Thursday, April 18, 2019

Tiga Hari Menjelang 17 April 2019

Saya pulang ke kampung halaman pada tanggal 12 April malam dengan kereta jurusan Yogyakarta-Surabaya. Niat saya pulang adalah untuk akikah anak pertama, Eftalya Ruhum, bertemu dengan kawan yang tengah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di provinsi Jawa Timur, dan—ini yang terpenting—bertemu dengan keluarga dan sanak saudara di kampung.

[Jalan di kampungku ketika musim hujan]
Kedatangan saya tepat menjelang akhir musim hujan, tetapi hujan terus mengguyur kampung. Bisa dipastikan, jalan-jalan yang tak beraspal—berapal pun tapi cepat rusak karena proyek yang berorientasi menghabiskan uang belaka—berhambur lumbur di mana-mana. Saya sebenarnya menikmati kondisi seperti itu sebagai cara  untuk menampar saya bahwa saya bagian kondisi seperti itu. Ya, di saat seperti itu, perubahan alamat KTP dari Sumenep ke Jogja menjadi lebih terasa: apakah saya lari dari keserbarumitan itu menuju kenyamanan? Tidak, tentu saja. Setiap ada kesempatan untuk membangun kampung adalah anugerah bagi saya. Tapi tugas kerja di Jogja harus saya jalani, dan semoga panjang umur, saya ingin mengabdikan kehidupan saya di daerah, suatu kelak!

Saya datang ke sanak saudara dan tetangga untuk mengundang mereka selametan dan syukuran akikah. Satu per satu. Sekali-kali terlibat dalam obrolan terbaru soal Pilpres (Jokowi atau Prabowo). Di tanah kelahiran saya sendiri kampung Tanggulun, narasi untuk kedua Capres masih imbang. Khusus untuk mereka yang punya preferensi ke Prabowo mengatakan hal berikut ini:

- Jokowi berdoa saja belepotan (la-sala / ga’-gala’ga’);
- Jokowi berasal dari keluarga Kristen dan Komunis (ini isu lama sejak 2014);
- Pro-Kristen, seperti membiarkan Ahok tidak segera dipenjara;
- Harga punya petani dibeli murah, harga dari pasar dijual mahal;

Empat narasi di atas merata di antara sanak saudara dan tetangga saya. Mereka mempunyai bahasa beda tetapi intinya bisa dikategorikan ke dalam empat pesan di atas.

Selanjutnya, saya juga coba menanyakan kenapa mereka mau mendukung Prabowo? Alasan mereka tak banyak:

Didukung oleh para ulama (ada ijtima’)’

Jawaban di atas sangat dominan. Mereka menyatakan diri “bermakmum kepada ulama”, karena demi menghentikan “misi” Jokowi yang mereka dapatkan di atas. Di selatan rumah saya, di daerah Daleman, menurut cerita keluarga saya, ada seorang yang tengah memakai kaos bergambarkan Jokowi diminta dilepas paksa di sebuah acara di tempat publik. Ada pula persaksian—ini dari teman saya dari desa sebelah—dua orang yang pro-Jokowi tidak disediakan minum kopi ketika acara tahlilan!

Bahkan, ada salah satu dari keluarga saya yang bercerita begini: Di pantai utara Madura (Laut Jawa), di kecamatan Ambunten, Sumenep, ada seorang kaya dan bisnisman membeli tanah pinggir pantai kepada salah satu masyarakat. Usut punya usut, ternyata yang membeli tanah dekat pantai tersebut adalah orang keturunan China. Di waktu kemudian tersebar kabar bahwa di tanah tersebut akan dibangun gereja. Akhirnya rakyat sekitar berang, kiai dan tokoh masyarakat di sekitar mereka menjadi motor penggerak untuk menolak yang kemudian dipakai untuk kampanye anti-Jokowi.

