"(The
nation) is invisible; it must be personified before it can be seen, symbolized
before it can be loved, imaged before it can be convinced….”
(Cerulo, 1995: 3)
(Cerulo, 1995: 3)
Syahdan, kalimat di atas tiba-tiba berjelaga
dalam pikiran. Ia menjentik pengalaman yang nyaris lenyap—atau lebih tepatnya tak
terjawab—selama kurang lebih dua bulan. Buku setebal gengaman tangan bayi berjudul
Identity Designs: The Sights and Sounds of a Nation karya Karen
A. Cerulo ini pelan-pelan menyulam perca-perca
kegelisahan yang membuncah; membantu mengurai sebuah peristiwa yang meringkus saya
seketika, waktu itu.
***
Hari itu tanggal 1 Oktober 2013, sehari
menjelang Hari Batik Nasional, di Karatay University, Konya, Turki, adalah hari
pertama kami memulai aktivitas perkuliahan. Namun sebelum kelas dimulai, ada
sesi perkenalan seperti biasa. Seorang dosen meminta kami memperkenalkan nama,
asal negara dan tokoh istimewa dari negara masing-masing, termasuk lagu
kebanggaan. Boleh lagu kebangsaan ataupun lagu-lagu lain yang dirasa spesial,
semacam ada sentuhan bounded senses pada
diri kami yang tengah berada nun jauh dari tanah kelahiran masing-masing.
Setiba giliran saya, nama Soekarno-Hatta dan lagu Indonesia Raya saya sebut dengan tanpa ragu. Begitu juga yang dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang berjumlah sekitar 25 orang waktu itu. Misalnya, mereka yang dari Afrika menyebut nama Nelson Mandela dan Bob Marley sebagai tokoh kebanggaan dan lagu-lagu kebangsaan mereka nyanyikan dengan penuh kedalaman.
Setiba giliran saya, nama Soekarno-Hatta dan lagu Indonesia Raya saya sebut dengan tanpa ragu. Begitu juga yang dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang berjumlah sekitar 25 orang waktu itu. Misalnya, mereka yang dari Afrika menyebut nama Nelson Mandela dan Bob Marley sebagai tokoh kebanggaan dan lagu-lagu kebangsaan mereka nyanyikan dengan penuh kedalaman.
Kini tiba giliran mahasiswi dari Malaysia,
seorang perempuan yang mendapatkan beasiswa pemerintah Turki untuk menempuh studi
sarjana S1 di Selcuk University, Konya. Sebagai bangsa serumpun, dengan kebudayaan
nyaris sama dalam banyak aspek, saya tergiur menunggu perkenalan si jelita ini.
Mata dan telinga saya pasang awas. Oh, ternyata dia menyebutkan seorang artis
(saya kurang tahu pasti namanya siapa) sebagai sosok kebanggaannya. Saya hanya mengangguk.
Tiba-tiba dalam pikiran liar saya melintas: untung
bukan Upin dan Ipin yang disebutkan
sebagai sosok kebanggaannya!
Sembari menunggu lagu kebanggaan apa
yang akan ditunjukkan, mata saya tiba-tiba melotot pada sebuah kalimat yang
ditulis sendiri di papan tulis: “Rasa
Sayang HEY”. Pandangan saya mendadak nanar dan dada bergemuruh dahsyat saat
itu.
“Itu Rasa Sayange, bukan? Itu lagu Indonesia. Saya tahu,” tiba-tiba Michiko yang duduk bersampingan dengan saya berbisik. Mukanya lugu!
Perempuan paruh baya asal Jepang itu pernah tinggal dan mengajar bahasa Jepang di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang selama satu tahun lebih. Ia juga tampak begitu tekun mengamati polah tingkah si gadis Melayu-Afghanistan ini. Dengan bahasa Indonesia yang pelan, saya ceritakan kepadanya bahwa lagu daerah tersebut memang milik Indonesia tapi diklaim oleh pemerintah Malaysia sebagai situs warisan milik mereka.
Michiko mengangguk. Seiris senyum dibiarkan terpintal di bibirnya.
Di tengah-tengah obrolan singkat kami, si gadis Malaysia ini ternyata meminta seisi kelas ikut menyanyikan selarik lagu yang baru saja ditulisnya. Dia menyontohkan cengkok dan irama “Rasa Sayang HEY”. Suara di kelas mendadak riuh renduh. Riuh sekali, dengan sesekali dipenuhi tawa. Menikmati. Saya melihat muka mereka begitu antusias menyanyikan alunan lagu “Rasa Sayang HEY” hasil aransmen si gadis dari negeri Pak Cik itu.
Bersamaan dengan irama lagu “Rasa Sayang HEY” yang didendangkan dengan cengkok khas Melayu, lidah saya mendadak kelu. Tak sepatah kata pun meluncur mengikuti birama lagu yang berkali-kali diulang.
“Itu Rasa Sayange, bukan? Itu lagu Indonesia. Saya tahu,” tiba-tiba Michiko yang duduk bersampingan dengan saya berbisik. Mukanya lugu!
Perempuan paruh baya asal Jepang itu pernah tinggal dan mengajar bahasa Jepang di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang selama satu tahun lebih. Ia juga tampak begitu tekun mengamati polah tingkah si gadis Melayu-Afghanistan ini. Dengan bahasa Indonesia yang pelan, saya ceritakan kepadanya bahwa lagu daerah tersebut memang milik Indonesia tapi diklaim oleh pemerintah Malaysia sebagai situs warisan milik mereka.
Michiko mengangguk. Seiris senyum dibiarkan terpintal di bibirnya.
Di tengah-tengah obrolan singkat kami, si gadis Malaysia ini ternyata meminta seisi kelas ikut menyanyikan selarik lagu yang baru saja ditulisnya. Dia menyontohkan cengkok dan irama “Rasa Sayang HEY”. Suara di kelas mendadak riuh renduh. Riuh sekali, dengan sesekali dipenuhi tawa. Menikmati. Saya melihat muka mereka begitu antusias menyanyikan alunan lagu “Rasa Sayang HEY” hasil aransmen si gadis dari negeri Pak Cik itu.
Bersamaan dengan irama lagu “Rasa Sayang HEY” yang didendangkan dengan cengkok khas Melayu, lidah saya mendadak kelu. Tak sepatah kata pun meluncur mengikuti birama lagu yang berkali-kali diulang.
Lalu, tiba-tiba mata saya
terkaca-kaca; mengarsir nama Indonesia yang hanya mampu diimajinasikan tanpa merasakan
setiap jengkal tanah archipelago pada
garis teritorial yang konkret. Ini sungguh pengalaman dan hadiah istimewa yang
tak terbayangkan sebelumnya. Saya menarik nafas dan menghempaskannya perlahan.
Terdiam, lalu berbisik… “Mungkin, ini hanya respon dari seorang yang teramat sentimentil tentang ke-Indonesia-annya.”
Terdiam, lalu berbisik… “Mungkin, ini hanya respon dari seorang yang teramat sentimentil tentang ke-Indonesia-annya.”
***
Setelah peristiwa tersebut, banyak
hal yang dapat saya petik sebagai hikmah. Di antaranya tentang diri saya, atau
diri-diri lain dengan pengalaman yang nyaris serupa, mungkin di tempat lain di
luar Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana cara memaknainya? Dua fokus ini akan
menjadi semacam idea dalam catatan pendek
ini.
Poin penting selanjutnya adalah tentang
mereka, teman-teman mahasiswa internasional, yang mengenal lagu Rasa Sayange dari “orang lain” bukan
dari “orang kita” sebagai bagian dari agen “kebudayaan Indonesia” yang berasal
dari bermacam suku bangsa dan menyatu di bawah bendera Merah Putih. Meskipun
“kebudayaan Indonesia” masih diperdebatkan, setidaknya ada titik temu yang
menjadi proposisi bahwa “kebudayaan Indonesia” adalah kebudayaan (yang berasal
dari) daerah-daerah itu sendiri.
Saya memang bukan dari Maluku—sebagai pewaris lagu Rasa Sanyange—tetapi perasaan memiliki “kebudayaan Indonesia” yang telah mengikat secara psikologis meyakinkan saya untuk mengatakan bahwa lagu tersebut adalah warisan sahih kebudayaan bangsa.
Saya memang bukan dari Maluku—sebagai pewaris lagu Rasa Sanyange—tetapi perasaan memiliki “kebudayaan Indonesia” yang telah mengikat secara psikologis meyakinkan saya untuk mengatakan bahwa lagu tersebut adalah warisan sahih kebudayaan bangsa.
Dalam konteks ini, teritorial dalam
arti fisik tidak lagi menjadi batas imajinasi seorang tentang bangsa.
