Jorge Luis Borges, William Faulkner, Thomas Mann, James Joyce, Albert Camus, Virginia Woolf, Joseph Conrad, Stendhal, Dante Alighieri, Jean-Paul Sartre, Guillermo Cabrera Infante, Salman Rushdie, Victor Hugo, Milan Kundera, Philip Larkin, Gunter Grass, Patricia Highsmith, Mario Vargas Llosa, Thomas Bernhard dan penulis-penulis dari Rusia seperti Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoyevsky. Barangkali karya-karya dari nama besar di atas tidak semuanya Pamuk baca dari koleksi ayahnya selama 8 tahun mengurung, tetapi saya tidak terkejut ketika melihat sendiri jejak-jekak gairah penerjemahan buku-buku sastra dunia yang marak di Turki sejak tahun 1950-an. Di Turki Anda akan sangat mudah mendapati buku-buku terjemahan langsung dari bahasa pertama seperti Persia, Rusia, Jerman, Prancis, Italia, Portugis, Arab, dll. tanpa harus menunggu versi kedua dari bahasa Inggris, seperti biasa terjadi dalam dunia perbukuan kita di Indonesia hingga hari ini.

Sampai di sini saya ingin berbisik kepada pembaca yang budiman bahwa Pamuk mengurung diri dalam kamarnya selama 8 tahun adalah jalan wahyu sebagai novelis. Selama masa inkubasi tersebut, ia adalah seorang yang kesepian, memilih jalan kesunyian. Ia tidak suka keramaian—apalagi orang-orang yang tidak dikenal, makanan mewah saat liburan lebaran, kantor-kantor dan orang-orang yang terlalu serius. “Turun gunung” setelah 8 tahun, di usianya ke-30, Pamuk pun menerbitkan novel perdananya, setelah selama 2 tahun ia harus pontang-panting mencari penerbit. Akhirnya tahun 1982 Penerbit Karacan bersedia menerbitkan novel sebetal 641 halaman, Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya (ditulis rentang tahun 1974-78).

Untuk membaca sejarah Pamuk secara lebih detail saya rekomendasikan buku-buku karangannya sendiri seperti Istanbul: Hatıralar ve Şehir (Istanbul: Kenangan dan Kota), Öteki Renkler: Seçme Yazılar ve Bir Hikaye (Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan), Manzaradan Parçalar: Hayat, Sokaklar, Edebiyat (Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra), Saf ve Düşünceli Romancı (Novelis Naif dan Sintimentil), Babamın Bavulu (Kopor Ayahku), dan bahkan beberapa novel yang secara tersirat merekam jejak hidupnya sendiri, misalnya Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya), Sessiz Ev (Rumah Sunyi) dan Masumiyet Müzesi (Museum Kepolosan).

Akhirnya, bagi yang ingin memilih menjadi penulis, seperti pesan Pamuk, keberanian tidak cukup, tetapi ia harus terlunta-lunta dalam kesunyian. Dan Pamuk menemukan kebahagiaan saat-saat seperti itu, saat di mana ia menciptakan dunia lewat kata-kata yang ditulisnya. Karena baginya, menulis adalah balas dendam bagi kehidupan yang tidak pernah terjadi!
                                                                                                           
Turki, 17 Agustus 2015



[i] “Apa kamu sedang menulis? Jangan merokok sebanyak itu sekaligus. Kamu sudah mengerjakan sesuatu yang tidak penting, setidaknya jangan tambah lagi penderitaanmu!”

Catatan:

Tulisan di atas bersumber dari buku:
1.      Istanbul: Kenangan dan Kota (Cet. 12/ 2014),
2.      Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan (Cet. 1, 2013),
3.      Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra (Cet. 2, 2010),
4.      Novelis Naif dan Sintimentil (Cet. 1, 2011),
5.      Kopor Ayahku (Pidato Hadiah Nobel),
6.      Beberapa artikel dan wawancara terpisah di media-media lokal di Turki.

0 comments: