Setiap mendekati bulan Maulud, sebagai cara memhormati makna sebuah kelahiran: kelahiran Sang Utusan Muhammad SAW, Alun-Alun yang telah menjadi simbol kebesaran sejarah kerajaan di Yogyakarta itu pasti selalu ramai, dipadati bukan hanya oleh penduduk lokal setempat, tapi para pendatang dari luar daerah pun berjejalan bertandang menikmati khazanah kebesaran Yogyakarta di balik untaian tradisi.
Mengantarkan seorang teman asal Korea Selatan berkeliling Yogyakarta, dua Alun-Alun di Kota Yogyakarta selalu menjadi salah satu rujukan sebagai ruang pubik yang bisa mengakses “keterbukaan Yogyakarta” di samping desain arsitektur dan tata ruangnya yang memincut mata para pengunjung. Alasan ini menjadi keyakinan saya untuk mengenalkan sebuah tradisi yang saat-saat sekarang mengisi Alun-Alun Utara.
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) nama kerennya yang sekarang dikenal banyak orang. Pasar malam untuk tahun ini dihelat sejak 7 Januari hingga 16 Februari 2011, berlokasi di area Keraton Ngayokyakarta yang telah menjadi simbol kebesaran bagi Daerah Istimewa ini. Perayaan Sekaten selalu akan memberikan warna dan kesan yang berbeda bagi masyarakat, tidak seperti laiknya pasar malam rakyat di daerah lain di Indonesia. Sekaten berdiri di atas pungguk sejarah yang panjang, sejarah kerajaan Yogyakarta dan sejarah Islam yang berlebur di tengah pergulatan budaya Kejawen. Lanskap inilah yang kemudian memberikan ruang dan diskursus berbeda terhadap perayaan Sekaten.
Namun saat ini, saya lebih nyaman menyebut perayaan ini dengan sebutan Pasar Malam, bukan Sekaten. Sekaten hanya menjadi polesan nama kebesaran tradisi yang mendomplang kepada keajegan kraton. Padahal praktiknya, perayaan selama sebulan penuh itu, adalah sepenuhnya pasar dan transaksi ekonomi. Meskipun memang sejak pertama kali saya datang ke Yogyakarta, perayaan ini kerap diperdengarkan dengan sebutan Sekatenan, kali ini, setelah lebih lima tahun berada di kota gudeg, saya semakin hati-hati menyebutkan nama tradisi untuk setiap perhelatan besar yang sebenarnya minus nilai-nilai tradisi itu sendiri.
Dalam setiap perhelatannya, Sekaten selalu akan menjadi lahan kontestasi yang empuk bagi kepentingan pasar dan kapital. Berbagai jenis “hantu-hantu” ekonomi dengan kemasan dan desain terbaru masuk begitu saja dan mengambil peran yang dominan dalam perayaan Sekaten. Sehingga dari waktu ke waktu, perayaan Sekaten terus dilacurkan ke tengah kepentingan pasar tanpa kontrol yang jelas, tergerus dari nilai-nilai lokal yang telah menjadi prinsip di balik kebesaran Sekaten. Jika kita sekarang datang ke Sekaten, unsur dan simbol Islam sangat sulit ditemukan, begitu juga dengan budaya lokal Kejawen. Paling kita hanya akan mendapati panggung keseniaan di tengah Alun-Alun yang mementaskan beragam keseniaan Kraton Yogyakarta dengan minus penonton.
Sebagai pengunjung bersama seoarang turis, keinginan menyaksikan secara langsung sisi-sisi unik di balik Sekaten selalu akan menjadi pertanyaan pertama. Saya berinisiatif mencarikan sisi-sisi unik di balik perhelatan saat ini. namun, dalam perayaan Sekaten sekarang, saya tidak bisa secara leluasa menunjukkan “sisi-sisi unik” tersebut, selain hanya menunjukkan beberapa pementasan kesenian yang minus penonton itu, masuk ke kios Dewan Keseniaan Yogyakarta, dan sisanya mondar mandir begitu saja di tengah tumpukan kios pasar dengan bunyi-bunyian masing-masing. Benar, saya nyaris tidak menemukan unsur-unsur Sekaten itu. Yang kutemukan adalah pasar dan pasar!
