Sejauh ini, kisah cinta yang kita kenal dalam sejarah sastra dunia, khususnya dalam karya novel, adalah Layla Majnun, Romeo Julet dan Magdalena. Ketiga novel ini telah merambahi sudut-sudut nurani pembaca dan menggugah kemanusiaan universal. Komposisi yang bersumber dari percikan cinta yang menjadi ruh dalam novel-novel tersebut mempunyai setting dengan unsur peradaban dan kebudayaannya masing-masing. Kekuatan cinta yang datang dari perbedaan waktu dan sigmen kehidupan telah menjadi lanskap unik yang menyempurnakan kekayaan hidup manusia.
Itulah cinta—penaka lautan yang tak pernah usai diselami—menyimpan berjuta mutiara, ikan-ikan dan batu karang yang tegar. Cinta adalah fitrah manusia yang menyertai kehidupan. Kehidupan seharusnya bersanding dengan cinta dan segala pernak-perniknya yang selalu meminta untuk dinikmati. Inilah ruh cinta yang akan menyemai hidup kita menjadi bestari.
Kali ini kita tidak hendak mengulang kisah cinta Layla Majnun atau Magdalena yang kesohor dan jamak intrik itu. Kisah cinta dalam novel istimewa ini dengan latar budaya Cina-Tibet dan Budha akan memberikan ragam warna tentang kekayaan tradisi kepada khazanah budaya lain di dunia. Inilah sepenggal kisah tentang cinta dan Tibet yang penuh pukau dan elok itu.
Kisah cinta kali ini disajikan secara apik oleh Xinran, penulis kelahiran Beijing yang pernah menjajaki dunia kewartawanan dan sempat menjadi presenter-radio yang mendulang sukses tahun 1997 di Cina dan sekarang tinggal permanen di London. Ramuan cerita dengan latar belakang budaya Tibet-Budha yang kental dalam novel berjudul Sky Burial (Pemakaman Langit) ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari riwayat kepenulisan Xinran selama mengabdikan diri sebagai penulis. Buku pertamanya yang cukup representatif dalam konteks ini adalah The Good Women Of China yang telah mendongkrak pasar Internasional dan mengundang simpati banyak pihak.
Dalam novel yang relatif pendek ini (setebal 286 hal), Tibet, daerah dataran tinggi Himalaya yang berselimut salju dan lembah curam di negeri Tirai Bambu dengan simbol Budha dengan ajaran Shio Lin-nya, menjadi piranti tercapainya keistimewaan dalam novel ini.
Kisah cinta heroik ini berawal dari seorang gadis asal Suzhou, Shu Wen dan Kejun. Cinta mereka bersemi setelah bertemu di kelas sewaktu Kejun menjadi asisten laboratorium bagi dosen yang mengajar kelas diseksi (hal. 17). Kesungguhan cinta yang ditunjukkan dua sejoli itu akhirnya berlabuh hingga pelaminan. Dari detik inilah liku-liku cinta yang menantang terjadi—menjadi ruh kesatuan dalam novel ini.
Sebelum sempurna menikmati bulan madu, sepasang pengantin muda itu sudah harus berpisah setelah Kejun mendapat surat perintah dari Tentara Pembebasan Rakyat (TPR). Waktu itu, mereka hanya merasakan manisnya bulan madu selama tiga minggu. Kejun lalu dipanggil sebagai dokter di pasukan TPR dalam misi penaklukan di tanah Tibet. Tak ada pilihan lain bagi mareka selain harus tabah menerima kenyataan yang kasatmata itu.
Setelah dua tahun tidak ada kabar, tersiar berita lewat koran dan omongan kuping ke kuping bahwa salah seorang rombongan TPR meregang nyawa dengan sebuah kenyataan yang amat ganjil di telinga orang Cina; tetapi tidak demikian bagi orang Tibet. Tubuh yang mati itu adalah tebusan atas seekor burung nasar yang telah dibunuhnya (hal. 237-239). Nyawa burung nasar harus ditukar dengan nyawa Kejun, seorang dokter yang pengabdiannya tak terhingga kepada pasukan TPR. Kabar ganjil itu kontan menyentak jiwa Wen, istri Kejun.
Demi spirit cinta yang telah membakarnya, Wen bertekad menuju Tibet memburu berita sebenarnya tentang Kejun; mengembara di bawah sengatan matahari siang dan tusukan hawa dingin alam, mengarungi bentangan padang rumput, es, dan salju mahaluas yang dibentengi pengunungan curam berukirkan artifak peradaban dan mantra-mantra suci masyarakat Tibet.
Wen tetap tegar berdiri melawan berjuta aral yang mengancam nyawanya. Wen bersama TPR yang satu arah menuju Tibet. Ancaman itu datang dari para pejuang gerilya Tibet yang tiba-tiba menyelinap dan membunuh dua orang rongbongan TPR setiap bereteduh di malam hari. Sebelum Wen berpisah dengan rombongan TPR, salah seorang perwira muda, Wang Liang, berpesan dengan nada sinis kepada Wen agar menggagalkan pengebaraannya ke Tibet: “sekedar bertahan hidup sudah merupakan kemenangan!” (hal. 156). Tapi, semangat Wen tak surut seujung rambut pun.
Di tengah pengembaraan, Wen bertemu dengan keluarga nomadik yang amat ramah dan bersedia menemani Wen mencari kabar tentang Kejun. Mereka tersesat puluhan tahun di negeri Seratus Danau, sebuah lereng curam dan mahaluas yang mengintai keselamatan mereka.
Dengan semangat yang dipompa Zhuoma, seorang gadis Cina dekil yang banyak tahu tentang budaya Tibet, Wen semakin menemukan jatidiri dan semangat cintanya yang makin berkobar. Wen banyak belajar tatacara hidup dan bahasa demi mengorek info tentang Kejun.
Selama pengembaraan itu pula, dengan ringan tangan Zhuoma, Wen mendapati pelajaran hidup tentang Tibet dengan ragam kehidupannya yang menakjubkan. Hari demi hari Wen menjadi wanita Cina-Tibet yang berkepribadian luhur dengan tempaan tatakrama adiluhur Tibet.
Tragisnya, setelah menemukan sumber terpecaya dari seorang pertapa tua, Qiangba, yang dititipi buku harian Kejun, Wen seperti disambar petir. Wen membaca sampai habis catatan lusuh itu—sebuah catatan cinta yang sempat ditulis Kejun sebelum bunuh diri demi menebus nyawa burung nasar itu.
Adalah sebuah dosa yang harus ditebus dengan nyawa bagi orang yang membunuh burung nasar dan hewan-hewan lain karena, bagi ajaran Budha dan penduduk Tibet, hewan dan manusia adalah kesatuan yang harus saling dijaga demi keselarasan keselamatan hidup.
Itulah pelajaran hidup yang menakjubkan dari pengembaraan cinta Wen selama lebih 30 tahun di Tibet. Wen pulang ke tanah kelahirannya, Suzhou. Semuanya sudah berubah menjadi metropolitan. Wen tidak menemukan rumah dan kerabatnya lagi. Bekas rumahnya telah digusur mejadi pusat kota. Namun, cinta telah mengubah segalanya menjadi tetap tegar dalam hidup.
0 comments:
Post a Comment