Tuesday, April 12, 2011

Yang Semakin Takut Sekolah

Dalam dua hari ini, pikiran saya melingkari isu-isu dunia pendidikan dan kampus secara khusus. Imajinasi saya tentang dunia pendidikan dan kampus setidaknya disentil oleh dua hal. Pertama, karena saya menjumpai kawan-kawan dan adik angkatan di kampus yang sudah pada wisuda dengan selempang cumlaude atau nama-nama gelar lain yang mereka raih. Kedua, saya mendapati sebuah artikel di harian Kompas ditulis oleh seorang sastrawan Yudhistira ANM Massardi, seorang penulis puisi yang saya suka. Artikel betajuk Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat! benar-benar mengajak saya, dan mungkin pembaca lain, merenung lebih dalam lagi: ihwal pendidikan dan tetek bengek di dalamnya.

Artikel itu terbit tanggal 8 April 2011, sehari sebelum senat terbuka di kampus saya: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dihelat. Bukan karena rencana, tapi betul-betul kebetulah! Bagi orang lain artikel tersebut mungkin tidak berefek apa-apa. Tapi bagi saya, seorang mahasiswa di tahun ke-5 di kampus, tulisan itu ibarat kado terindah yang mengiringi prosesi wisuda teman-teman dan adik-adik angkatan.

Sehari lewat, ada seorang kawan dan juga adik angkatan saya di kampus dengan santai menyapa:

 “Sudah semester berapa?”
“10.”
“Ga mau ber-cumlaude ta?”
“Itu bukan pikiran saya.”
“Belum menjamin bisa ke Amerika ya?”
“Tidak juga begitu. Saya hanya mau belajar dan berkreasi, juga berimajinasi. Selebihnya, saya tidak suka dengan formalitas sekolah!”

Selesai. Obrolan hilang seperti dipilin gerimis yang deras di luar kamar—begitu getas. Tapi, obrolan kecil ini semakin meyakinkan saya meneruskan tulisan ini, sebuah tulisan yang sebelumnya menjadi irisan kecil-kecil dalam ingatan ataupun menumpuk dalam note kecil yang sering tak terawat.

Aneh memang ketika saya ingat dengan sosok yang bernama sekolah, sebuah ruang mati yang kerap memerangkap pikiran banyak orang, memenjara imajinasi manusia bebas, dan bahkan sekolah tak jarang kadang membunuhnya! Ops...kalimat yang terakhir mungkin teramat keras.

Saya salah satu manusia yang rajin dan dibesarkan oleh dunia sekolah. Dalam suatu fase tertentu, khususnya setelah selesai dari MA, sederajat SMA, saya seperti keluar dari penjara. Benar-benar dari penjara yang tidak punya akar hubungan dengan kehidupan sosial di sekitar sekolah. Padahal saya menghabiskan pendidikan menengah pertama dan menengah atas di lingkungan pondok pesantren yang sedikit banyak telah “memaksa” saya dan santri-santri lain agar tetap berhubungan dengan lingkungan masyarakat sekitar. Memang begitulah kelebihan dunia pesantren, sebuah wadah pendidikan yang benar-benar berangkat dari kebutuhan masyarakat sekitarnya. Tapi entah kenapa, mungkin karena saya tumbuh di dunia pesantren yang mulai masuk ke dalam fase transisi, di mana dunia politik sudah mengotorinya, dan dunia material semata juga ikut andil merapuhkan sendi-sendi pesantren, atau jangan-jangan karena saya sendiri yang telah gagal (menjadi produk gagal dunia sekolah tadi). 

Saya pulang beberapa bulan ke rumah dengan membawa nama sebagai alumni pesantren (santri) dan sekaligus sebagai anak sekolah yang berilmu yang kelak akan membawa kebajikan kepada masyarakat, setidaknya begitu yang telah menjadi pandangan umum masyarakat di rumah saya. Namu yang mengejutkan, dunia sekeliling kampung seperti dunia baru yang membentangkan jarak teramat panjang—jarak keterasingan—antara saya dengan kehidupan sosial di sekitar. Seakan-akan, keluar dari sekolah seperti keluar dari keterasingan panjang. Saya berpikir: apakah selama 6 tahun di sekolah saya sudah sempurna menjadi “narapidana” yang dicoba dijauhkan dari dunia sosial dengan dinamika kehidupannya?

Tak berpikir panjang. Saya memutuskan melanjutkan masuk ke dalam dunia keterasingan itu, memutuskan melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Saya berani kuliah karena, salah satunya, diteror oleh perasaan ketakutan, rasa keterasingan, dan rasa kesunyataan. Sehabis itu, saya ada di antara bangku-bangku kuliah yang terbilang sangat modern, dengan berbagai alat dan fasilitas teknologi dan ilmu pengetahuan yang canggih. Saya ada di sana, di tengah perangkat-perangkat baru keterasingan selanjutnya.

Keterasingan apa lagi yang akan saya kunjungi?

(Jogja, 12 April 2011)

Related Posts:

  • Taman Kota Amed Siang renta di awal musim gugur. Angin tak menentu bertiup dari segala arah, sesekali menghantarkan aroma akar dan batang-batang sayuran yang baru saja dipanen dari tepi Sungai Tigris. Ia, tokoh kita kali ini, tersedot di … Read More
  • Yang Semakin Takut Sekolah Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 … Read More
  • Andai Ia Tak di Jalanan… Liburan memang tidak selamanya sesuai dengan rencana awal. Adakalanya di tengah perjalanan, sesuatu bisa terjadi dan memberikan banyak pelajalan (lesson learned) dari peristiwa itu. Bahkan kejadian-kejadian di luar rencan… Read More
  • Blog, Kopi, dan Ingatan-ingatanIbarat awan tebal menunggu hujan. Tentu tak bisa diganggu apalagi dihentikan untuk tidak turun hujan—jika tidak ingin kilat melesat dan membuncah di tengah langit yang gelap seperti itu. Awan adalah kebanggan dan sekaligu… Read More
  • Kawan dengan Seribu Macam Warna diambil saat pembuatan  SIM di Kab. Sumenep Di suatu petang yang terlanjur biasa, saya mengobrol dengan seorang kawan dari pulau Sumatra sana, seorang perempuan dengan paras, seperti yang saya tangkap dari foto di … Read More

0 comments: