Meskipun
beberapa media internasional seperti Süddeutsche
Zeitung dan Le Parisien Daily
menilai langkah tersebut sebagai kejutan dan bencana politik, sikap gentlemen Erdogan patut diapresiasi
sebagai extraordinary step dan constructive path yang diniatkan untuk mencari
titik kesepahaman dan rekonsiliasi antara Turki dan Armenia ke depan.
Sisi gelap
Dalam
rekam jejak sejarah, peristiwa tersebut terjadi di awal Perang Dunia I,
tepatnya pada 24 April 1915, ketika Khalifah Usmani (Ottoman) mendekati ambang
keambrukan. Masa transisi yang melibatkan Genç Türkler (Young Turks) sebagai pelopor melawan bentuk kekaisaran Ottoman dan
menuntut reformasi menjadi republik adalah salah satu periode terburuk dalam
sejarah Ottoman yang akhirnya meruntuhkan kekhalifahan terakhir umat Islam.
Dalam masa itu, peristiwa Armenia disadari menjadi warisan paling gelap sejarah
Ottoman.
Pemerintah
Ottoman semula memenjarakan sekitar 250 intelektual dan pemimpin komunitas
Armenia di Konstantinopel (Istanbul). Setelah itu, dalam versi sejarah Barat, Ottoman
mengusir dan membunuh mereka dalam kondisi kelaparan; keluar dari wilayah kekuasaan
Ottoman di Anatolia ke padang pasir di daerah Suriah sekarang. Dalam peristiwa
ini tercatat sekitar 1 hingga 1,5 juta bangsa Armenia dibunuh secara sistematis
di bawah otoritas Ottoman. Tahun 1997 dalam rilis resminya The International Association of Genocide Scholars (IAGS) menyebut peristiwa
1915 hingga 1923 di bawah otoritas Ottoman sebagai “Armenian Genocide”.
Menariknya,
pemerintah Turki tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi ke publik terkait
masalah ini. Baru setelah 99 tahun kemudian, Turki sebagai negara penerus Ottoman
berani berbicara kepada publik di tengah tekanan yang begitu besar selama
bertahun-tahun baik dari European
Parliament sendiri ataupun dari organisasi internasional (seperti World Council of Churches, Council of Europe
dan Turkey’s Human Right Association)
dan dari negara-negara yang telah mengakui peristiwa 1915 sebagai genosida.
personal doc |
Fragmen
sejarah paling tabu di Turki ini telah banyak menelan korban nyawa termasuk
Hrant Dink yang terbunuh tahun 2007 karena coba mengekspos kasus Armenia.
Karena menyinggung isu yang sama, Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra 2006, pun
sempat diancam dan terpaksa menjadi eksil untuk beberapa tahun di Amerika.
Bayang-bayang
tabu yang semakin menggurita tersebut akhirnya dipecahkan oleh pemerintahan Erdogan
dengan membacakan pidato pertama dalam sejarah Republik Turki ihwal peristiwa
kemanusiaan yang menimpa bangsa Armenia. Tapi pemerintah Turki mempunyai
istilah berbeda dari kata genocide
yang telah menjadi kesimpulan para sejarawan Barat. Turki tetap kekeh bahwa peristiwa 1915 tersebut
bukan genosida. Versi pemerintah menyebutkan saat itu Ottoman berada dalam situasi
perang—periode yang sangat sulit—menjelang pecahnya Perang Dunia I. Pernyataan Erdogan
sangat jelas bahwa “it
is indisputable that the last years of the Ottoman Empire were a difficult period,
full of suffering for Turkish, Kurdish, Arab, Armenian and millions of other
Ottoman citizens, regardless of their religion or ethnic origin.”
Untuk itu, Erdogan meminda semua
pihak untuk melakukan pendekatan fair dan pemahaman luas dalam membaca peristiwa
yang disebut sebagai “our shared pain”.
Bagi Turki dalam situasi perang berkecamuk tidak ada diskriminasi agama ataupun
etnik seperti yang dituduhkan banyak pihak untuk menekan Turki. Sang Perdana
Menteri meminta semua pihak untuk tidak menjadikan peritiwa 1915 sebagai alasan
menebar kebencian kepada Turki hanya karena demi kepentingan konflik politik. Konteks
tersebut harus menjadi “duty of humanity”
bersama yang harus diselesaikan secara tepat.
Constructive
path
Di
tengah gelombang isu minoritas yang semakin memanas, khususnya komunitas Armenia
dan Kurdi di Turki, langkah Erdogan harus dilihat dalam konteks yang luas,
yaitu kesadaran rekonsiliatif yang ingin dijembatani oleh otoritas negara.
Metode rekonsiliasi level makro seperti itu akan membuka ruang lebih luas bagi
institusi dan organisasi yang konsern terhadap penyelesaian masalah peristiwa
Armenia untuk mencapai kesepahaman dan perdamaian. Sejak awal harus disadari bahwa
tidak mudah melakukan proses rekonsiliasi terhadap peristiwa dan fakta sejarah
yang sudah terkubang dalam misteri selama nyaris seabad.
Kemauan
pemerintah Turki bisa dilihat dari indikator terbentuknya joint
commission yang
secara terbuka mengajak semua elemen duduk bersama merumuskan kesimpulan
ilmiah. Karena sejauh ini, kesesimpulan yang digembar-gemborkan oleh komunitas
Armenia (khususnya yang diaspora di berbagai negara) belum melibatkan otoritas
Turki dan selalu dipasang untuk menyandera Turki di pentas internasional. Untuk
itu pemerintah Turki telah membuka pintu kepada joint commission (yang berisi para sejarahwan dari tiga representasi:
Turki, Armenia dan institusi internasional) untuk menemukan titik terang sejarah
1915.
Bias sejarah peristiwa 1915 yang
terus bergedebus di luar Turki harus segera diakhiri dengan langkah-langkah
elegan antara semua pihak yang berkepentingan. Misteri dalam babak dan periode di
ambang kehancuran Ottoman, yang kemudian ada kecenderungan begitu saja menghilangkan
aspek-aspek kerukunan, perdamaian dan toleransi kehidupan Anatolia yang
multikultul antara suku-suku bangsa (Armenia, Kurdi, Laz, Arab dll) selama enam
abad lebih di bawah Ottoman (Armenians in
The Ottoman Society, vol. 1-2, 2008), membutuhkan langkah konsisten,
alih-alih terus memainkan manuver dan provokasi seperti dilakukan oleh banyak
pihak sejauh ini.
Kesediaan
menacari titik temu dan rekonsiliasi yang sudah dibuka oleh Turki harus dimanfaatkan
dengan baik oleh semua pihak untuk mencapai kesepahaman dan menghormati masing-masing
demi merumuskan masa depan lebih baik. Yang pasti, isu sensitif ini akan sangat
menarik kita tunggu perkembanganya ke depan.
0 comments:
Post a Comment