Syahadatain
Simbol Islam yang konon mendasari di balik sejarah Sekaten memang sangat sulit kita temukan sekarang. Terma Sekaten dengan mencangkok kata “syahadatain” (dua syahadat) di mana dalam agama Islam dua syahadat ini menjadi laku utama dalam setiap orang yang hendak masuk Islam ataupun menyatakan diri sebagai orang Islam sudah seperti kehilangan substansi. Sekaten yang pada awalnya dijadikan oleh masyarakat untuk mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin, melalui tontonan, syiar, dan sentuhan musik tradisional gemelan, kini sudah berubah secara signifikan menjadi arena hura-hura pasar keserakahan industri kapital.
Padahal secara jelas, sejarah Sekaten disebutkan untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 bulan Maulud, atau bulan ketiga dari tahun Jawa. Sekaten dikenal sebagai upacara sebelum sampai kepada pesta inti yaitu perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Sejarah Sekaten dengan spirit yang sama sebagai bentuk perayaan terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW juga dirayakan di Keraton Surakarta dalam waktu yang bersamaan.
Salah satu ornamen paling inti di balik perayaan Sekaten sebenarnya adalah simbol Masjid Agung yang ada di kedua daerah, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Artinya, “nilai-nilai masjid”—dalam artian integrasi Islam dengan kultur lokal—harus menjadi bagian terpenting di balik Sekaten, dan masyarakat yang mengunjungi perayaan Sekaten harus dipertemukan dengan unsur penting ini. Praktik justifikasi lokalitas seperti ini bisa dilihat diantaranya melalui “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, lalu pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Yogyakarta. Ritual penutup adalah Grebeg. Masjid dan gamelan, dalam perayaan Sekaten, menjadi identitas sebagai simbol keislaman dan sekaligus budaya lokal-Jawa.
Kesadaran ihwal ini harus dimunculkan memalui banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah ataupun pelaksana perayaan Sekaten, seperti ornamen-ornamen khusus yang bisa disampaikan melalui gambar-gambar slide semi naratif yang memungkinkan pengunjung bisa dengan mudah mendapatinya di setiap sudut area perayaan Sekaten. Sehingga suasana Sekaten yang substansial bisa merasuk ke dalam kesadaran kultural masyarakat Yogyakarta dan perayaan yang memakan waktu panjang ini tidak hanya melulu menjadi arena kepentingan sesaat: pasar, budaya poluler, dan arus budaya massa yang semakin tak terkendali. Upaya ini perlu dilakukan demi menjaga substansi khazanah kultur masyarakat Yogyakarta yang teramat kaya ini dari berbagai pengaruh budaya luar yang secara serta merta menggerus nilai-nilai budaya lokal tapa ada filterisasi dan defensisasi dari masyarakat lokal sendiri.
Kebudayaan masyarakat Jawa, oleh Romo Frans Magnis-Suseno (1991: 1), disebut sebagai kebudayaan yang membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hipotesis seperti ini menunjukkan bahwa masayarat Jawa secara umum harus sudah menyiapkan benteng diri yang kuat demi menetralisir arus kultur hibrida yang datang dari berbagai latar belakang bangsa dan negara. Sehingga untuk mempertahankan keaslian khazanah kebudayaan Jawa perlu suatu proses yang terus-menerus dan konsiten yang semua itu dilandasi kepada proses pembelajaran kebudayaan dan eksistensi pendidikan yang nantinya bisa memberikan ruang pubik yang mencerahkan dan rasional dalam setiap lakon tradisi lokal yang tengah dilangsungkan.
2 comments:
haven't read yet...but i wish i could be there when sekaten held...mo nonton...hehe...
hope you be there someday
Post a Comment