Teritorial secara fisik digantikan oleh territorial
ideology (Storey, 2001). Feeling of
belonging, solidarity and communality (Anderson, 1991) mengambil peran
vital untuk membentuk kesadaran sebuah komunitas kebangsaan. Di sini fungsi merawat
ideologi itu penting untuk membingkai imajinasi kebangsaan tetap terjaga dan
utuh.
Namun saya tidak ingin terjerembab dalam
perangkap, meminjam istilah Storey, banal
nationalism dan bloody nationalism,
ataupun dalam bahasa populer kita dikenal nasionalisme buta. Tak pula menelan
mentah statemen sang navigator ulung dari Amerika akhir abad 18, Stephen
Decatu, Jr., dengan jargon populer “right
or wrong, our country” yang ditadah oleh kelompok jingoism, penganut
patriotisme ekstremis, di Amerika dan Inggris paruh abad 19 sebagaimana mereka tunjukkan
terhadap Rusia. Persepsi demikian sudah jumud pastinya. Kita harus menilik di
sisi berbeda untuk menempatkan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan sebagai ruh
dan sekaligus harapan hidup bersama ke depan.
Sebuah identifikasi ihwal sensibilitas pengalaman di atas, dalam studi nation-state dan nationalism, menegasikan tentang kategori individual member’s sense of self as a national (Verdery, K. 1996), semacam perasaan pribadi yang bertaut dengan komunitas-bangsa. Perlu dicermati bahwa teritori dan komunitas secara natural telah membentuk keterikatan, kelit-kelindan dan saling mengikat bagi seorang yang dalam tingkatan paling ekstrim bisa membentuk sikap chauvinism yang diperkental oleh pengalaman, laku sosiologis dan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di suatu masyarakat. Di situ terjadi proses penyatuan (unite) antara wilayah (territory) dengan masyarakat (people). Sehingga tak pelak teritori bisa membentuk (karakter) manusia dan sebaliknya manusia membentuk (karakter) teritori dalam kadar komunalitas (Storey, 2001).
Sebuah identifikasi ihwal sensibilitas pengalaman di atas, dalam studi nation-state dan nationalism, menegasikan tentang kategori individual member’s sense of self as a national (Verdery, K. 1996), semacam perasaan pribadi yang bertaut dengan komunitas-bangsa. Perlu dicermati bahwa teritori dan komunitas secara natural telah membentuk keterikatan, kelit-kelindan dan saling mengikat bagi seorang yang dalam tingkatan paling ekstrim bisa membentuk sikap chauvinism yang diperkental oleh pengalaman, laku sosiologis dan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di suatu masyarakat. Di situ terjadi proses penyatuan (unite) antara wilayah (territory) dengan masyarakat (people). Sehingga tak pelak teritori bisa membentuk (karakter) manusia dan sebaliknya manusia membentuk (karakter) teritori dalam kadar komunalitas (Storey, 2001).
Dalam
kajian sosiologi klasik, kadar pengikat ini disebut totem oleh Emile Durkheim, yaitu penanda unik pada sebuah komunitas
masyarakat yang menyatukan mereka secara ritual, sosial dan psikologis, di mana
pergulatan di tengah kesamaan penderitaan, bahasa dan gestur atas nama simbol
dan objek yang dijunjung bersama telah membentuk individu merasakan dirinya dalam
kebersamaan yang serentak (in unison)
(Cerulo, 1995).
Pelan-pelan,
kegelisahan “tentang diri saya” pun mulai tertebus.
Saya yakin bahwa aspek (penguatan) personalitas anak bangsa harus dibangun secara
konsisten agar dapat memaknai dan sekaligus “merasai” nasionalisme hingga ke
tulang putihnya. Semua itu tentu terpola karena faktor dominan proses interaksi,
sebagai subjek ataupun objek yang berada di tengah pergulatan kebudayaan suatu
bangsa. Aspek psikologis yang berkembang secara baik untuk mengenal simbol nasional
(national symbol) sebagai pengikat
telah membentuk kesadaran identitas-personal kolektif yang unik (a unique collective ‘self’) (Cerulo,
1995). Di situlah pentingnya bagaimana penguatan sikap nasionalisme dan volunterisme
terhadap negara dan bangsa harus ditanamkan secara sistematis kepada semua anak
bangsa.
