versi cetaknya di harian Jurnal Nasional, 17-02-2012 di sini
DALAM minggu ini kita menyaksikan berita dari banyak media massa tentang penolakan beberapa organisasi masyarakat dan warga suku Dayak terhadap petinggi Front Pembela Islam (FPI) yang berencana membentuk cabang di Palangka Raya, Kalimantan Tangah, Sabtu (11/2/2012). Sebagai implikasi, akhirnya suara anti-FPI kembali menyeruak di tengah-tengah masyarakat yang sudah jengah dengan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan FPI sejauh ini. Gerakan Indonesia tanpa FPI pun mengalir deras di dunia jejaring sosial Twitter yang melakukan aksi di Jakarta, Selasa, 14 Februari lalu.
Respons yang ditunjukkan masyarakat--bukan warga Dayak saja--adalah sikap antipati terhadap cara-cara kekerasan dan tindak-tanduk ormas yang satu ini. Jadi, momentum ini saya kira sangat tepat bagi kita untuk bersama-sama menyuarakan penolakan terhadap ormas-ormas yang kerap mengabsahkan cara-cara kekerasan. Di tengah tekanan masif seperti ini, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengeluarkan statemen bahwa FPI bisa saja dibubarkan jika terbukti melakukan tindak anarkhis. Apakah itu hanya janji? Kita tunggu saja.
Munculnya sikap penentangan yang ditunjukkan oleh suku Dayak terhadap FPI adalah terobosan baru di tengah kemandekan upaya aksi penentangan yang dilakukan di berbagai daerah, khusunya di kota-kota seperti Jakarta sejauh ini. Suara penolakan dari warga Dayak setempat (akar rumput) harus dipahami sebagai kemurnian sikap defensi terhadap lokalitasnya. Hal tersebut harus dihormati oleh siapa pun kita yang mengaku sebagai bangsa karena suara mereka adalah justifikasi kearifan lokal yang harus dijaga.
Sebagai bangsa yang besar dan terlahir dengan warna budaya dan suku yang beragam, dengan alasan apa pun kita harus menjaga keutuhan itu: keutuhan sebagai bangsa dengan indigenous capacities yang membanggakan dari negeri ini. Keberagaman tentu menjadi warna yang indah jika kita mampu merawatnya, dan di situlah letak filosofi hikmah di balik perbedaan. Namun, jika perbedaan (seperti SARA) dijadikan tunggangan dan dimanfaatkan untuk memecah belah, maka bangsa yang demikian akan sangat rentan mengalami berbagai kekerasan dan konflik panjang, karena dalam perbedaan terkandung potensi konflik yang teramat dalam.
Bangsa Indonesia yang masih memegang teguh kearifan lokal dan hidup menjunjung nilai-nilai tersebut dalam kebersamaan, maka mereka berada di titik di mana mereka bisa hidup secara harmonis dan seimbang. Karena, saya yakin bahwa setiap potensi konflik yang terkandung dalam diri masing-masing bangsa kita dengan sendirinya telah tersedia (given) resolusi konflik dengan kapasitas dan perspektif lokal masing-masing.
Analisis ini sejalan dengan konsep the nested foci yang diperkenalkan oleh Maire Dugan (John Paul Lederach, 1997) dalam menjelaskan konflik, di mana lingkaran terdalam dalam kisaran konflik adalah mereka yang secara keseharian terlibat (the inner-most oval is the immediate issue). Dengan memakai pendekatan indigenous capacities sebagai resolusi konflik internal suatu warga, proses perdamaian akan lebih benderang.
Jadi, penolakan warga Dayak terhadap FPI, sebuah ormas yang sejak berdiri kerap mengamalkan cara-cara kekerasan dan merusak, merupakan sikap tegas yang perlu kita apresiasi. Dengan rekam jejak demikian, mereka menilai FPI tidak sesuai dengan budaya suku Dayak, yaitu Huma Betang, yang mempunyai makna kebersamaan dalam keragaman. Filosofi Huma Betang (rumah Betang) di Kalteng adalah menjunjung tinggi perdamaian dan antikekerasan serta hidup menjunjung tinggi toleransi yang tinggi antarumat beragama.
