Judul :
Jerusalem, Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir
Penulis : Trias Kuncahyono
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 315 halaman
Versi cetak resensi ini dimuat di Suara Merdeka, 26 Oktober 2008
”Kami bepergian seperti orang lain, tetapi kami tidak
tahu ke mana harus pulang (hal 103).”
personal doc |
Rekaman tentang pasang
surut Jerusalem ditulis dengan baik oleh Trias Kuncahyano dalam buku ini.
Menggunakan konsep ”perjalanan jurnalistik” Trias membuat tulisan ini tidak
terjebak dalam keterpihakan. Tidak seperti karya Doore Gold yang sedikit
berpihak kepada Yahudi ataupun karya-karya orang Arab sendiri seperti Raja
Shehadeh, Yusuf al Qardhawi dan Muhammad Imarah yang berbau pembelaan terhadap Islam
Palestina. Rasa reportasenya terasa sangat renyah dan mengalir.
Tidak kurang dari
empat bulan sejak diluncurkan buku ini sudah dilahap pasar dengan jumlah di
atas 9.000 eksemplar, dan hingga sekarang naik cetak ke empat kali. Trias mampu
membubuhkan perspektif sejarah yang kaya tentang Jerusalem sejak ribuan tahun
lalu. Tentu ini bukan pekerjaan mudah mengingat Trias bukan seorang sejarahwan.
Tuah Jerusalem
Yang pasti, tidak ada
satu kota di dunia ini yang menyamai eksistensi Jerusalem. Di samping menyimpan
kisah masa silam yang gemilang, kota ini telah menjadi area paling ramai dengan
perisitiwa-peristiwa besar sepanjang sejarah. Kota ini menyimpan kisah tentang
penaklukan, sengketa, dan konflik agama dan kemanusiaan dengan kekelaman latar
sejarah yang menyertainya. Tercatat sejak zaman Chalcolithic pada 4500-3200 SM,
kota ini telah dimukimi. Dan nama Jerusalem muncul dalam periode Hyksos
(1750-1500 SM) dengan nama Urusalim. Tepat pada 500 tahun kemudian, sekitar
tahun 1000 SM, ketika Raja Daud, raja bangsa Yahudi pertama, berkuasa,
penaklukan Jerusalem dimulai. Begitu juga laku sejarah kelam masa-masa
berikutnya, terutama diawali ketika meletus Perang Salib pada 25 November 1095
yang dikenal sebagai tragedi paling kelam dalam sejarah Jerusalem. Perang selama
90 tahun itu di bawah komando Paus Urbanus II di Konsili Clermont.
John D Garr dalam
Jeresalem, World Capital for the Messionic Age, menulis nama Yerushalayim
berarti orang, rumah atau tempat tinggal yang damai. Sementara itu, kata Salem
selain diartikan ”keseluruhan” atau ”dalam harmoni”, juga ”damai”. Kitab
Kejadian atau Genesis, yakni kitab pertama dari lima Kitab Taurat Musa atau
Kitab Pertama dari Kitab Suci Perjanjian Lama, sudah menerbitkan nama
Jerusalem. Dalam Genesis 14:18, kota itu disebut bernama Salem (damai) (halaman
137).
Tuah Jerusalem yang
paling kuat sebenarnya bukan berasal dari warisan sejarah panjangnya, melainkan
dari arti spritualnya (halaman 222-223). Bagi Yahudi, Jerusalem adalah
satu-satunya kota suci di dunia karena kota ini merupakan ”tempat kediaman
nama-Ku”, tulis Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem dalah kota suci
yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan
bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Sementara bagi umat
muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan
malamnya dari Mekkah ke Jerusalem lalu ke Sidrat al Muntaha dalam peristiwa
Isra’ Mi’raj.
Dengan demikian, tanah
Jerusalem mempunyai arti yang sangat penting bagi agama-agama samawi di atas.
Mengutip buku Leah Sullivan, Jerusalem: The Three Religions of the Temple
Mount, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang Jerusalem sebagai ”pintu ke
surga” karena di sanalah diyakini terjadi pertemuan antara surga dan bumi.
Selain itu di Jerusalem
berjejer sekian simbol yang menyimpan doktrin-riligius seperti Tembok Ratapan,
Gereja Makam Kristus, Masjid al Aqsha, Dome of The Rock (Masjid Kubah Batu),
dan Via Dolorosa, jalan ketika Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota.
Toleransi
Persoalannya sekarang,
ada spasi sejarah tentang toleransi yang telah dilupakan dari seorang yang
pernah menduduki Jerusalem pada masa silam. Sementara sejauh ini, Yahudi,
Nasrani dan Islam lebih mengingat masa silamnya yang kelam dan menutup memori
kolektif mereka tentang suatu fase atau babak sejarah yang indah di Jerusalem.
Dalam pita sejarah
kita bisa mengingat kembali ketika Khalifah Umar menguasai Jerusalem. Awal-awal
periode Arab ini dikenal sebagai periode yang penuh toleransi antaragama. Para
pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam dapat hidup berdampingan secara damai
dan melaksanakan ibadah mereka tanpa rintangan dan hambatan. Khusus bagi kaum
Yahudi, masa Umar adalah masa paling damai karena setelah 500 tahun mereka
terusir mereka bisa kembali ke Jerusalem dan menjalankan ibadah mereka
masing-masing. Pada 637 M, setelah mengepung Jerusalem lahirlah kesepahaman
(agreement) antara Patriark Elya Al-Quds Sophronius dengan Khalifah Umar yang
dikenal dengan perjanjian Umar. Pada masa ini disebut Dore Gold dengan masa
toleransi agama dikembangkan (halaman 150 dan 154).
Semestinya, masa-masa
seperti inilah yang harus masih dikembangkan oleh mereka yang bersengketa hari
ini, supaya keagungan dan kesucian kota Jerusalem dapat tertuai di dunia. Bukan
seperti cara Israel yang ingin menerapkan prinsip the winner takes all, istilah
Ninok Leksono dalam pengantar buku ini, saat membabat habis wilayah Tepi Barat
yang sebelumnya menjadi hak warga Palestina sesuai resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
0 comments:
Post a Comment