"Turkey is not a banana republic.”
(Recep Tayyip Erdogan)
Pengungkapan
kasus korupsi tersebut menjadi turning point
bagi politik dalam negeri Turki. Pasalnya pengungkapan kasus tersebut menjadi buntut
perseteruan terbuka antara Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoga (RTE) dengan
salah satu kelompok islamis pimpinan Fethullah Gulen, ulama berpengaruh yang
sekarang menjadi eksil di Amerika. RTE mengecam penyelidikan korupsi tersebut
sebagai 'operasi kotor' untuk menghantam pemerintahannya dan menggagalkan pembangunan
ekonomi negara yang dipimpinnya. Dan yang pasti, karena juga faktor menjelang
pemilihan lokal pada bulan Maret dan dilanjutkan pemilihan presiden langsung untuk
pertama kalinya di Turki, Agustus 2014.
Untuk
itu, dengan sigap RTE melakukan pemecatan belasan perwira polisi termasuk kepala
unit yang memimpin penyelidikan korupsi. Dalam sebuah siaran press, RTE dengan
lantang mengecam gerakan parallel state
yang ada dalam negara. Ia dengan tegas melawan tekanan yang semakin besar dari
kelompok Gulen Movement sebagai parallel state di Turki.
Gulen
Movement
Secara
genealogis, gerakan keagamaan berupa jemaat (Turki: cemaat) telah menjadi bagian dari pergulatan sejarah Turki Modern. Meskipun
konstitusi sekuler jelas melarang berbagai aliran-aliran keagamaan (termasuk
gerakan sufi) sejak 1925, gerakan jemaat terus bergeliat mencari bentuk di bawah
tekanan negara. Ada lebih dari 20 jemaat berkembang di Turki dengan banyak pengikut,
seperti di antaranya Nur Cemaati (pengikut
Said Nursi), Menzil Cemaati (aliran Naqsyabandi),
Süleymancılar (pengikut Süleyman
Hilmi) dan Gülen Hareketi (GH) yang
merupakan sempalan Nur Jemaat. GH ditengarai
menjadi jemaat yang secara finansial paling kuat karena mereka bergerak secara lues,
pasifikasi dan menampakkan wajah Islam moderat dengan merambahi semua ranah:
pendidikan, media, ekonomi-bisnis, sosial filantropi dan humanitarian, keagamaan
dan juga masuk ke ranah politik dengan cara yang samar.
Kegiatan
bisnis dan lembaga pendidikan di bawah GH sudah menyebar di seantero dunia baik
Amerika, Jepang, Indonesia, Australia dan negara-negara Afrika. Dalam laporan Jane’s Defense Weekly mengungkapkan bahwa
GH mengontrol aset lebih dari $25
milyar di berbagai perusahaan di seluruh dunia (Burhan Gurdogan, 2010). Kekuatan
finansial tersebut menjadi modal penting dalam mengembangkan sayap-sayap
gerakan GH hingga di beberapa negara.
Fungsi
Negara
Sementara
itu rencana RTE untuk menghapus dershane
(lembaga kursus untuk siswa-siswi sekolah) yang dikuasai oleh GH sebagai salah
satu pintu kaderisasi anggota adalah langkah politik yang tidak populis untuk melawan
parallel state dan sekaligus menguatkan
fungsi negara. Risikonya adalah perang terbuka antara sang Perdana Menteri dengan
Fethullah Gulen yang merasa dikhianati. Karena sejak RTE berkuasa, jemaat FG
menjadi pendukung dan menjadi mesin suara bagi partainya, Justice and Development Party (AKP).
Sehingga
tak ayal kekuatan jemaat GH yang sudah tertanam di hampir semua sektor dalam lini
pemerintahan, khususnya di lingkaran kepolisisan, akhirnya melakukan perlawanan
dengan membuka penyelidikan korupsi yang terkesan mendadak. Bogem mentah pun
datang bertubi-tubi kepada the ruling
elite penguasa dan sekaligus menjadi senjata bagi pihak oposisi dari kelompok
sekuler dan nasionalis Turki untuk meruntuhkan kharisma AKP yang sudah berkuasa
lebih dari 10 tahu terakhir.
Perang
politik terbuka dengan GH, hingga minggu ini, memperlihatkan bahwa RTE adalah
seorang yang konsisten untuk menguatkan fungsi negara seperti yang
dicita-citakannya. Memerangi parallel
state, deep state, parallel structure ataupun state within a state bukanlah tugas mudah
karena RTE akan menghadapi kekuatan besar yang, meminjam istilah Galip Dalay, an unelected, unaccountable and invisible
structure embedded in high bureaucracy with affiliates in media and big
business (Aljezera, 06/01/2014).
Posisi
parallel state bukan hanya menjadi
bayangan tapi dalam sekala ekstrem akan mendikte langkah dan kebijakan politik suatu
negara. Di Turki, fenomena ini bisa ditelisik di balik pelarangan buku berjudul
The Imam's Army (İmamın
Ordusu) yang coba menelanjangi Fethullah Gulen sebagai sosok yang bermain
di belakang pemerintahan. Akhirnhya sang penulis, seoarang jurnalis nasionalis bernama
Ahmet Şık, harus rela mendekam di
penjara pada Maret 2011 karena dituduh sebagai illegal
organizational document. Namun banyak pengamat menengarai bahwa kasus yang
menimpa sang wartawan tak lebih dari sirkus politik yang dimainkan oleh invisible structure yang bergentayangan
di belakang pemerintahan.
Akhirnya,
setelah RTE secara terbuka menyatakan komitmen untuk menghadapi kekuatan parallel state berupa gerakan jemaat demi
memperkuat fungsi dan posisi negara sebagai kekuatan tunggal bagi seluruh
rakyat, pelajaran penting adalah tentang political
will dengan nyali sang pemimpin yang tak kecil, tak kenal berkompromi dan sekaligus
keyakinan menatap masa depan negaranya.
(Versi cetak tulisan ini di JAWAPOS, 27 Januari 2014)
0 comments:
Post a Comment