Hingga hari ini, proses binadamai yang telah mereka wujudkan, khususnya setelah mereka bangkit dari porak-poranda konflik Dayak-Madura tahun 2000-an, ingin terus dirawat bersama oleh warga Dayak setempat. Sikap nirkekerasan sudah ditunjukkan secara jelas oleh mereka. Karena bayang-bayang dan trauma kekerasan masa lalu harus tetap dijaga dalam proses rekonsiliasi, bukan jajahan bentuk-bentuk kekerasan baru lagi, seperti kerap dilakukan FPI.
Ingat bahwa sifat kekerasan selalu bereproduksi dengan beragam modus jika proses binadamai dan dialog macet. Sikap warga Dayak tersebut ingin menunjukkan tentang kesadaran lokalitas mereka yang ingin hidup damai dan rukun secara bersama-sama tanpa ancaman apa pun dari luar mereka. Sebenarnya dalam masyarakat suku Dayak sendiri sudah menunjukkan pluralisme dalam bergama. Dalam satu keluarga sendiri bahkan bisa terdiri dari berbagi jenis agama, yakni Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu dan bahkan Kaharingan sebagai agama asli orang Dayak juga masih eksis. Kenyataan ini ingin menunjukkan bahwa kerukunan antarumat beragama bisa tercapai ketika antarkelompok tidak memaksakan kehendak dan tujuan-tujuan dengan cara kekerasan dan pengrusakan.
Apalagi banyak tindak kekerasan yang dilakukan FPI secara sengaja dilalaikan oleh aparat kepolisian, sehingga kita kerap menganggap bahwa negara masih sangat lemah atau bahkan gagal memutus kekerasan yang dipraktikkan oleh ormas ini. Bahkan, kecurigaan bahwa FPI menjadi attack dog-nya kepolisian, khususnya setelah kawat jaringan Wikileaks membeberkan berita ini, semakin menyeruak di kalangan masyarakat sendiri. Kita tidak etis menjadikan bukti-bukti yang diliris media ini sebagai kebenaran, tapi bahwa negara dan aparat kepolisian kerap lemah dan cenderung membiarkan adalah fakta tersendiri.
Binadamai
Dalam konteks kehidupan berbangsa, local indigenous ataupun indigenous capacities sebagai basis-basis kekuatan utama menjadi kunci penting bagi proses kesadaran mendasar tentang proses pembentukan diri-bangsa/negara (state-building) melalui cara-cara nirkekerasan. Proses pembentukan diri-bangsa dengan cara nirkekerasan akan menciptakan suatu dinamika positif bagi terciptanya kultur damai di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat suku Dayak menunjukkan sikap binadamai dengan memanfaatkan basis indigenous capacities sebagai pijakan etis kehidupan mereka sebagai bangsa. Karena pijakan ini telah membantu proses masyarakat lokal dalam proses pemulihan konflik yang pernah terjadi di tanah Borneo itu satu dekade lalu.
Indigenous capacities adalah konsep penting yang harus diperhatikan dalam proses binadamai di Indonesia. Karena, sejauh ini kita kerap terlena oleh cara-cara resolusi konflik produksi Barat atau pun daerah lain yang notabene bertentangan dengan nilai-nilai lokal suatu bangsa. Kapasitas lokal merupakan sebentuk ketahanan (security) yang bisa menjaga eksistensi dan peran-peran mereka secara maksimal.
Proses binadamai sekarang harus memanfaatkan indigenous capacities demi menelisik daya tahan mereka sendiri. Cara ini yang oleh Tim Murithi disebut dengan micro-level peacebuilding sebagai local and grassroots peacebuilding spectrum (1999) bisa memberikan suatu pola resolusi dan rekonsiliasi konflik yang sustainable ke depan. Suku Dayak sudah menunjukkan hal ini. Mari kita hormati suara keberagaman dari berbagai suku di negeri ini.
0 comments:
Post a Comment