Kabar tentang akan dibangunnya gereja di tanah tentu saja menyebar dari mulut ke mulut. Tidak bisa dipastikan kebenarannya. Rakyat juga belum tahu bagaimana proses pembangunan tempat ibadah (!). Dan satu hal lagi, rakyat tidak paham peta “pencaplokan tanah-tanah di Madura” pasca-Suramadu. Mereka tidak mengerti juga bahwa sudah banyak tanah di sekitar pantai, khususnya di bagian selatan dari Bangkalan ke Sumenep sudah dikuasai oleh pemodal. Pengetahuan mereka belum sampai ke sana! Urusan peta bisnis properti dan patgulipat penguasaan lahan sama sekali mereka tidak tahu. Saya jelaskan sedikit soal ini, mereka tercengang!

Selanjutnya, saya pergi ke tanah kelahiran Ayah dan sekaligus tempat kuburannya, di desa Sana Tengah, Pasean, Kabupaten Pemekasan. Daerah ini termasuk yang paling terbelakang di Pamekasan. Pemekasan terkenal dengan pelayanan dan pengelolaan birokrasi paling bersih di Madura, tapi di kecematan ini bisa dibilang indeks manusianya termasuk yang cukup rendah ketimbang kecematan lain karena daerah ini berada di paling utara (pantai utara) Pamekasan.

Selesai mengaji ke makam Ayah, saya biasa mewajibkan diri untuk mampir setidaknya ke dua paman yang masih ada di desa tersebut. Di sini lebih ekstrim, lebih intens dan masif kepada Prabowo. Meski keluarga saya di sini minta pandangan saya, saya tetap tidak ingin mencampuri apa yang mereka ketahui. Satu hal saja saya hanya memastikan bahwa mereka tidak mempunyai narasi dan perspektif lain dari pro-Jokowi. Kenapa tidak ada? Karena di daerah ini sami’na wa atho’na-nya lebih kuat. Rata-rata mereka mondok di Batabata dan Banyu Anyar yang kiai-kiainya mendukung Prabowo. Dalam pengakuan paman, di desa mereka selalu ada pengajian yang diisi oleh kiai-kiai pro-Prabowo baik yang datang dari kota Pamekasan maupun mereka yang berasal dari sekitar Pasean. Di daerah ini, politisasi agama sangat kentara. Dibangun juga laskar-laskar yang khusus menjadi pembela Prabowo dalam pemilu, misalnya LPI (Laskar Pembela Islam) Madura. Sepupu saya menjadi bagian dari laskar ini dan diundang ke luar kota untuk ijazah dan kegiatan lainnya (sepupu saya ini paling getol dan percaya bahwa Prabowo menang, meski rilis resmi KPU belum keluar).

Akhirnya, narasinya nyaris tunggal. Yang pro-Jokowi, kata paman, tidak bisa bersuara lagi dan diam. Bahkan, kata paman dan bibi, di daerah Pasean sendiri ada satu rumah dibakar massa karena berani memasang spanduk bergambar Jokowi! Di pasar-pasar tradisional, kata bibi, menyebar rasanan dan ajakan untuk memilih Prabowo secara terbuka di antara para pedangang.

Setelah itu, seperti biasa saya coba mendengarkan apa alasan mereka memilih Prabowo:

- Kalau Jokowi menang akan ada pernikahan sesama jenis;
- Jokowi mengkriminalisasi ulama;
- Harga-harga sembako mahal dan punya petani dibeli murah;\
- Kalau Jokowi menang Indonesia akan di-Kristen-kan;
- Jokowi melarang rakyat untuk menyembelih sapi betina;

Lagi-lagi, saya menanyakan apa alasan saudara saya di daerah ini memilih Prabowo: mengikuti kiai! “Bramma’a pole, cong, areya la daddi se umum e dinna’. Keae la toron kabbi ka pangajian-pangajian (Gimana lagi, ini sudah menjadi hal umum di sini. Para kiai sudah turun gunung ke pengajian-pengajian).”

Mereka meminta pandangan saya. Saya jelaskan perkara yang saya tahu pasti, selebihnya saya berujar: ”Karena paman dan bibi bermakmum, yang berdosa adalah mereka!”

Saya kembali ke rumah yang jaraknya sekitar belasan kilometer di tengah gerimis yang terasa miris di kulitku. Masa kecilku bersama Ayah terbayang-bayang di belakang. Semoga Ayah tenang di sisi Allah. Amiin.

0 comments: