INDONESIA adalah negara agraris, sebuah negara yang berpijak pada
dunia pertanian dengan berbagai jenis hasil produksinya. Namun, sejauh
itu pula, sosok petani dan eksistensi tanahnya, sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam negara agraria, selalu menjadi pil pahit bagi rakyat.
Di negeri ini, petani seperti dilahirkan dengan nasib malang, kelam dan
selalu dirugikan oleh pihak negara dengan kebijakan yang tidak
kontekstual dengan kondisi riil rakyat. Anehnya, keganjilan-keganjilan
semacam itu terus berkembang dan merambat kepada semua komponen
kebangsaan dan kenegaraan kita.
Sepanjang sejarah bangsa,
konflik pertanahan memang selalu menyeruak di negeri ini. Berdasarkan
rekaman berbagai kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman
pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari
kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember
(1995), hingga Kalibakar Malang Selatan (1997), selalu saja
mendiskreditkan posisi petani di tengah ketidakpastian kebijakan negara.
Tak ayal, kondisi tersebut melahirkan resistensi petani.
Manifestasi ketidakpuasan terhadap pelbagai kebijakan negara itulah yang
melatari resistensi ribuan petani Simojayan dan Tirtoyudo di ngarai
Gunung Semeru, Malang Selatan. Resistensi petani tersebut harus diterima
sebagai jawaban yang dilakukan para petani dalam mencari eksistensi
dirinya di tengah kekacauan negara.
Sejarah radikalisasi
petani bisa dibedakan menurut masanya. Misalnya, antara masa kolonial,
masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa transisi (reformasi) yang memiliki
karakteristik yang berbeda. Radikalisasi petani pada era kolonial
terjadi karena pengambilan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk
kepentingan penguasaan tanah oleh pemerintah kolonial Belanda dan
Inggris untuk aktivitas usaha perkebunan.
Radikalisasi pada era Orde Lama lebih diakibatkan oleh intervensi partai politik dalam mem-blow-out
masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Sementara karakteristik
konflik pertanahan masa Orde Baru bersifat vertikal antara pemegang hak
penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha (birokrasi pemerintah).
Tanah pada kurun waktu ini dipandang sebagai bahan komoditas sebagai
akibat pilihan paradigma pembangunanisme, developmentalisme (Mustain,
2007).
Beda dengan paradigma Orde Baru yag mengedepankan
program pembangunan pertanian melalui revolusi hijau, pertumbuhan
ekonomi dan komersialisasi tanah, radikalisasi penata masa reformasi
lebih dicirikan oleh reklaiming tanah sebagai akibat tidak
jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian. Sehingga, nasib
petani tetap termarjinalisasi oleh pemilik modal.
Ironisnya,
persoalan laten ini hingga sekarang terus mewarnai dinamika kebangsaan.
Hampir setiap hari kita disuguhi “sandiwara” sengketa hak milik tanah
hanya karena tanah yang bersangkutan tidak tersertifikasi, yang oleh
nenek moyang mereka diwariskan secara turun-temurun. Di tengah kondisi
demikian, pemerintah tidak pernah cekatan memberikan jalan keluar demi
eksistensi mereka. Hari-hari ini petani kita seperti selalu dihantui
ketakutan-ketakutan yang tidak jelas ujung persoalannya.
Ironi agraria
Kekacauan dunia agraria kita telah melahirkan paradoks yang tidak bisa
ditoleransi lagi. Di tengah produksi pertanian yang mulai kehilangan
progresivitasnya, negara kita harus “tebal muka” mengimpor hasil tanah
negara orang lain yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti:
beras (3,7 juta ton), gula (1,6 juta ton), dan jagung (1,2 juta ton).
Kita kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang luas tanahnya
jauh di bawah kita.
Terbaru kita bisa menyelisik tragedi
Mesuji dan Sape, Bima. Petani dan tanahnya menjadi bulan-bulanan
struktur negara yang bersekongkol dengan pemilik modal. Petani selalu
menjadi pihak yang dikalahkan. Kedua kasus ini adalah ironi dunia
agraria kita yang terekspos ke media massa. Bukan tidak mungkin
kasus-kasus kekerasan serupa, yang telah memakan korban nyawa, menjadi
bom waktu dan bola salju yang akan terus mewarnai sejarah kelam agraria
kita.
Dalam konteks menakar kekerasan dunia agraria, saya merujuk kepada sebuah buku hasil riset karya Dr Mustain berjudul Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara.
Hasil penelitian untuk disertasi ini membeberkan secara transparan
resistensi petani yang marak meletus di masa lalu dengan didasarkan pada
fakta dan data yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Fokus yang
dibidik dalam penelitian ini adalah di Malang Selatan.
Secara
khusus buku ini membongkar sindikat tanah milik petani di kawasan Desa
Tirtoyudo dan Simojayan, dua desa di Kalibakar, Malang Selatan, yang
sempat menjadi milik perkebunan kakao (PTPN) sejak Belanda berkuasa
sekitar 1942 hingga tahun 1997, hal mana rakyat serentak melakukan reklaiming (perjuangan merebut kembali tanah hak milik) untuk menuntut hak tanah mereka yang sah.
Setelah diteliti secara seksama oleh para LSM dan juga penulis buku
ini, ternyata tanah perkebunan itu adalah milik sah penduduk desa yang
pada masa kolonial dikontrak oleh Belanda untuk dijadikan perkebunan
cokelat dan kakao. Tapi naifnya, setelah kontrak dengan Belanda habis,
tanah rakyat itu bukan langsung dikembalikan kepada pemilik sah,
melainkan dimanipulasi oleh pihak PTPN XII dan perkebunan itu tetap
dikembangkan. Dari kasus inilah resistensi dan radikalisasi petani di
kecamatan itu tak pernah padam hingga banyak makan korban. Penanganan
dari pihak PTPN banyak melibatkan militer, seperti Batalyon Zipur 5.
Pasca-reklaiming
tanah dengan membabat habis kebun cokelat dan kakao di sekitar 2.050
hektare itu bukan berarti persoalan petani dengan tanah mereka selesai.
Petani kembali menghadapi sebuah problem baru terkait pembagian tanah
yang tidak adil. Kekacauan pun sempat menyeruak di Kalibakar. Namun
akhirnya dengan bantuan banyak pihak seperti LBH dan pihak pemerintahan
di Malang, pembagian tanah itu dapat terselesaikan dengan baik.
Begitu tanah sudah terbagi dengan adil kepada yang berhak, geliat dan
gairah kerja petani sangat meningkat tajam. Dampaknya terhadap kehidupan
sosial-ekonomi pun meningkat dan menciptakan kesejahteraan yang
diidamkan masyarakat. Perkumpulan tani dibentuk dan geliat produksi
lahan pun sangat progresif di desa itu. Sekarang, semangat seperti itu
harus menjadi kesadaran bersama masyarakat petani di Indonesia sehingga
mereka bisa berdialog secara proporsional dalam menghadapi dunia
korporasi dan modal.
2 comments:
Maaf itu pernyataan tentang keterlibatan militer batalyon zipur 5 apakah ada bukti empirisnya?
Dalam buku Dr. Mustain kalau tdk salah dijelaskan ibu. Silahkan dibaca buku itu
Salam
Post a Comment