Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Junaidi
Khab
Pada tanggal 8 Mei 2016
bagi dunia literasi mungkin harus menjadi cambukan kembali atas
kasus plagiasi oleh salah seorang penulis. Sebenarnya, hal ini bukan isu
aktual. Kasus plagiasi sudah pernah terjadi jauh hari sebelumnya. Misalkan di koran
nasional Kompas oleh salah satu dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta
pada 2014.
Namun, dengan bijak dosen UGM tersebut
mengakui dan melakukan pengunduran dari status dosen UGM, karena hal itu
mencoreng almamater. Kasus ini mungkin tidak menjadi jeweran bagi penulis lain.
Sehingga, masih tetap ada penulis yang melakukan hal serupa di media massa.
Kejadian plagiasi kini terulang kembali di
koran Harian Analisa Medan. Penulis dengan inisial HKH diklaim melakukan
plagiasi tulisan milik Bernando J. Sujibto dengan judul “Perkara Prosa di
Turki” dengan judul yang tak jauh berbeda. Bernando merupakan penulis asal
Sumenep yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Selcuk University,
Konya Turki. Sementara HKH merupakan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU)
yang katanya ia mahasiswa sastra. Namun, tulisan yang dimuat di Harian Analisa
pada Minggu, 8 Mei 2016 di dalamnya mengandung unsur plagiasi.
[Dari Situs Analisa] |
Tulisan Bernando ini kali pertama tayang di
media online kawakan basabasi.co Yogyakarta, pada 17 Maret 2016. Kemudian
diposting secara pribadi di www.turkishspirits.org. Husnul dengan telaten
menambal dan mengukir kalimat-kalimat asli dari tulisan Bernando. Judulnya cuma
diganti satu kata, “Perkara” diubah menjadi “Masalah” dengan mengurai beberapa
paragraf sebagai bumbu. Memang sedap dan enak untuk dinikmati oleh para
pembaca. Namun, sebenarnya itu makanan milik orang lain yang diolah, lalu
dimakan oleh publik tanpa mendapat ijin dari pemiliknya. Secara kaidah hukum
Islam, publik telah menikmati hasil racikan hidangan otak yang haram.
Melihat kasus semacam ini memang sangat
memalukan. Seseorang yang (dianggap) sudah dipercaya oleh media ternyata
melakukan plagiasi. Terlebih menggunakan status perguruan tinggi yang tentunya
bisa mencoreng almamaternya. Memang, ini kita akui sebagai kejahatan
intelektual yang sulit dijangkau hukum negara. Tak ada undang-udang yang
melindungi suatu karya tulis dengan sempurna, hanya setengah-setengah
perlindungannya. Padahal, plagiasi merupakan kejahatan intelektual, yang secara
tidak langsung membunuh peradaban yang telah kita bangun dengan baik melalui
ilmu pengetahuan.
Namun, keuntungan masih berpihak pada HKH
dengan mengikuti permintaan dari Bernando agar mengakui dan meminta maaf kepada
publik. Hal itu dilakukan oleh HKH di dinding akun facebook Bernando dengan
berterusterang bahwa ia telah melakukan plagiasi atas tulisan Bernando di
basabasi.co.
Dengan tangan terbuka, Bernando pun
memberikan maaf dengan memberi peringatan kepada publik agar pelaku plagiasi
yang meminta maaf jangan sampai dijauhi, tapi Bernando meminta agar menjauhi
virus plagiasinya saja agar tidak menjangkit penulis-penulis yang lain. Sungguh
mulia. Namun, entah pemberian maaf dari Harian Analisa, basabasi.co,
universitas tempat HKH menempuh studi, dan pihak terkait lainnya. Hal itu ada
dalam kebijakannya masing-masing untuk menyikapi kasus ini.
Bukan Salah Media
Melihat kasus plagiasi tulisan
yang terbit di media (koran) dan lainnya, dalam hal ini masih ada dua
pandangan. Pertama, publik mungkin akan memandang bahwa pihak yang bersalah itu
penulis yang melakukan plagiasi. Kedua, pihak media yang telah ceroboh
menerbitkan suatu tulisan tanpa melihat aspek-aspek tulisannya. Namun, publik
tentunya sudah tahu dan cerdas untuk membedakan mana yang salah dan mana yang
benar. Terlebih untuk menyalahkan publik memang sangat cerdas.
Dalam hal ini, saya menegaskan bahwa media
(koran) yang memuat tulisan dari hasil plagiasi tidak serta-merta bisa
disalahkan. Hal itu dengan alasan bahwa setiap media yang berupa koran atau
lainnya sebelumnya tentu memberi ketentuan tentang tulisan yang boleh dikirim
untuk dimuat.
Salah satunya yang perlu diperhatikan yaitu
tulisan harus asli, bukan hasil jiplakan atau plagiasi. Jika suatu hari ada
tulisan yang dimuat, dan tulisan itu merupakan dari hasil plagiasi, pihak media
tentu memiliki kebijakan tersendiri sebagai aturan yang ditentukan secara
internal.
Mengingat kejadian kasus plagiasi tulisan
yang masih terjadi di republik ini, media harus melakukan penyaringan secara
ketat untuk menerbitkan suatu karya yang dikirim oleh publik. Memang, usaha ini
sangat sulit dan tidak mungkin dilakukan karena pihak redaktur tentunya tidak
hanya menerima satu atau dua tulisan di dapur redaksi. Ada banyak tulisan yang
harus dipilah dan dipilih untuk menjadi konsumsi publik.
Namun, jika ada usaha yang dilakukan oleh
redaktur media, kemungkinan besar kasus plagiasi di negeri ini sedikit-banyak
bisa dikendalikan dengan segera memberikan peringatan dan sanksi kepada pelaku
plagiasi. Usaha ini bukan serta-merta untuk mematikan kreatifitas para penulis
yang melakukan plagiasi, tapi sebagai pelajaran kita semua.
Maka dari itu, menjadi seorang penulis harus
benar-benar profesional dengan menggunakan daya kreatifitas sebaik dan
semaksimal mungkin. Melakukan plagiasi hanya akan menanam benih-benih kejahatan
dan malu kepada publik.
Selain itu, juga bisa membunuh secara mental
jika plagiasi yang dilakukan diketahui publik. Ia bisa merasa terkucilkan dari
lingkungannya. Mari, jadi penulis yang benar-benar kreatif dengan menuliskan
ide-gagasan inspiratif yang ada di otak kita! ***
Penulis adalah Akademisi, lulusan Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Alumnus #Kampus Fiksi DIVA Press
2016
0 comments:
Post a Comment