Saturday, February 05, 2011

DPR Menyandra

Versi lain dari tulisan ini ada di Suara Merdeka

Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bahwa drama di pagi itu, 31 Januari 2011, akan benar-benar terjadi di depan mata saya. Meskipun saya tidak bisa cepat percaya kepada setiap “koar-moar” wakil rakyat (DPR) di Gedung Senayang sana, drama itu tidak bisa tidak telah mencuri perhatian saya. Beberapa saat, saya hanya bisa bergumam bahwa anggota DPR masih  belum—sepenuhnya—mengajarkan praktik berdemokrasi yang substansial bagi bangsa dan negara di mana kepentingan rakyat menjadi aras utama di balik terciptanya lembaga ini. DPR di tanah air ini justru menjadi tangan pertama bagi terselenggaranya kekuatan dan kepentingan ekonomi yang mendomplang secara nyata kepada dunia politik, di samping itu manuver nafsu kekuasaan masih mewarnai cara kita berdemokrasi. Sehingga setiap poin persoalan selalu menjadi bola pingpong yang bisa digadang ke sana ke mari. Jarang menemui titik cerna hukum yang berkeadilan!

Ini bukti salah satunya. Kemarin, 31 Januari, kita disuguhi sebuah drama politik baru yang dimainkan oleh wakil rakyat di Komisi III DPR. Sasarannya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak kehadiarannya—karena Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai tersangka yang sudah di-deponeering oleh Kejaksaan Agung ikut hadir—dalam rapat konsolidasi antara Komisi III dengan KPK. 

Alasan Komisi III menolak kehadiran dua pimpinan KPK tersebuh terlihat sangat bodoh, dengan bersikukuh demi martabat parlemen yang menolak penerbitan deponeering kepada Bibit-Chandra. Saya tidak habis pikir bahwa anggota Komisi III itu harus tahu tentang hukum, seperti penerbitan deponering yang seharusnya sudah selesai di Kejaksaan Agung dan secara hukum sudah benar demi kepentingan umum. 

Sudah jamak dipahami bahwa, seperti juga diungkapkan mantan wakil KPK Erry Riyana Harjapamengkas, penerbitan Surat Ketettapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum (SKMPDU/deponeering) berarti perkara hukum yang sempat disangkakan menjadi selesai. Jadi, konsekuensi yuridis terhadap penerbitan deponeering atas status tersangka yang pernah disematkan kepada Bibit dan Chandra secara otomatis juga menjadi tidak ada lagi. Namun, Komisi III (Komisi Hukum) yang menjadi gawang rapuh-tegaknya hukum di negeri ini malah mempersoalkannya.

Sebenarnya, banyak orang mafhum ihwal motif penolakan (pengusiran) atas dua pimpinan KPK itu. Sekitar empat hari sebelumnya, KPK dengan sangat berani menangkap 19 politisi, sebagian mereka terkenal cakap dan vokal dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, yang terlibat dalam kasus suap atas terpilihnya debuti gubernur BI Miranda S. Goeltom. Karena kader-kader terbaik partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP teringkus basah dalam kasus ini, partai besar itu pun berteriak akan “membalas” tindakan KPK. Buktinya, meski dengan silat lidah dan argumentasi “kerik (jangkrik)” yang sulit dinalar, pengambilan suara voting di Komisi III memutuskan untuk mengusir kedua pimpinan KKP itu.

Kenyataan ini tentu sangat naïf jika kita ingat beberapa bulan kemarin saat pemilihan ketua KPK dilakukan oleh Komisi III DPR yang memilih Busyro Muqoddas dan, jangan lupa, Bibit Samad Rianto juga mendapatkan suara dari Komisi Hukum meski tidak signifikan. Apa arti semua ini? Jelas alasan demi menjaga martabat Komisi III agar konsisten justru telah menjerumuskan integritas mereka sendiri di depan publik. Kalau begitu cara mainnya, tunggulah cibiran banyak rakyat bangsa ini! Dan sikap antipati dan ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga perwakilan mereka akan semakin ganas dan trengginas! 

Implikasi Sosiologis

Para pemimpin negara harus cepat memahami bagaimana psikologi sosial bangsa ini yang sangat bergerak cepat. Pergerakan masif psikologi sosial masyarakat tidak lepas karena banyak rakyat kita yang kritis, di samping itu juga karena terjadi proses pendewasaan atas pembelajaran sejarah politik yang paranoid, imagologi politik citraan sang pemimpin, dan in absentia nilai-nilai keadilan hukum karena selalu dibawa ke ranah politik, sehingga kejengahan masyarakat terhadap para politisi dan dunia politik semakin memunculkan wajah antipatik yang tragik. Jika yang kedua ini terus berlanjut dalam kancah perpolitikan di kelas elit, sementara persoalan substantif tentang kemiskinan dan pengangguran semakin tenggelam, rakyat pun akan memberontak dan mengamuk. 

Realitas ini akan menjadi politik horor bagi rakyat yang bisa merontokkan kekuasaan karena suara rakyat sudah dimatikan, dan DPR, sebagai artikulasi dan definisi rakyat, sudah buntu. Jadi, satu per satu kasus korupsi baik di tingkat nasional maupun daerah yang selalu melecehkan keadilan rakyat kecil, maraknya intoleransi, dan ancaman kelaparan akan mengendap dan menjadi luka sejarah bagi rakyat dan pada gilirannya akan meletus menjadi bara api kemarahan. 

Sekarang pemerintah harus buka mata dengan realitas dunia politik internasional khususnya di Timur Tengah (Tunisia dan Mesir) yang tengah sedang menunjukkan betapa kekuatan rakyat (people power) telah mengambil alih dan merapuhkan tampuk kekuasaan yang diktator. Fenomena ini sangat mungkin menjalar ke tanah air dan menjadi momentum bagi pergerakan masyarakat yang masif. Memang Indonesia sudah berlalu dari wacana militer dan diktator, sejak lahirnya era reformasi, tapi cara dan praktik politik para politisi sekarang justru tak kalah membahayakan karena praktik perselingkuhan korupsi dengan transaksi hukum dan para mafia pengadilan telah memupus dan meringkihkan harapan hidup rakyat kecil di negeri ini.  

Yang paling prinsipil tentang implikasi sosiologis atas praktik politik adu jangkrik yang diperankan oleh Komisi III saat ini adalah potensi terjadinya apa yang disebut Sidney Tarrow (1996: 194) sebagai transnational movement, karena  salah satu instrumen untuk menuju tahap itu, yaitu cepatnya jaringan komunikasi global (rapidity of global communication) seperti melalui social media: Facebook dan Twitter (yang telah menjadi latar belakang meletusnya revolusi Melati di Tunisia), sudah terpenuhi. 

Sudah tidak perlu berkilah lagi, bahwa pemerintahan negeri ini sudah butuh penyegaran kembali, demi cita-cita Pancasila dan UUD 1945!  

0 comments: