Friday, August 17, 2018

The Power of Writing

(Naskah tulisan ini merupakan ketik ulang dari buku Melipat Batas yang diterbitkan oleh Diva Press tahun 2013. Saya secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada adinda Arian Widda Faradis yang sudah mempersiapkan tulisan ini sehingga bisa saya unggah ulang ke blog, dengan harapan semoga sepenggal catatan ini bermanfaat bagi pembaca)


Deretan kursi pada sebuah teras di salah satu ruangan kampus Sanata Dharma terisi oleh beberapa mahasiswa yang sedang menunggu. Aku tidak datang terlambat, masih in time juga. Tapi, jelas kalah awal dari mereka yang tengah menyemut di situ. Kupastikan nama dan nomor ruangan, daftar nama interview yang menempel pada setiap pintu ruangan. Ya, namaku ada di sana: B.J. Sujibto.

Sambil menunggu giliran wawancara, aku menikmati suasana kampus yang sebelumnya tidak terlalu kukenal, selain gedung-gedung khusus seminar atau ruangan teater yang terkadang kudatangi di salah satu kampus terbaik dengan latar belakang agama Katolik di Indonesia itu. Sadhar, sebutan akrab Universitas Sanata Dharma, tidak terlalu jauh dari kampusku, UIN Sunan Kalijaga. Kalau diukur lurus, tidak sampai satu kilometer. Kendati demikian, tampak jarang mahasiswa UIN yang sengaja mengunjungi kampus Sadhar atau singgah di perpustakaannya.

Tak begitu lama menunggu, aku dipanggil lalu dipersilahkan masuk ke ruangan. Aku bersalaman dengan sesama orang yang sudah menunggu di dalam ruangan itu. Dia menanyakan nama, alamat, serta kehidupanku dengan bahasa Inggris, dan sesekali dicampur dengan bahasa Indonesia, bahasa kecintaanku tentunya. Proses wawancara itu terus mengalir begitu saja ke berbagai aspek kehidupanku. Karena sudah mengantongi CV-ku, tentu saja Pak Dosen yang mewawancaraiku itu begitu fasih membongkar hal-hal yang mungkin baginya dianggap unik dan distingtif dari diriku. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan sepertinya sudah menjadi keharusan atau standar umum wawancara, sesuai yang perlu diulik dari semua peserta.
            
“Kamu suka menulis?”
“Batul, Pak.”
“Tulisanmu banyak sekali dan sudah banyak dimuat di media massa juga. Bahkan, sudah dimuat di Kompas juga ya?”
Aku mengangguk.
“Kamu juga sudah banyak memenangkan kompetisi menulis juga, ya?”
Aku meyakinkan lagi dengan sebuah anggukan.
“Bagaimana kamu bisa menulis?”

Deg! Ini pertanyaan tersulit. Karena, Pak Dosen menuntutku menelisik dan menekuri masa silamku yang cukup panjang. Aku harus membuka file-file masa lalu dengan seksama, suatu fase di mana aku bisa memulai segalanya dengan keyakinan dan perjuangan.
                                                                       
***
Sebuah bidik[1] terhampar di depanku. Paman, Kak Muhli, dan Ibu ada di sana. Saat itu, aku dan Kakak sedang aretret[2] rajangan tembakau untuk dikonsumsi sendiri di atas sebidak bidik. Kami biasa menamai tembakau yang khusus dibuat untuk rokok lintingan dengan “tembakau soteran”. Tembakau pilihan dari daun-dan tembakau yang sengaja dirawat secara khusus dari pohon-pohon terbaik.

“Ibu, aku mau berhenti dari pesantren.”
Arapa, cong?”[3]
“Memang, kemana rencanamu, le[4]?” celetuk kakakku.
“Ke Jogja. Tapi, sebelum itu, aku mau kursus bahasa Ingris dulu di Pare. Kalau sudah yakin dengan kemampuan bahasa Inggrisku, aku akan berangkat ke Jogja.”
“Ibu tidak punya kemampuan apa-apa lagi untuk membantu pembiayaanmu, Nak.”
“Ibu tidak perlu memikirkan uang. Aku hanya butuh izin dan doa dari Ibu. Selebihnya biar aku sendiri yang berjuang.”

