Wednesday, October 31, 2012

Kamu atau Negerimu yang Menjijikan?

taken from this link
Semalam, Rabu 31 Oktober, saya dapat kupon gratis nonton di XXI. Karena bolehnya cuma nonton film non-3D ya sudah saya ambil film seadanya, khususnya yang bermerk action, crime, dan thriller gitu. Biar seru aja (begitulah kalau tidak ada film yang diniatin). Sampailah pilihan sama film Alex Cross. Saya tidak tahu apakah film ini masuk box office atau ga. Dan saya pun cuma tahu sedikit saja tentang fiml ini dari sinopsisnya.


Pukul 20.40 masuk ruang cinema 2. Benar, sebagai film bergenre action dan crime dengan pembunuh bayaran yang spikopat bernama Picasso (Matthew Fox), film ini cukup membuat detak jantung tak beratur. Misteri pembunuhan demi pembunuhan terus bermunculan dengan sosok pembunuh-bayaran yang berdarah dingin. Mulai dari teman si Alex Cross (diperankan Tyler Perry), dan bahkan istrinya pun harus menjadi korban ketika dirinya terlibat dalam pengungkapan serangkaian pembunuhan yang dilakukan Picasso.

Kesan saya, film ini tak terlalu istimewa. Masih kalah sama skuelnya Bourne yang istimewa itu. Yang saya ingin cerita di sini adalah sebuah insiden dari laku-cara penonton menikmati film. Namanya penonton, semua ekspresi tentu sah-sah saja keluar dari mulutnya ketika menyaksikan objek yang ditontonya memberikan kesan, pesan, ataupun kredit tertentu. Respon mereka tentu sesuai dengan pengalaman, dan kultur keseharian mereka ketika mendapatkan informasi atau hal-hal baru di luar dirinya.

Nah, saya juga terperangah bangga ketika mendapati salah satu seting dalam film ini ternyata mengambil salah satu daerah di Indonesia, yaitu Bali. Wah, yakin saya tambah mengamati dengan seksama. Karena saya ingin sekali, dan memang selalu suka, menelisik secara seksama bagaimana orang luar (the others) mengeskplorasi suatu objek/setting yang notabene saya kenal, karena Bali adalah bagian dari kultur dan kebudayaan saya, Indonesia.

Tak ayal ketika seting cerita sampai di Bali, banyak penonton yang tertawa. Mungkin hampir semua. Saya senang sekali bahwa mereka merayakan keberadaan subkultur mereka dalam film yang sedang mereka tonton. Ini tentu sebuah apresiasi. Bahasa-bahasa Indonesia pun dipakai, baju tradisi dan rumah khas Bali juga ditampilkan dalam film ini. Meskipun memang hanya "semacam" setting tempelan saja, Bali dan Indonesia tetap terasa. Bahasa-bahasa yang terlontar adalah:

"Bawa telepon!"
"Ini barang buktinya!"
"Tangkap, tangkap." dan ada beberapa lagi tapi saya lupa.

Di tengah tawa ramai penonton, ada seorang cewek tepat di pinggir kanan saya. Saya mendengar jelas celotehnya dengan melontarkan kata: "Jijie" Jijie itu artinya kurang lebih, "jijiknya". Sontak saya langsung mengubah arah tontonan saya ke cewek tadi. Coba memperhatikan lebih detail dan berharap dia melontarkan kata-kata lain selain "jijie". Ternyata tidak.

Saya tidak berprasangka buruk soal kata tadi. Itu hanya "in case" saja, sebagai respon yang kadang meloncak dari alam baawah sadar kita. Kata-kata "saru" serupa--bila memang dianggap begitu--seperti "asu, bajigur, cangkemmu" dll, kadang tidak punya kadar arti apa-apa ketika mereka hanya sebagai kosakata spontan/respon terhadap sesuatu yang unik, wah, atau menyebalkan, dll. Namun bisa mereka mempunyai makna yang berarti ketika, misalnya, terjadi di ruang publik yang tidak bebas dari ruang interpretasi orang lain. Yang pasti saya berharap orang tadi tidak merasa jijik dengan setting Indonesia, dimana di sana ada subkultur, bahasa, tradisi, dan manusia Indonesia sendiri, sebuah kehidupan yang sejatinya adalah bagian dari kehidupan dia, dan kita semua. Saya lihat orang tadi bukan turis, dia orang lokal seprti saya.

Saya kira dalam film itu, khususnya pas settig Bali, tidak menjijikan sama sekali. Mestinya yang layak dirasa menjijikan ketika Picasso bunuh Fan Yau, seorang perempuan kaya rasa, dengan metong jari, menyuntikkan bahan kimia, dan membunuh dia secara perlaha dan brutal, lalu bantai pegawainya. Itu laya dirasa jijik karena sadisme muncul di situ, darah bersimbah! Selebihnya, baik-baik saja.

0 comments: