Versi cetak artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi, 16 Juni 2012
PEKAN ini kita, khususnya para penggiat
perdamaian di bumi Indonesia, kembali dikejutkan oleh serangkaian kekerasan
yang mendera tanah Papua. Sejak Papua bergabung dengan RI tahun 1960-an,
konflik dan kekerasan di Papua tidak pernah selesai hingga hari ini. Beragam
modus kekerasan dengan kepentingan masing-masing terus tumbuh dengan bentuk
berbeda-beda. Penembakan misterius oleh segelintir kelompok menjadi tantangan
baru tentang reproduksi kekerasan yang sengaja didesain sebagai bentuk
provokasi demi kepentingan masing-masing kelompok yang bermain di tanah Mutiara
Hitam itu.
Dalam sejarah konflik kekerasan di mana pun,
tanah yang mempunyai kekayaan alam berlimpah dan menjanjikan akan selalu
menjadi ladang perang dan gejolak (tension).
Masa kolonialisme sudah menunjukkan realitas tersebut secara gamblang. Di abad
ini, spirit kolonialisme dan imprealisme untuk menguasai kekayaan dan potensi
alam suatu daerah suatu negara tidak akan pernah surut dengan pendekatan baru
berupa konspirasi dan operasi inteligen kelas tinggi.
Sehingga, jika konflik di Papua selalu
direcoki negara-negara besar seperti Amerika, Portugal atau pun Australia.
Sementara negara-negara yang diam-diam mengincar kekayaan alam di sana sangat
banyak, seperti: Inggris, China, dan Jepang. Ketika kekerasan dan konflik terus
bergolak, saat itu pula peran negara dipertanyakan, baik oleh internal negara
ataupun oleh publik internasional.
Maka itu, pemerintah Indonesia harus
cepat-cepat mengubah kebijakan militer yang sejauh ini dipraktikkan sebagai
pendekatan peacekeeping di tanah
Papua. Kehadiran negara dengan bentuk nonviolence
(nirkekerasan) sungguh sangat diperlukan sebagai bentuk rekonsiliasi dan
transformasi konflik. Kepentingan-kepentingan kapitalisme asing yang sudah kadung menumpangi para
konglomerat lokal harus benar-benar dievaluasi keberadaannya sebelum
tragedi-tragedi lain terjadi untuk Papua.
Harian The Nation
(23/12/2011) menurunkan artikel menarik tentang komposisi perdamaian dunia
dalam konteks negara. The
Institute for Economics and Peace sebagai badan penelitian
internasional yang sangat kompeten dalam ranah peace studies membeberkan suatu penemuan menarik
tentang komposisi masyarakat damai dalam tulisan ilmiahnya Structures of Peace. Media yang
terbit di Amerika ini tidak segan-segan mengkritik kebijakan peacekeeping yang dipraktikkan
negaranya sendiri untuk misi perdamaian di banyak negara, khususnya di Timur
Tengah.
Pertama, government
effectiveness. Menurut hasil penelitian, efektivitas pemerintah
diukur dari aspek pelayanan publik, civil
service, formulasi kebijakan dan implementasi, serta kredibilitas
pemerintah atas komitmen terhadap kebijakan yang dibuat (Michael Shank, 2011). Government effectiveness sangat
erat terkait dengan birokrasi suatu negara. Artinya, negara yang tidak
mempunyai sistem birokrasi yang efektif akan berakibat lamban terhadap proses
dan sirkulasi pelayanan yang langsung berhadapan dengan publik internal ataupun
relasi antarnegara. Bagi pemerintahan yang tidak mempunyai government effectiveness tidak
bisa dimungkiri praktik suap dan korupsi di mana-mana.
Kedua, distribution
of resources. Ini tentang keadilan sumber daya. Distribusi sumber
daya alam dan kekayaan lainnya menjadi salah satu kunci bagi stabilitas
nasional. Sebab, hal tersebut menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh
suatu daerah dalam satu negara. Di sini tentu berbicara tentang keadilan energi
dan distrusi kekayaan negara. Maka itu, rakyat harus menjadi fokus utama
stabilitas distribusi jika kita menghendaki kehidupan yang damai.
Namun naifnya, Papua tidak mendapatkan
kelayakan distribusi sumber daya yang mereka miliki. Di sinilah bias diskriminasi
itu tumbuh besar di tanah Papua. Padahal, distribution
of resources harus benar-benar diperhatikan sebagai kewajiban
negara bagi rakyatnya. Masalah-masalah seperti ketercukupan sandang pangan,
kesehatan, dan pendidikan adalah kebutuhan dasar yang tidak boleh dilalaikan
oleh negara. Masalah ini harus terus diperbaiki demi memberikan keadilan bagi
rakyat untuk maju, mendapatkan pendidikan, dan pekerjaan. Di Amerika,
distribusi sumber kekayaan negara sudah mulai timpang, yaitu ketidakadilan
pendapatan rata-rata sejak depresi ekonomi Amerika, seperti dilaporkan oleh Economic Policy Institute sejak
30 tahun terakhir.
Ketiga, high levels
of education. Tingkat pendidikan tentu ikut dalam menentukan akses
menuju standar hidup yang lebih baik dan sejahtera. Semakin tinggi rakyat suatu
bangsa mendapatkan akses pendidikan, semakin mudah taraf hidup mereka
meningkat. Peran pendidikan terhadap perdamaian tentu sangat penting karena
aspek ini akan membeberkan tentang kesadaran humanis. Keempat, business environment. Bagi negara
yang mulai terlibat aktif dalam arus industri, kenyamanan lingkungan bisnis
sangat menentukan terjadinya proses stabilitas internal negara.
Selain itu, rights of others menjadi salah satu penemuan penting
dalam struktur masyarakat damai. Negara atau pun kelompok yang mempunyai
kesadaran dan respek atas hak orang lain akan menjunjung tinggi nilai-nilai
humanisme sebagai basis perdamaian sejati. Dari situ kemudian akan terbangun good relationship with neighbors
ketika masyarakat sudah mempunyai kesadaran dan respek atas hak masing-masing.
Poin ketujuh, free flow information. Keterbukaan arus informasi
menjadi kunci bagi partisipasi dan kesadaran internal atau pun komunal bagi
suatu negara. Artinya, informasi mempunyai peran penting dalam membentuk kesiagaan
yang mengancam kapasitas internal suatu masyarakat. Keterbukaan arus informasi
juga sangat menentukan proses partisipasi masyarakat itu sendiri dalam
mengimplementasikan aspirasi yang mereka punya. Ketika suatu masyarakat sudah
terbuka dan bisa menyampaikan aspirasi kepada negara, di situ akan terjadi
rasionalitas komunikatif yang bisa membantu menciptakan dinamika bagi
terciptanya perdamaian.
Poin terakhir, low level of corruption. Poin terakhir ini menjadi
tantangan tersendiri bagi Indonesia yang hingga hari ini masih terseok-seok
untuk lepas dari masalah korupsi. Pemerintah Indonesia sangat perlu
mengevaluasi diri secara serius tentang potensi-potensi internal yang nanti
akan mengganggu proses perdamaian bangsa ke depan.
0 comments:
Post a Comment