Ibu, Kakak, dan Paman terdiam di teras rumahku. Mereka seperti menghela napas. Suasana musim panas di bulan Agustus-September memang membawa angin lembab dan berdebu. Terlebih September adalah puncak musim panas di kampung.

“Iya, lanjutkan saja kalau itu sudah menjadi kemauanmu.”  Paman di seberang pintu yang sedang duduk dengan baju kusam terbuka sedada menimpali.

“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan bekerja apa saja demi mencapai cita-cita ini. Kalaupun aku tidak bisa kuliah karena betul-betul tidak punya uang, tidak apa-apa, aku menerimanya. Aku hanya ingin belajar dan menambah pengalaman di kota orang mumpung masih muda.”

Ibu menatapku. Matanya ibarat sebuah telaga bening yang selalu memancarkan semangat. Kedipannya seperti petir yang selalu membangkitkan darah juangku. Aku paham Ibu sangat berat melepasku pergi karena khawatir dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas. Akan tetapi, semangatku telah menutup semua kekhawatiran itu.

“Iya, Nak. Kalau itu sudah menjadi pilihan dan cita-citamu, silahkan. Ibu akan selalu setia mendoakanmu.”

Dalam semua keterbatasan, aku melangkah dengan penuh keyakinan meninggalkan kampung halaman. Tujuan pertamaku adalah belajar bahasa Inggris di Pare sebagai modal untuk berkompetisi di kota orang. Di Pare, ada paman sepupu dari Ibu, yang menjadi tutor dan punya lembaga kursus bahasa Inggris. Namanya Mr. Bakir. Sehingga, aku tidak terlalu repot untuk sekedar hidup dan belajar gratis di sana. Di samping itu, sepupu ibuku ini memang selalu mendukungku untuk belajar bahasa Inggris karena kemampuan bahasa Inggrisku sangat minim.

Aku sudah benar-benar menyongsong masa depanku sendiri. Aku yakin, akan ada jalan yang terbuka lebar untuk para pencari ilmu sepertiku. Risiko apa pun yang menghadang langkahku adalah cobaan yang harus kuhadapi. Semangat sudah membuncah di dadaku. Aku yakin bahwa siapa pun yang berjuang mencari ilmu di jalan Allah, pasti akan mendapatkan ilmu seluas samudra yang akan memberikan banyak manfaat. Dia tidak pernah tidur untuk memudahkan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang haus ilmu.

Aku tidak ingin melangkah dengan konyol, karena itu aku membutuhkan senjata untuk bertahan. Aku perlu mempersiapkan suatu kemampuan yang bisa kubanggakan sebagai bargaining position di hadapan orang lain. Aku sadar bahwa kemampuan menulisku bisa diandalkan dan aku dapat melanjutkan profesi sebagai penulis. Di samping itu, kemampuan bahasa Inggrisku juga bisa kupupuk lebih rajin lagi. Aku tidak tahu kelak bagaimana Tuhan membukakakn arah hidupku. Namun yang pasti, jalan sebagai penulis adalah satu-satunya yang bisa kubanggakan.

Menulis dan membaca adalah bagian dari masa kecilku. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah terbiasa membawa dan membaca buku-buku cerita petualangan yang ada di perpustakaan SD Inpres. Berlanjut ke pendidikan lebih tinggi di pondok pesantren, semangat membacaku semakin menggila. Kelas tiga MTs, aku sudah memulai menulis puisi dan cerita (sangat) pendek. Akhir kelas tiga, puisiku dimuat di rubrik “Cermin” majalah sastra Horison, lalu secara bergiliran di majalah Annida, Kuntum, dan Sahabat Pena.

Puisi pertama yang dimuat di majalah nasional dan bergengsi itu, untuk judul dan isinya, aku masih sangat hafal, bahkan sampai sekarang. Judulnya “Pelabuhan Raksa”, berisikan tentang  kisah cinta yang kandas di sebuah pelabuhan. Aku sangat menyukai puisi pertama itu. Tak ayal, majalah Horison edisi itu aku bawa ke mana-mana. Kulapisi majalah itu dengan isolasi bening agar tidak cepat rusak. Kusodorkan ke beberapa teman, baik di pondok, perpustakaan, maupun sekolah. Waktu itu, aku tidak tahu sama sekali arti publisitas. Tapi yang pasti, aku ingin mengatakan kepada semua temanku bahwa aku adalah penulis yang karyaku bisa dimuat di media masa yang dibaca oleh banyak orang. Titik !

Hasrat menulisku tumbuh menggebu. Di samping media-media kreativitas menulis yang ada di pondok, tempat di mana aku menghabiskan masa remaja, sangat banyak dan mendukung semua kegiatan jurnalistikku, aku sendiri mulai menggagas untuk menerbitkan sebuah newsletter pertama di pondok. Pondokku bersistem federal ─ seperti negara-negara bagian dalam pemerintahan Amerika atau Australia ─ yang berada di bawah satu yayasan bernama Annuqayah. Di bawah Annuqayah, tersebar beberapa daerah yang berlokus sebagai bagian-bagian kesatuan tapi dengan sistem berbeda. Ada yang dominan salaf, modern, semimodern, dan campuran. Pondokku bernama Daerah Nirmala. Biasanya orang-orang di luar pesantren mengenalnya dengan nama Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Nirmala. Dan, Alhamdulillah, newsletter yang kugagas bersama teman-teman akhirnya terbit juga saat aku duduk di kelas dua aliyah. Aku bersama tiga orang temanku yang menginisiasi penerbitan buletin itu. Kami memberinya nama Newsletter Kejora.

Proses menulisku terus berlanjut dan menggila. Dari puisi kemudian merambah ke cerpen dan artikel. Saat di bangku aliyah, kegemaranku pada buku dan menulis benar-benar berada pada titik ekstase, mencapai puncaknya. Berulang kali, sajak-sajakku dimuat di Horison, bahkan tak tanggung-tanggung di halaman utama. Aku benar-benar bangga. Respons positif dan dukungan dari teman-teman komunitas serta sanggar seni di pondok berhamburan bak laron yang muncul ketika musim hujan tiba.

Semua ini hanya sebuah ujung dari lorong panjang. Aku tidak ingin selesai di sini. Aku ingin mencecap sebuah proses yang sebenarnya. Di sanalah perang itu, di mana ketika aku benar-benar sendiri berjuang melawan keberingasan hidup. Aku ingin melanjutkan mimpiku sebagai penulis di Jogja! Aku ingin tulisan-tulisanku memanggilku ke seantero dunia!

Kalimat-kalimat itu seperti lelatu tapi penuh dengan kilatan tajam. Kuucapkan kalimat-kalimat itu di depan teman-teman komunitas sanggar seni serta teman-teman kru Newsletter Kejora.

Ternyata betul. Perkataan yang sedikit heroik itu telah membawa langkahku ke Jogja pada tahun 2006, tepat tiga minggu sebelum gempa besar melanda Jogja pada 26 Mei 2006. Sebagai pendatang baru di Jogja, dengan hanya mengandalkan kenalan beberapa sahabat baik yang bersedia menampung, aku tertantang untuk segera menjelajah Jogja. Alamat para penulis dan tokoh-tokoh sastra sudah kukantongi. Ada Joni Ariadinata, Zainal Arifin Thoha, Agus Najib, Amin Abdullah, bahkan Amien Rais, dan beberapa nama penulis beken lainnya. Aku tidak tahu bagaimana cara menemui mereka. Namun yang pasti, banyak dari penulis-penulis hebat di Jogja sangat welcome dengan orang-orang baru dan jembel sepertiku. Karena, seperti diceritakan banyak temanku, penulis-penulis hebat itu awalnya senasib sepertiku. Hanya bermodalkan semangat, tekad, dan kemampuan menulis.

Jogja adalah kota yang sangat cocok bagi penulis. Ya, aku berani mengatakan demikian karena denyut kreativitas menulis begitu gemerlap di Jogja. Buku-buku murah. Diskusi-diskusi terhampar luas dan gratis. Kajian-kajian dan seminar kelas nasional pun terbuka lebar. Komunitas-komunitas seni dan sastra tumbuh di semua sudut kota Jogja. Aku yang baru pertama kali sampai di Jogja, takjub dibuatnya.