Proses
tersebut harus didukung oleh keseluruhan sistem negara (sosial, politik, ekonomi,
dst) yang terus memupuk rasa nasionalisme baik dalam aspek ideologis ataupun implementatif,
rasa nasionalisme dengan sendirinya akan menjadi moda pemikiran dan sekaligus tindakan
sosiologis sehingga mereka, dalam istilah Farhat Kentel, menjadi overarching ideology. Rakyat Turki,
terlepas dari pro dan kontra, bisa dihadirkan sebagai contoh di mana proses penanaman
rasa nasionalisme berjalan secara sistematis sebagai aplikasi proyek ideologi
yang mereka bangun. Sehingga kesadaran national
will mereka bisa disebut di atas rata-rata.
Untuk
itu, tugas kita selanjutnya adalah membangun national will dengan mengembalikan identitas nasional, indentitas nation-state yang terdiri dari berbagai
kebudayaan daerah, sebagai ihtiar menemukan identitas nasional sebagai bingkai
pemersatu. Karena makna ideologi nasionalis adalah keterikatan rasa identitas komunal
untuk menghadirkan national will yang
akhirnya bisa menyatukan semua anak suku bangsa yang beragam dalam identitas
nasional, dengan simbol-simbol nasional yang disepakati seperti bendera, lagu
kebangsaan, nama-nama pahlawan dan sebagainya.
Wacana
national will dalam konteks
kebudayaan khususnya akan menjawab poin kedua yang saya sebut di atas, yaitu semangat
promosi dari “orang kita” sendiri untuk memperkenalkan kebudayaan kita kepada
publik baik ınternal negera ataupun publık internsional. Sehingga semangat menjadi
agen kebudayaan bangsa tetap melekat kepada semua generasi yang menjadi bagian Indonesia
Raya.
Sampai
di sini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan bareng-bareng, khususnya bagi kita
yang tengah bertugas belajar di luar Indonesia di mana batas teritorial
negara-bangsa sudah digantikan dengan garis teritorial ideologis. Tujuannya
adalah agar spirit national will bisa
menjadi bagian yang melekat (embedded)
dengan paradigma dan juga laku sosiologis yang melampaui teritorial.
Pertama adalah kekuatan media sosial. Fenomena media sosial yang tak
terpisahkan dalam kehidupan sosial kita adalah alasan pentingnya menjadikan corong
mobilisasi masif, sebagai modalitas utama era informasi. Bahkan, sebagai
contoh, gerakan sosial di Timur Tengah (Arab
Springs) telah menempatkan media sosial sebagai modalitas utamanya. Cara
paling mudah adalah strategi membuat hashtag
(baik di Twitter ataupun Facebook) yang secara masif akan membuka mata banyak
orang tentang gerakan yang ditawarkan. Di media sosial kita bisa menghadirkan simbol
negara dengan sangat mudah ataupun simbol-simbol tradisi lainnya. Di sinilah peran
agent of culture bisa bicara banyak yang
dapat dilakukan oleh setiap orang untuk mempromosikan produk kebudayaan
nasional.
Jika kita mau secara halus dan berkesinambungan,
bukan kaget karena sedang diklaim (casuistic),
lagu rasa Rasa Sayange yang
diklaim Malaysia dengan cara memasangnya di situs promosi resmi
Departemen Pariwisata mereka tahun 2007 itu bisa kita jadikan satu topik yang
dirayakan bersama rakyat Indonesia di manapun. Hal yang sama juga dapat dilakukan
untuk beberapa situs kebuadayaan yang pernah diklaim Malaysia seperti Tempe, Reog
Ponorogo, Angklung, Tari Pendet dan Batik.
Kedua adalah gagasan “anjungan Indonesia”. Sebenarnya kegiatan serupa
sudah banyak dilakukan oleh rakyat Indonesia yang sedang diaspora. Namun ada
hal mendasar yang tidak dihadirkan secara detail, yaitu tentang keberagaman kultur
dan situs budaya yang kita punya. Sejauh ini, kegiatan-kegiatan promosi
kebudayaan Indonesia yang ditampilkan adalah situs kebudayaan mainstream yang sudah lazim dikenal oleh
publik. Sementara itu, perca budaya dan tradisi yang partikuler—dan itu justru genuine—dilewatkan, bukan lantang
didesain sebagai gerakan distingtif promosi ke-Indonesia-an yang utuh. Untuk
itu perlu lebih detail lagi mengelaborasi situs tradisi dan kultur partikular dari
Indonesia yang tidak hanya dari Aceh, Jawa dan Sumatera misalnya.
Anjungan Indonesia adalah konsep
untuk menghadirkan Indonesia secara komprehensif, memperhatikan detail-masif
partikularistik, tentang situs-situs kultur dan tradisi kepada publik
internasional dengan konsep Indonesian’s
Day misalnya, ataupun kegiatan-kegiatan lain yang serupa.
