Thursday, December 29, 2011

Fee!

Ini sebuah fragmen hidupku yang lain. Titik yang memuat ketegangan dan kulminasi. Aku menulisnya sebagai catatan waktuku sendiri, buat aku dan ketidakmengertianku sendiri. Aku menandai setiap momentum hanya dengan tulisan, jalan rekonsiliasi bagi diriku sendiri. Dan itu yang hanya aku punya. Karena dengan menuliskan apapun yang telah kuanggap sebagai penanda waktu dan penulis tentang bagian lain sejarah hidup adalah sebuah keniscayaan. Di sana aku menemukan kejujuranku sendiri. Entah bagi orang lain, itu tentu akan menjadi sebuah fase yang menakutkan.

Tahun 2008 ini aku mengenal seseorang yang masih sangat belia, duduk di kelas akhir sekolah menengah pertama. Saat-saat seperti ini aku hanya seorang pendendam dan sekaligus pemuja kesendirianku sendiri dengan beribu bayangan. Di saat seperti itu aku biasa menciptakan serangkaian dunia, semacam karnival untuk merayakan keberadaanku yang hanya serupa seekor semu hitam di malam gelap. Saat begini ia datang.

Ia mungkin adalah perempuan pertama yang biasa bermain denganku, melalui email ataupun sekedar berkirim pesan. Entah dari mana kita bisa bersambung, seperti sebuah gerbong kereta yang saling menyeret. Dari cerita goyonan dari teman ke teman. Begitulah permainan itu begitu mudah dibuat disepakati.

Darinya aku tahu betul bahwa setiap orang mempunyai sejarah masing-masing: cerah ataupun kelam. Ia dengan jujur bercerita tentang dirinya, soerang yang terpaut usia cukup renggang denganku. Tapi keberaniannya menantangku untuk bertemu, menikmati pertemuan telah membuatku bertanya-tanya. Seberapa percaya ia? Siapa aku. Aku tertantang sekali untuk menemuinya bersama dengan perjalan waktu yang cukup lama: tiga tahun berikutnya. Aku tidak banyak hirau sebenarnya dengan perjalanan ruang yang memisahkan kita. Ia di Pemalang sana dan aku di Yogyakarta.

Tahun baru 2010, pas di ulang tahunnya. Ia nekat datang ke Jogja. Katanya ingin menemuiku. Ia baru saja lulus dari SMA dan aku di semester 6. Ternyata betul, ia datang ke Jogja dengan bekal keyakinan kepada perasaan atau apalah namanya. Saat kujemput di terminal, aku masih tidak percaya kenapa ia harus datang ke Jogja. Dan aku tanyakan itu berkali-kali. “Aku hanya ingin menemui, Bee!” singkat dan padat.

Tapi bukan aku namanya bila tidak menyimpan keingintahuan yang besar….

Dan, ketika aku menulis skripsi aku mencantumkan tokoh imajiner ini sebagai seseorang yang memberikan sentuhan pengalaman dalam hidupku. Sayang, ketidakpedulianku di waktu-waktu ini begitu menggebu. Aku menuliskan namanya di ucapan terimakasih dan selalu bikin orang lain tidak percaya. Itulah aku, seorang dengan egoisme kesendiraannya yang tak terperi.

Related Posts:

  • Ihwal Karya-Karya Sastra yang Meresap dalam Tubuhku Sekitar medio 2009, saya berjumpa Mas Paox Iben, seorang novelis, guru teater yang sekaligus teman baik yang sengit bila diajak diskusi. Obrolan mengalir begitu saja ihwal sastra. Saya pun menyebutkan beberapa sastrawa… Read More
  • Kacamata, Keberuntungan dan Teman-teman "Who knows what will happen then? It's a life mystery either lucky or not we should step forward. Mean anything to pursue values, happiness!” A few times after having double blast of unluckiness I tweeted above to … Read More
  • Ayah Dunia bermain adalah kehidupan utama bagi anak-anak seusiaku. Segala jenis permainan bersama, mulai dari permainan tradisional turun-temurun hingga permainan yang kami buat sendiri, selalu menandai masa-sama bahagia yang sed… Read More
  • Taman Bunga Mawar Rumi dan Haidar Bagir Versi lengkap dari tulisan termuat di sini (http://basabasi.co) Dr. Haidar Bagir, pendiri dan pemilik Penerbit Mizan Group dan pengkaji yang sekaligus pemikir filsafat Islam dan penulis buku-buku tasawuf itu, berku… Read More
  • Obrolan Syiah Berakhir “Unfriend” 17 April 2015 kemarin saya mengomentari sebuah status Facebook seorang teman yang saya anggap sebagai guru. Guru, karena dia sudah menyampaikan beberapa potongan ilmu kepada saya tentang isu environment dan jenis-jenis mak… Read More

0 comments: