|
waiting for the falling leaves |
Ketika
September menyapa, bulan yang menandai musim gugur—saat di mana daun-daun
beranjak menguning dan pasrah disangkut angin—, Konya bersiap menyambut
momentum kehadiran: kelahiran sufi besar, Mevlana Jalaluddin Rumi. September
adalah saat di mana Rumi seperti dilahirkan kembali, disapa ribuan manusia dari
semua bangsa dan dirayakan dengan kehidmatan-kehidmatan ritual dan doa-doa.
Bulan September yang dimitoskan oleh banyak peradaban (seperti perayaan Pabon oleh bangsa Pagan untuk berterima kasih kepada
sinar matahari karena sebentar lagi gelap akan datang [impending dark], bangsa Aborigin menjadikan September
sebagai momentum meramal astronomi, atau prosesi ritual bagi
bangsa Yunani kuno karena dewi Persephone akan kembali ke suaminya Hades, di dunia durjana) terasa semakin mistis
dengan kehadiran Rumi. Ia melengkapi mistisisme September!
Namun, tak lama
setelah perayaan demi perayaan untuk hari kelahirannya, bulan Desember di awal musim
dingin, Rumi kembali dihantarkan menuju singgasana Ilahi. Sebuah malam
pengantin di mana ia dijemput oleh Allah.
|
indonesian's saman dance |
Durasi
tiga bulan dari September ke Desember telah menjadi semacam ritual tahunan khusus
bagi pemerintah Konya, Turki untuk—dengan usaha sebaik-baik mereka—merayakan keseluruhan
tentang Rumi. Dari 22-30 September
misalnya telah dihelat sebuah Festival Musik Mistik Internasional (Uluslararası
Mistik Müzik Festivali) ke-11, sebuah festival yang dirancang untuk
merayakan momentum Shab-i Aruz (wedding night with God/malam pengantin bersama Tuhan) yaitu hari
meninggalnya Jalaluddin Rumi di Konya. Acara Shab-i Aruz memang masih tanggal 17
Desember. Tetapi karena tergolong dekat secara penanggalan serangkaian acara
dimulai sejak memperingati hari kelahiran Rumi, 30 September.
|
Kedaulatan Rakyat (12/10/14) |
Terhitung sejak 22 September sampai 17 Desember ke depan,
di Konya, kota yang matang oleh mistisisme itu, akan mudah ditemukan kegiatan-kegiatan
yang secara spesifik terkait dengan keseluruhan guru mistis dan sufisme
termasyhur di jagat raya itu. Dimulai dengan pementasan musik-musik mistik dari
berbagai negara (tahun ini akan diwakili oleh Indonesia dengan Seni Budaya
Nusantara, Spanyol, Tajikistan, Iran, Mayotte, Bolivia, India, Pakistan dan
Turki), seminar dan konferensi, hingga karnival mehter (drumband khas Ottoman) yang ikut merayakan, tepat di hari Shab-i Aruz.
|
rumi's green tomb at the dawn |
Tahun ini Indonesia mendapatkan kehormatan untuk mementaskan
Musik dan Tari Dzikir dan Tari Saman, tari perang asal Aceh, di publik internasional. Ini akan
menjadi delegasi kedua dari Indonesia sejak festival ini pertama kali digagas
tahun 2004 setelah Gamelan Semara Ratih yang diundang pada acara Konya Mystic
Music Festival ke-7 tahun 2010. Delegasi Tari Saman sudah tamppil pada tanggal
29 September di Pusat Kebudayaan Rumi (Mevlana
Kültür Merkezi), sebuah gedung artistik di tanah seluas 100.000 m² yang
dibangun sebagai prasasti untuk nama besar Rumi. Ini akan menjadi kesempatan bagi Indonesia
untuk meluaskan jaringan promosi kebudayaan di ajang prestisius dan sekaligus
akan membuka kerjasama diplomasi budaya lebih lanjut yang akan saling
menguntungkan bagi kedua negara ataupun negara-negara lain yang terlibat dalam festival.
Usia 807 Tahun
Jalaluddin Rumi (lahir di Balkh, Afghanistan, 30
September 1207 dan meninggal di Konya, 17 December 1273) seperti tidak pernah
pergi dari kita. Meskipun jasadnya sudah berkalang tanah dengan damai di
kabupaten Karatay, Konya dengan salah satu simbol yang terkenal yaitu yeşil türbe (green tomb), namanya selalu disebut-sebut dan akrab dalam setiap
obrolan masyarakat; puisi-puisinya ditulis dan dihadirkan di banyak
sudut kota; alunan nay yang mengiris dan mistis (alat musik serunai jenis klarinet
asal Persia) akan mengetuk-ketuk sejak di terminal; dan simbol dirinya (yang
terkenal dengan whirling dervish) terpancang berderet-deret di tengah kota
Konya. Jika Anda datang ke Konya, dipastikan bahwa Rumi akan menjadi sosok
pertama yang menyapa dengan irama syahdu.
|
green tomb |
Dalam beberapa kesempatan, saya secara pribadi memastikan
ihwal seberapa besar dan berartinya sosok Rumi di hati masyarakat Konya. Saya
melontarkan pertanyaan kenapa Konya menjadi kota yang tentram, masyarakatnya lebih
religius, sulit mendapati anak-anak muda minum bir di jalanan (tidak seperti di
kota-kota lain di Turki). Jawaban mereka semua merujuk kepada keberadaan Mevlana,
sebutan agung untuk tokoh yang sangat dihormati dan diikut. “Karena menghormati
Mevlana,” ujar mereka dengan penuh yakin.
