A deep condolence to you, Supriadi!
Bulan Oktober mencatat dua nama sahabat saya pada kalander dukacita.
Pertama Saudara Taufiq, teman waktu di Pesantren Annuqayah dan lalu di
Komunitas Kutub Jogja; kedua teman kelas saya bernama Supriadi, teman di
lembaga pesantren yang sama. Mereka pergi di bulan Oktober--Taufiq
tanggal 13 dan Supriadi di angka 28 pada kalender Oktober, tepat pada
momentum Sumpah Pemuda.
Yang sangat mengejutkan saya adalah sosok sahabat terakhir, Supriadi,
yang sudah lama sekali tak berkabar, tapi tiba-tiba kabar kematiannya
yang mengejutkan itu hinggap di tengah malam begini, lewat info Twitter
yang nge-link ke portal online (http://www.rmol.co/news.php?id=83757).
Sosok yang satu ini selalu akan saya kenang, sosok yang sangat loyal
kepada sahabat-sahabatnya dan tentu terhadap komunitas-komunitasnya, tak
tahu waktu untuk membantu, dan tak kenal lelah untuk mendukung semua
kegiatan yang digarap baik oleh organisasi mahasiswa (GMN), sebuah
organisasi sayap PAN, ataupun oleh komunitas-komunitasnya dimana dia
ada.
Saya ingat waktu itu, sekitar bulan Juni 2009, ketika saya datang ke
UIN Syarif Jakarta, dimana dia kuliah di Jurusan Sosiologi, untuk
mempertahankan karya ilmiah saya di depan sidang para juri. Waktu itu
saya masuk dalam nominasi 10 besar, dan nanti akan diambil juara 1-3 dan
harapan. Momentum ini yang mempertemukan saya kembali dengan Supriadi
setelah sekitar 5 tahun tidak saling bagi kabar, setelah kami sama-sama
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sosoknya semakin hangat
waktu itu. Saya disambut dengan sangat bersahaja, akrab, dekat, dan
penuh semangat.
"Kek (panggilan akrab sebagian pemuda di Sumenep), kenapa
kamu tidak kasi kabar jauh hari? Biar saya bisa mengumpulkan beberapa
teman." Begitulah dia berujar waktu itu. Saya memang tidak mengabari
kawan yang satu ini karena saya tidak punya kontaknya dan saya tidak
tahu kalau dia ada di UIN Jakarta. Saya cuma kasi kabar teman yang
satunya lagi, yaitu Wasil, teman satu angkatan juga.
"Apapun yang bisa saya bantu, akan saya layani kek selama kamu di Jakarta."
Ternyata si doi belum berubah dalam hal persahabatan--itu nilai lebih
apalagi dia hidup di ibukota bernama Jakarta yg keras--dan bahkan dia
terasa lebih akrab, mungkin karena faktor "rantau" yang menuntut
kebersamaan-atas-nama-nasib.
"Semoga kamu dapat juara satu kek." Doa yang meyakinakn
saya, karena nanti malam penganugerahan hadiah bagi juara akan dihelat
bersamaan dengan Dies Natalis-nya kampus UIN Jakarta. Dan alhamdulilah,
saya juara satu di kontes LKTI untuk mahasiswa peguruan tinggi Islam
negeri ataupun swasta se-Indonesia itu. Dia sahabat pertama saya di UIN
Jakarta yang menyampaikan selamat. Dia menunggu saya di bawah panggung
di sebuah ruangan besar, semacam convention hall gitu.
Acara selesai, hadiah uang sejumlah 7,5 juta pun sudah di tangan. Nah
ini saatnya saya mengajak dia untuk cari tempat makan dan saya ingin
traktir beberapa teman, terutama para nominasi. Saya ingin berzakat sama
mereka. Berkat bantuan kawan Rei, panggilan akrabnya, saya mendapatkan
sebuah kafe, lupa namanya, di dekat Situ Gintung yang beberapa bulan
ssebelumnya tanggulnya pecah dan memakan korban. Dia banyak cerita
tentang Situ itu. Sayang sekali karena itu malam hari jadi saya tidak
bisa melihat dengan jelas.
Selesai itu, kami berpisah. Tapi sebelum itu kami sudah janjian bahwa
besok pagi kami ingin makan pagi bareng dan ingin sekalian tahu
kontrakan dia dan teman-temannya. Besok harinya, saya baru sadar bahwa
tropi yang saya dapatkan sangat besar, dan ia masih nongkrong di salah
satu kantor UIN. Ternyata betul, tropi itu ada dalam kaca, tigginya
seperut saya, dengan bahan seperti tembaga. Beratnya sekitar 10 kg! Saya
jadi bingung dan tidak sanggup bawa tropi itu ke Jogja. Dengan
negosiasi, saya hubungi pegawai rektorat kampus saya di UIN Jogja bahwa
tropi yang saya dapatkan tidak mau saya bawa, selain kampus mau
menyediakan uang transport/atau ongkos kirim. Oh ternyata kampus saya
mau memberikan saya uang transport tambahan untuk ongkos kirim tropi.
Saya masih kebingungan. Masa tropi dengan bingkai kaca mau dikirim via jasa kiriman?
Nah di tengah kebingungan itu, Rei langsung menawarkan diri untuk mengantarkan tropi ini ke Jogja.
"Biar shob (singkatan dari sahabat), saya yang bawakan ke Jogja. Kamu tidak perlu bingung."
Jreg... Saya tercengang dengan penawaran jasa teman yang satu ini.
Karena saya tidak pernah menyangka, di tengah (seperti biasa jadi
alasan) kesibukan, dia mau membantu saya membawa tropi itu ke Jogja
dengan kereta, dan sendiri lagi. Karena saya harus cepat pulang duluan
dengan kereta yang sudah di-booking jauh hari.
Tanpa banyak bacot, saya kasikan duit (dari kampus) 600rb ke dia.
Terserah dia mau pakai kereta kelas ekonomi, bisnis ataupun ekskutif.
Ternyata kawan saya ini pakai kereta ekonomi sehingga telatnya sampai di
Jogja terasa. Dalam kereta saya berpikir, inilah arti persahabtan itu: a
friend in need is a friend indeed!
Di Jogja dia sempatkan ketemu teman-teman lamanya yang waktu di Jakarta sering dia tanyakan kabarnya (Fathol, Yusri, dan Fakih).
AKhirnya, saya merasa kehilangan sosok teman, sahabat, dan sekaligus
guru sejawat. Selamat jalan kawan Supriadi. Semoga amal dan kebaikanmu
diterima di sisi Allah....
Jogja tengah malam, 29 Okt 2012
2 comments:
innalillah, best place for them aminn
Amien..
Terima kasih
Post a Comment