Dengan sangat ajaib, karena jalan Allah, akhirnya aku bertemu seorang teman yang mengantarku ke sebuah komunitas menulis yang telah kukenal sejak masih di pondok pesantren. Komunitas Kutub, namanya. Dahsyatnya, salah seorang penulis yang aku kagumi, Zainal Arifin Thoha, ada dalam komunitas itu. Semakin mantaplah keyakinanku untuk belajar menulis dan mengembangkan pengalamanku di sana. Pria  yang kupanggil Gus Zainal itu sangat welcome dan mempersilahkanku tinggal di pondoknya. Sayang, aku hanya bertemu dan belajar kepada beliau selama setahun, karena pada 14 Maret 2007 beliau dipanggil kembali ke Rumah Allah dalam usia yang masih muda, tiga puluh lima tahun.

Di Komunitas Kutub, aku benar-benar menggila belajar menjadi penulis. Tahun  2007 hingga 2009 adalah fase di mana aku benar-benar fokus dengan dunia menulis. Karya-karya tulisanku, seperti artikel, esai, timbangan buku, dan puisi nyaris tak bisa dibendung. Mengucur begitu saja menyaingi napasku.

Atas dorongan Gus Zainal dan teman-teman di Komunitas Kutub, aku memberanikan diri untuk mendaftar kuliah. Kala itu, aku tidak mempunyai bayangan mendapatkan uang dari mana. Uang sango[5] dari hasil Ibu menjual ternaknya senilai sejuta rupiah sudah kupakai sebagian untuk makan di Jogja. Sisanya hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah. Dan, sisa uang itulah yang kupakai untuk biaya pendaftaran kuliah.

Akhirnya aku diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ketika registrasi pertama yang mengharuskan mahasiswa membayar uang sebesar satu setengah juta rupiah, aku pusing sejuta keliling, bukan hanya tujuh keliling. Beruntung ketika aku meminta kelonggaran kepada pihak kampus, aku diperbolehkan mencicil dua kali. Pembayaran pertama, aku meminjam uang dari teman-teman yang kukenal di Pare, Kediri, yang sudah lama tinggal dan bekerja di Jogja. Uang pinjaman itu harus kukembalikan dengan cepat. Semangat ini pulalah yang membuatku memutuskan untuk total menulis.

Di Jogja, tantangan hidup benar-benar terasa, dan aku seperti berperang di sana. Jarak kampus dari tempat tinggalku cukup jauh. Delapan belas kilometer. Aku tinggal di daerah Krapyak, sementara kampusku yang sebenarnya berada di sekitar Timoho, karena terhantam gempa, harus meminjam gedung di daerah Bandara Adisucipto, Maguwoharjo. Jarak yang memakan waktu hingga satu jam perjalanan itu harus kutempuh dengan sepeda ontel. Inilah yang kusebut sebagai “perang”. Di atas sadel sepeda, aku berperang dengan egoku sendiri. Berperang dengan rasa malu. Berperang dengan semua kemalasan. Dan, berperang dengan semua tetek-bengek keakuan yang melenakan. Pesan Gus Zainal kepadaku agar tampil tanpa pencitraan, “Tahi kucing dengan gengsi, tahi kucing dengan malu,” begitu menusukku. Maka, kuderapkan langkah sekuat-kuatnya untuk melawan semua jenis ketakutan dan keterbatasan. Dan ternyata, aku memenangkannya.

Ada kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan. Sore itu, aku harus cepat pulang ke Krapyak karena di sana ada diskusi sastra yang harus kuikuti. Namun, aku harus menghentikan kayuhan sepedaku karena hujan tiba-tiba datang. Perlahan, kutuntun sepedaku ke sebuah pohon yang teduh lalu kusandarkan di sana. Kemudian, aku menepi ke sebuah teras kecil. Semacam emperan toko yang sepertinya baru saja ditutup menjelang senja. Di bawah cahaya bohlam ber-watt kecil, kulanjutkan membaca buku-buku yang selalu menyandingi perjalananku hari-hari itu. Waktu itu, aku membaca novel karya peraih Nobel Sastra, Orhan Pamuk, berjudul My name is Red tepat di tengah rintik hujan.

