komunitas dimana saya bisa belajar dan memaknai |
Kira-kira apa yang terbayang dalam benak Anda jika melihat teman-teman satu sekolah Anda terlibat perkelahian antar geng seperti marak terjadi? Apakah mengklaim itu hanya sebagai oknom, karena perilaku anak nakal misalnya? Atau merasa ikut ‘bertanggung jawab’ bahwa kasus seperti itu merupakan persoalan bersama? Atau cuek-cuek bebek?
Bagaimana pula sikap Anda jika banjir, tanah longsor, polusi udara, pencemaran air, dan dampak-dampak global warming benar-benar telah mengancam kehidupan kita? Apakah perdamaian dan ketentraman hidup bisa terjadi di tengah ancaman alam dan lingkungan seperti itu? Lingkungan yang ramah adalah sumbangsih dan intisari perdamaian itu sendiri. Karena perdamaian bukan hanya dalam konteks hubungan horizontal manusia dengan manusia, tapi hubungan dengan lingkungan sekitar secara luas harus terjalin secara baik. Dua hal inilah yang hari ini perlu kita pegang.
Mendapatkan hidup damai merupakan hak semua ciptaan, semua ciptaan yang hidup di muka bumi). Kita hidup dalam rangka menuju perdamaian bersama sehingga jika di antara kita ada yang terluka karena terlibat kasus bentrokan dan perkelahian, atau karena bencana alam yang sebenarnya terjadi karena ulah kita, maka tujuan hidup untuk perdamaian dan ketenangan hidup bersama sudah tidak lagi berpegang dalam hidup kita. Kondisi seperti itu akan menciptakan gejolak yang akhirnya bisa merusak harnomi di dalam hidup.
Untuk itu, mewujudkan kata “damai” dalam hidup adalah tugas kita bersama, tugas yang muncul dari kesadaran untuk melakukannya. Di sini tidak perlu menunggu orang/ agent atau siapun pun namanya yang diharapkan dapat melakukannya. Superhero kemanusiaan yang ada dalam imajinasi itu, seperti dalam film dan tontonan lainnya, hanya akan menjadi bayangan nonsens jika tidak diambil langkah konkretnya dalam laku keseharian kita. Padahal harus disadari bahwa setiap diri kita telah dianugerahi kemampuan dalam mewujudkan perdamaian itu, dengan melakukannya sendiri, sejak sekarang, dari yang terdekat dengan kita. Benar bahwa “you are heroes everyday (dari salah satu cuplikan film Freedom Writers Diary) karena Anda bisa melakukan semua itu dengan baik.
Jelas sekali bahwa perdamaian mamang membutuhkan orang atau agency untuk mewujudkannya biar tidak hanya menjadi utapia belaka. Agency itu, sekali lagi, adalah kita, orang-orang yang mau (bersukarelawan) melakukan kebaikan dan perubahan ke arah masa depan yang tentram dan sejahtera.
Sekarang kata ’damai’ mempunyai beragam makna. Damai (peace) bukan sekedar mempunyai makna Pax, dalam bahasa Roma kuno, yang didefinisikan sebagai absentia belli, ketiadaan perang. Namun hadirnya keadilan (presence of justice)—dalam segala bentuknya—di tengah sistem kehidupan kita adalah suatu ejawantah arti damai yang sejati. Adagium seperti itu muncul dari jargon perdamaian yang cukup populer dari Rev. Martin Luther King, Jr: "True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of justice.” Ketiadaan perang tidak cukup dijadikan justifikasi bahwa kehidupan kita telah menggapai perdamaian.
Setelah Al Gore, mantan calon presiden Amerika, mendapatkan anugerah Nobel Perdamian lewat perjuangannya di bidang lingkungan (go green) 2006 lalu, isu lingkungan semakin santer dibicarakan sebagai bagian dari perdamaian. Memang masuk akal jika lingkungan tidak aman—seperti banyak bencana dan ancaman-anacaman lain yang datang dari alam, seperti kemarahan harimau-harimau yang kehilangan habitatnya karena penebangan liar di Jambi sehingga dengan buas memangsa penduduk misalnya—akan mengganggu keamanan secara universal. Lingkungan yang aman merupakan impian dan bisa menjadi media bagi kebersamaan mahluk hidup menuju harmoni. Lingkungan hidup harus menjadi partner dan sejalan dengan kehidupan kita. Kesalahan pikiran kita yang menganggap bahwa lingkungan alam sebagai bagian yang jauh (the other) ataupun sebagai objek bagi kehidupan harus dibuang jauh-jauh. Pola pikiran yang harus dibangun sekarang adalah pemahaman tentang hak dan peranan lingkungan bagi kebersamaan hidup kita ke depan.
Jika mau dirunut darimana sumber perdamaian, secara sederhana, akan kita temukan bahwa ia lahir dan merangkak dari hati kita masing-masing. Damai bemula dari pikiran (mind) masing-masing kita. Kata ‘damai’ berpijak kepada pikiran positif kita, yang diuji ketika berhadapan dan bertindak (interaksi) dalam keseharian bersama orang lain, dalam kelompok kecil seperti keluarga dan teman. Pikiran positif yang berpendar dalam aura cinta kasih akan memberikan kesan simpatik yang nantinya berproses secara alamiah dalam keseharian hidup ini menuju harmoni. Karena perdamaian merupakan suatu yang dekat, familiar, dan siapa pun dapat mewujudkannya. Ia bukan barang ’dagangan’ yang harus dilegokan di pentas lelang internasional, seperti selalu disuarakan oleh badan-badan PBB misalnya. Namun, perilaku damai dimulai dari diri, berlanjut kepada lingkungan keluarga, lingkaran sosial masyarakat, dan lingkungan alam sekitar.
Format perdamaian seperti ini memang perlu disebarluaskan sehingga pola baru pemahaman tentang perdamaian bisa ditransfer bersama. Lingkungan hidup yang harmoni baik antar manusia ataupun dengan lingkungan alam sekitar akan menjadi kunci dari perdamaian itu sendiri. Dari sini perlu dimulai itikat baik itu menuju hidup yang damai dari hati untuk semua.
0 comments:
Post a Comment