Ini sebuah fragmen hidupku yang lain.
Titik yang memuat ketegangan dan kulminasi. Aku menulisnya sebagai catatan
waktuku sendiri, buat aku dan ketidakmengertianku sendiri. Aku menandai setiap momentum
hanya dengan tulisan, jalan rekonsiliasi bagi diriku sendiri. Dan itu yang hanya aku punya. Karena dengan
menuliskan apapun yang telah kuanggap sebagai penanda waktu dan penulis tentang
bagian lain sejarah hidup adalah sebuah keniscayaan. Di sana aku menemukan
kejujuranku sendiri. Entah bagi orang lain, itu tentu akan menjadi sebuah fase
yang menakutkan.
Tahun 2008 ini aku mengenal seseorang
yang masih sangat belia, duduk di kelas akhir sekolah menengah pertama. Saat-saat
seperti ini aku hanya seorang pendendam dan sekaligus pemuja kesendirianku
sendiri dengan beribu bayangan. Di saat seperti itu aku biasa menciptakan serangkaian
dunia, semacam karnival untuk merayakan keberadaanku yang hanya serupa seekor
semu hitam di malam gelap. Saat begini ia datang.
Ia mungkin adalah perempuan pertama
yang biasa bermain denganku, melalui email ataupun sekedar berkirim pesan. Entah
dari mana kita bisa bersambung, seperti sebuah gerbong kereta yang saling
menyeret. Dari cerita goyonan dari teman ke teman. Begitulah permainan itu
begitu mudah dibuat disepakati.
Darinya aku tahu betul bahwa setiap
orang mempunyai sejarah masing-masing: cerah ataupun kelam. Ia dengan jujur
bercerita tentang dirinya, soerang yang terpaut usia cukup renggang denganku. Tapi
keberaniannya menantangku untuk bertemu, menikmati pertemuan telah membuatku
bertanya-tanya. Seberapa percaya ia? Siapa aku. Aku tertantang sekali untuk
menemuinya bersama dengan perjalan waktu yang cukup lama: tiga tahun
berikutnya. Aku tidak banyak hirau sebenarnya dengan perjalanan ruang yang
memisahkan kita. Ia di Pemalang sana dan aku di Yogyakarta.
Tahun baru 2010, pas di ulang
tahunnya. Ia nekat datang ke Jogja. Katanya ingin menemuiku. Ia baru saja lulus
dari SMA dan aku di semester 6. Ternyata betul, ia datang ke Jogja dengan bekal
keyakinan kepada perasaan atau apalah namanya. Saat kujemput di terminal, aku
masih tidak percaya kenapa ia harus datang ke Jogja. Dan aku tanyakan itu
berkali-kali. “Aku hanya ingin menemui, Bee!” singkat dan padat.
Tapi bukan aku namanya bila tidak
menyimpan keingintahuan yang besar….
Dan, ketika aku menulis skripsi aku
mencantumkan tokoh imajiner ini sebagai seseorang yang memberikan sentuhan pengalaman
dalam hidupku. Sayang, ketidakpedulianku di waktu-waktu ini begitu menggebu. Aku
menuliskan namanya di ucapan terimakasih dan selalu bikin orang lain tidak
percaya. Itulah aku, seorang dengan egoisme kesendiraannya yang tak terperi.
0 comments:
Post a Comment