Ketiga adalah legitimasi negara. Poin ketiga tentu menjadi ranah
domain negara untuk menunjukkan identitasnya di publik internasional. Dalam
konteks percaturan hukum global, legitimasi menjadi kata kunci untuk
mengukuhkan warisan-warisan intelektual kita. Legitimasi dan pengakuan akan
menghantarkan entitas kebudayaaan sebagai keutuhan yang terikat dan kuat.
Legitimasi dibangun melalui jalur diplomasi, konsolidasi dan promosi yang kuat
dan tegas. Legitimasi menunjukkan seberapa kuat kita di depan negara ataupun
bangsa lain. Misalnya, ketika orang menyebut Angklung, dengan tanpa ragu kita
sudah punya legitimasi hukum berupa pengakuan dari UNESCO sebagai milik
Indonesia yang berasal dari Sunda. Hal yang sama juga Batik yang sudah diakui
oleh badan yang sama. Ini menunjukkan bahwa legitimasi dan pengakuan butuh
badan otoritas yang mempunyai pengaruh dan ketetapan di mata hukum.
Peran legitimasi negara terhadap
situs-situs kebudayaan sebenarnya juga bisa dilihat sebagai aspek promosi
kebudayaan itu sendiri. Karena jika badan pemerintah daerah ataupun pusat telah
melakukan publisitas secara konsisten di berbagai media massa dengan sendirinya,
secara mendasar, aspek promosi akan terkover.
Namun diakui bahwa secara promosi
Malaysia, sebagai contoh kasus, telah berhasil meyakinkan tunas muda mereka untuk
membanggakan bahwa lagu Rasa Sayang HEY
adalah bagian dari kebudayaan mereka, dengan cara menancapkan kesadaran kepada
anak-anak muda jauh sebelum tahun 2007. Sehingga tidak mengejutkan jika
kemudian anak-anak muda Malaysia, seperti halnya teman saya tadi, dengan wajah
polos menyanyikan lagu Rasa Sayange sebagai lagu kebanggaan.
Untuk itu, cara paling bijak dalam
aspek promosi kekayaan budaya Indonesia adalah dimulai dengan penguatan
modalitas personal: melalui pendidikan kebangsaan yang mempuni. Karena melalui penguatan aspek inilah kesadaran
indentitas nasional akan terkandung dalam hayat generasi bangsa masa depan yang
secara otomatis akan menegasikan dirinya sebagai agent of national culture. Di samping itu, adalah penguatan basis legitmasi
dalam konsteks relasi kuasa dan diplomasi kebudayaan dalam kancah global. Dua
aspek ini akan membangkitkan semangat national
will hingga kapan pun!
Dan yang pasti, pembangunan
diri-personal yang berkualitas dan bermartabat akan menjustifikasi subjective meaning
(tindakan subjektif) kita sebagai agen ke-Indonesia-an.
Bacaan lanjutan:
Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities. London: Verso.
Cerulo, A. Karen. 1995. Identity Designs: The sights and Sounds of a Nation. New Jersey: Rutgers University Press.
Farhat Kentel, Express no. 75 August 25‐September 25, 2007.
Guibernau, Montserrat. 1996. Nationalism, The Nation-State and Nationalism in The Twentieth Century. Cambridge: Polity Press.
Seton-Watson, Hugh. 1977. Nation and State: An Inquiry into Origins of State and Politics of Nationalism. London: Metuhen.
Storey, David. 2001. Territory: the Claiming of the Space. New Jersey: Prentice Hall, 2001.
Verdery, K., 1996. ‘Whither Nation and Nationalism,’? in G. Balakrishnan
Cerulo, A. Karen. 1995. Identity Designs: The sights and Sounds of a Nation. New Jersey: Rutgers University Press.
Farhat Kentel, Express no. 75 August 25‐September 25, 2007.
Guibernau, Montserrat. 1996. Nationalism, The Nation-State and Nationalism in The Twentieth Century. Cambridge: Polity Press.
Seton-Watson, Hugh. 1977. Nation and State: An Inquiry into Origins of State and Politics of Nationalism. London: Metuhen.
Storey, David. 2001. Territory: the Claiming of the Space. New Jersey: Prentice Hall, 2001.
Verdery, K., 1996. ‘Whither Nation and Nationalism,’? in G. Balakrishnan
(ed.), Mapping the
Nation. London: Verso.
0 comments:
Post a Comment