Versi cetak esai ini dimuat di Jawa Pos edisi 22 Februari 2015
Versi cetak Jawa Pos |
Suatu
siang menjelang sore hari Jumat, 29 Agustus 2014, tepat 39 tahun setelah cerita
cinta yang rapuh dan sintimentil ini mulai ditulis oleh Orhan Pamuk—yaitu
seperempat menuju pukul 3 suatu sore hari Senin, 26 May 1975—dalam novel
berjudul Museum Kepolosan, saya
menjadi pengunjung ke-9.304 di sebuah museum yang mengabadikan kisah cinta
dalam novel ini dengan merangkul novel Masumiyet
Müzesi versi Turki di dada. Saya mengikuti anjuran Kemal Basmacı, tokoh protagonis,
yang meminta kepada segenap pembaca agar senantiasa mendekap novel ini di dada
masing-masing bila ingin berziarah ke tengah lokus ketulusan cinta yang menjelma
menjadi simbol dan artefak dalam bentuk koleksi-koleksi di sebuah museum dengan
nama yang sama: Museum of Innocence di
Istanbul.
Bagi
mereka yang lebih dulu selesai membaca novelnya, berkunjung ke Museum of Innocence adalah sebentuk ziarah
untuk merasai luka perih dan ketulusan kisah cinta fiktif yang pernah dialami oleh seorang tokoh cerita bernama Kemal. Kemal nyaris menyerahkan masa-masa produktif hidupnya
untuk cinta, dari tahun 1975 hingga 1984, dan setelah itu pun ia harus
menanggung ketololan cinta yang menyesatkan dirinya dalam keindahan dan kebahagian
yang menyakitkan. Ini betul-betul kisah cinta yang tak wajar (atau bahkan
keparat), dan memang begitulah cinta: menyelipkan kisah-kisah unik
masing-masing. Fragmen dalam Museum of
Innocence mengingatkan saya kepada kisah-kisah cinta paling fenomenal di
jagat raya: Layla
& Majnun-nya Nizami Ganjavi, Lolita-nya
Vladimir Nabokov dan Love in The Time of
Cholera milik Gabriel García Márquez.
Koleksi dalam museum |
Kemal
menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri. Ketika
Füsun masih berada di sampingnya dan menjadi “milik” Kemal, kebahagiaan adalah ketika
menikmati kehalusan kulit, rambut dan lehernya yang jenjang; ketika Füsun menghilang
pergi bersama keluarganya entah kemana, kebagiaan adalah ketika Kemal memandangi
objek-objek yang pernah disentuh Füsun, aroma-aroma yang melekat di sana dan sebuket
kenenangan yang melumurinya, juga jalan-jalan berundak di kota Istanbul yang
pernah dilaluinya; ketika Füsun ditemukan kembali dari pengasingan dan tenyata sudah bersuami,
kebahagiaan adalah ketika Kemal dapat mengunjunginya tiga kali seminggu (untuk makan
malam dan minum teh) selama kurang lebih delapan tahun; dan ketika Füsun
meninggal akibat kecelakaan, kebahagiaan bagi Kemal adalah kemampuan merasakan dan
menikmati luka dan perih yang dialami Füsun.
Sebelum
masuk ke dalam gedung museum, sebaiknya kita menikmati sebentuk bangunan tua dengan
gaya asitekstur Prancis awal abad 19. Gedung yang berdiri tepat di ujung gang
jalan Dalgıç itu menunjukkan siapa Füsun dan keluargnya, sebuah cermin
kehidupan sederhana. Meskipun Kemal berasal dari keluarga kelas atas dan kaya raya di
Istanbul, pilihan Pamuk membeli bangunan lantai tiga seadanya dengan kesan klasik
dan tak luas itu menegaskan suatu potret kehidupan sosial-ekonomi Istanbul tahun 1970-an yang
selaras dengan latar belakang dan kondisi riil seperti tergambar dalam novel. Pengunjung yang telah membaca novel akan menemukan keserasian antara
cerita dan realisasi Pamuk dalam bentuk aktual.
Pun
bila masuk ke dalam museum kesan klasik tahun 70-an akan menyergap kuat.
Objek-objek yang dibikin tua atau dokumen-dokumen yang memang hanya ada di
tahun-tahun itu, seperti kover film, halaman koran dan majalah, dokumen imigrasi,
foto, bungkusan rokok dan botol minuman misalnya dibingkai dalam sentuhan muram
dan sayu—sebuah nuansa melankolia—demi menghadirkan narasi perih ihwal kisah
cinta yang menyiksa.
Anatomi broken hearts versı Pamuk |
Di
lantai pertama, setelah menyaksikan objek paling masif berupa puntung rokok
yang berjumlah 4.213, kenangan yang paling dihayati Kemal karena setiap puntung
rokok adalah ekspresi emosi yang intens (yoğun bir duygunun dışavurumudur) dari setiap momen yang melingkupi dunia Füsun. Kemal mengerti nuansa emosi gadis pujaannya dengan cara bagaimana ia menyalakan, menghisap dan sekaligus mematikan rokoknya; apakah ia meletakkan puntung rokok di asbak dengan lamat-lamat penghayatan atau tergesa-gesa melempitnya begitu saja, atau bahkan mencampakkannya ke luar jendela. Detail-detail masif dan intens begini kerapkali berkonsekwensi kepada
ketaklogisan kisah cinta antara Kemal dan Füsun. Dalam diri Füsun pun demikian,
meski tidak banyak dieksplor secara detail masif oleh Pamuk. Misalnya, karena sudah
berjanji kepada Kemal sejak awal percintaannya bahwa Füsun tidak akan berhubungan
intim dengan siapa pun, ternyata selama lebih lima tahun menikah ia tak
sekali pun bersetubuh dengan sang suami. Tiba-tiba jiwa Kemal seperti melolong ketika mendengar fragmen yang sulit masuk akal ini. Ternyata, dalam diri Füsun terbenam kenangan
cinta yang tak kalah hebat bergelora dan mengejutkan Kemal.
Habitus Melankolia
Saya
dengan mudah menengarai bahwa novel ini adalah lokus dari melankolia yang mencerminkan
karya-karya Pamuk tentang Istanbul ataupun yang disebut sendiri dalam esai-esai
otobiografinya, misal dalam buku "Istanbul:
Hatılar ve Şehir" atau "Manzaradan
Parçalar" dan "Öteki
Renkler" (dua buku yang memuat esai-esai dan kronik kehidupan dan
pemikiran Pamuk). Pamuk seolah ingin menerjemahkan konsep melankolia seperti terjadi
pada diri Kemal. Dia tidak berhenti sebagai agen personal yang menanggung kemuraman—dalam
konteks novel ini melalui kisah cinta—tetapi, ternyata keluarga Kemal pun,
khususnya sang ayah, mengalami fase keterputusan kultur dari marwah keluarga yang
diejawantahkan dengan serangkaian perselingkuhan. Di lingkungan sekitar Kemal,
teman-teman bermainnya, potret kesuraman dan kehilangan akan akar dan identitas
sejarah sangat jelas dihadirkan Pamuk melalui dua wajah: Islam dan Barat,
meskipun kehidupan sekuler Eropa lebih dominan dalam novel-novel Pamuk,
termasuk novel ini.
Latar
belakang kehidupan sosial Istanbul dalam novel ini adalah potret yang nyaris utuh ihwal habitus melakolia itu
sendiri. Saya bersepakat dengan Norbert Bugeja dalam bukunya Postcolonial Memoir in the Middle East:
Rethinking the Liminal in Mashriqi Writing ketika coba mendifinisikan bahwa
melankolia (hüzün) “is not the melancholy of a solitary person,
but the black mood shared by millions of people together, will in the last instance transcend the
individual per se in order to encompass the entire socius (Bugeja,
2012:126). Sementara itu, Pamuk sendiri dengan jelas mengatakan bahwa hüzün adalah state of mind yang merasuk ke dalam laku sosial (Pamuk, 2008:82) dan memungkinkan orang banyak (people of the city) menghadapi hal yang
sama: kehilangan dan perubahan sebagai fenomena sejarah.
Pakaian Füsun |
Kepiawaian
Pamuk dalam membenturkan peradaban Barat
dan Timur dengan intensitas yang tinggi adalah pioner bagi penulis novel sastra
Turki sendiri. Penulis-penulis hebat seperti Ahmet Hamdi Tanpınar, yang
digadang-gadang sebagai peletak dasar novel postmodern dalam sastra Turki, Sabahattin
Ali ataupun Yaşar Kemal misalnya, tak seistimewa Pamuk ketika mendalami
aspek-aspek historisitas untuk menemukan originalitas dari kehilangan demi
kehilangan ihwal kultur dan tradisi Turki itu sendiri. Pamuk begitu gagah menghancurkan kerigidan sejarah dengan intervensi aspek-aspek fiksional dan karena keistimewaan aspek-aspek fiksional pada tubuh sejarah terciptalah konstruksi fiksi-dari-sejarah yang tersusun sebagai dunia baru dan mencengangkan. Ia bergumul dengan impresi-impresi kehilangan dari dinamika sejarah Turki lalu menambalnya dengan fiksi. Kehilangan yang menjadi lokus Pamuk
dengan menyelam secara tekun ke dalam sejarah masa lalunya lalu dihadirkan ke dalam komposisi hibriditas untuk mendengungkan kebudayaan Turki melalui tema habitus
melankolia, adalah proyek original yang dapat dijumpai dan sekaligus
diperdebatkan dalam karya-karyanya.
Ada
banyak anomali dalam aspek kultural dan politik yang dapat ditemui dalam novel
ini dan sekaligus saya rasakan sendiri setelah satu tahun lebih tinggal di Turki.
Seperti kasus-kasus birokrasi dan penyuapan, korupsi, perselingkuhan, jaringan
bisnis hitam dan kasus nasabah bank. Sejatinya Pamuk bukan omong kosong
menghadirkan sedemikian rigid kehidupan Istanbul dan Turki dalam
karya-karyanya. Rekaman-rekaman historisitas yang begitu dalam dan menuntut totalitas
dan intensitas kerja dari seorang penulis tertuang secara brilian dalam
karya-karyanya. Namun sayang sekali semua karya besar yang dihasilkan Pamuk
diabaikan oleh mayoritas rakyat Turki. Mereka dilampaui rasa sakit karena pernyataan kontoversial Pamuk pada sebuah wawancara di majalah yang terbit di Swiss ihwal genosida bangsa
Armenia setahun sebelum dirinya didapuk hadiah Nobel Sastra pada tahun 2006.
Asesoris dalam museum |
0 comments:
Post a Comment