Konya menyimpan jejak sejarah gemilang abad pertengahan
sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Saljuk (1097-1243), sebelum Ottoman Empire lahir. Kota yang pernah menjadi
salah satu pusat peradaban Neolithic (sekitar 2,000 SM) dibuktikan dengan penemuan
tempat tinggal mereka yang terbenam dı bawah tanah di daerah Çatalhöyük
(kemudian masuk warisan UNESCO tahun 2012) tidak bisa dilepaskan dari nama
ulama-ulama besar dan masyhur seperti Shams Tabrizi, Sadreddin Konevi,
Nasreddin Hoca ataupun Ibnu Arabi yang pernah datang ke Konya atas undangan
Sultan Seljuk tahun 1207. Di samping itu, ayah Rumi sendiri yaitu Bahaeddin
Veled, yang diberi gelar sultan al-ulama
oleh Kerajaan Seljuk, melengkapi sejarah agung orang-orang besar di sekitar
Rumi.
|
The Pilgrim's Songs of Santiago from spain |
Jauh waktu sebelumnya, Fariduddin Attar pernah berpesan
kepada kepada Bahauddin Walad ketika berjumpa di Nishapur dalam perjalanan
pulang haji yang melintasi rute Baghdad, Damaskus, Malatya, Erzincan. Waktu itu
keluarga Rumi memilih meninggalkan tanah kelahirannya di Balkh karena tengah
diserang bangsa Mongol, dan akhirnya tiba di Konya. Attar berpesan “umarım yakın bir gelecekte oğlunuz alem
halkının gönlüne ateş verecek ve onları yakacaktır” atau dalam terjemahan
Prof. Reynold A. Nicholson, penekun Rumi, ahli bahasa Persia dan Professor Arab
di Cambridge University: “… very soon you will see that this child will
set fire onto the heart of the lovers in this world”. Prediksi seorang sufi besar itu pun terbukti: Rumi
telah menyalakan cahaya ke hati setiap manusia.
Saat berjumpa Attar, Rumi masih seorang bocah berumur
sekitar 7 tahun. Tapi Attar—seorang ulama sufi besar Persia dan sekaligus
penyair yang berpengaruh dalam kesusastraan Persia termasuk pada diri
Rumi—paham tentang seorang bocah yang kala itu menjadi tamu bersama keluarga
besarnya. Attar lalu memberi hadiah buku Asrar namah-i (Kitab Rahsia Ketuhanan)
kepada Rumi kecil.
Hari ini Rumi seperti terus mengajak anak manusia untuk mencicipi
selaksa cinta dan perdamaian; merasakan kesejatian arti manusia di depan Sang
Khalik. Semua manusia dari belahan dunia mana pun diundang dalam perjamuan penuh
cinta, seperti yang disampaikan sang Mevlana sendiri: “come, come, whoever you
are. Wonderer, worshipper, lover of leaving. It doesn’t matter. Ours is not a
caravan of despair. Come, even if you have broken your vow a thousand times.
Come, yet again, come, come.”
|
procession of sema whirling dervish |
Petikan demi petikan saz, alunan nay yang mengiris-iris dan
puisi-puisi cinta dan kebijaksanaan dari Rumi terus terpancar ke semua penjuru dunia.
Ajaran universalisme Rumi yang menyapih sekat dan batas-batas agama, suku
bangsa dan ideologi telah menasbihkan dirinya menjadi milik semua bangsa,
seperti dalam potongan puisinya dalam masterpiece-nya Mastnawi: “I do not distinguish between the relative and the stranger”.
Sebagai salah satu bukti betapa Rumi dicintai oleh semua
orang, salah satunya bisa dibaca rilis Majalah Time (Edisi 29 Oktober 2002).
Majalah ini merilis tentang penyair tersukses dari aspek penjualan
buku/karyanya “…. a Muslim mystic born in Central Asia almost
eight centuries ago, he is no longer available for comment”. Time lalu menyebut Rumi sebagai “the most popular poet in America.”
Itulah Rumi, sosok yang akan terus hidup sepanjang masa
di tengah-tengah para pencari jatidiri, cinta kasih dan kemanusiaan. Jalan yang
ditempuhnya dalam lorong sufisme—kearifan dan kedamaian yang
diagungkannya—telah menebar ke semua perjuru dunia, termasuk Indonesia.
Versi cetatk esai ini dimuat di koran Kedaulatan Rakyat, 12 Oktober 2014
0 comments:
Post a Comment