Dan, aku begitu terkejut manakala membuka penanda halaman novel yang ternyata terselip pada bab sepuluh dengan judul “Aku adalah Sebatang Pohon”. Kalimat pertama dan kedua seperti menyergapku begitu dalam, “Aku adalah sebatang pohon dan aku merasa agak kesepian. Aku menangis di tengah hujan.” Tapi tidak, aku tidak menangis waktu itu. Aku hanya tersayat dengan untaian kalimat demi kalimat magis dari tangan novelis ulung asal Turki itu. Saat itu, aku begitu merasakan bahwa berjuang menjadi penulis setali tiga uang dengan berjuang menjadi pembaca yang tekun.

Tahun 2007 hingga 2009, tulisan-tulisanku dimuat di hampir semua media massa di Indonesia, mulai dari Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Suara Karya, Suara Pembaruan, Investor Daily, Kontan, Bisnis Indonesia, hingga Kompas. Di luar Jawa pun, tulisan-tulisanku tayang di Bali Post, Bangka Pos, Serambi, Batam Post, dan Lampung Post. Semua bentuk tulisan kusambangi, mulai dari puisi, cerpen, resensi buku, esai, hingga artikel. Berbagai penghargaan lomba kepenulisan tingkat regional dan nasional kusabet satu per satu.

Aku telah menjadi pemenang!

Akhirnya akan kukatakan dengan lantang bahwa tulisan-tulisanku telah memanggilku ke mana-mana: Sumatra Barat, Jakarta, Semarang, Purwokerto, Australia, bahkan Amerika Serikat.


                                                                           ***
“Iya, Pak. Saya menulis karena saya menyukai dunia tulis-menulis dan membaca. Saya menulis karena saya juga ingin bertahan hidup!”
“Berarti kamu kuliah dan hidup di Jogja berjuang sendiri dengan tulisan?”
“Betul, Pak. Saya ada di Jogja dan kuliah hingga semester enam adalah karena perjuangan saya sendiri.”
“Luar biasa. Kamu sudah membuktikannya. Saya juga kagum dengan kegiatan-kegiatan organisasi yang kamu ikuti selama ini. Selamat berkarya!”

Sosok berkacamata dengan rambut cepak berusia sekitar kepala lima itu menutup sesi wawancara dengan mengepalkan tangan dan menjabat erat tanganku. Seperti ada sebuah harapan kuat yang disematkan dalam jabatan tangan itu. Ya, aku merasakan semangat itu.

Setelah sesi wawancara usai, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Semuanya kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa yang telah mengatur segalanya. Yang penting aku sudah berusaha maksimal. Aku harus bersabar menunggu sekitar tiga minggu untuk mengetahui hasil akhir wawancara. Alhamdulillah, ternyata aku lolos dan diterima sebagai grantee[6] IELSP Cohort 7.

Hal lain yang tidak bisa kulupakan sebagai penegasan tentang the power of writing adalah ketika ada seorang teman, former alumni program yang sama, menanyakan tentang tulisan-tulisanku. Aku cukup terkejut waktu ittu, bagaimana dia tahu kalau aku suka menulis? Selang beberapa hari, aku bertemu kembali dengannya dan dia bercerita kalau Mbak Ama, kordinator program IELSP Cohort 7, sempat bertanya tentang diriku dan menyebutku sebagai penulis.

Jrenggg … tiba-tiba aku jadi ingat tentang aplikasi yang kukirimkan untuk program IELSP. Aku ingat kalau aplikasi yang kukirimkan sangat tebal, sekitar tiga ratus halaman. Dalam aplikasi itu, kulampirkan fotokopi sertifikat yang berjumlah sekitar lima puluhan lembar, tulisanku sendiri yang berjumlah sekitar dua ratus halaman lebih, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya. Mungkin, aplikasi itu memecahkan rekor sebagai aplikasi paling tebal sepanjang sejarah IELSP.

Saat ini, aku ingin meyakinkan diriku sendiri dan teman-teman bahwa karya tulis dapat diandalakan dalam sebuah seleksi ataupun kompetisi beasiswa seperti IELSP. Selamat menulis, teman![]


Alumni IELSP Cohort 7,
University of South Carolina, 2010.




[1] Tempat di mana tembakau rajangan didadar sebelum dijemur. Bidik terbuat dari potongan bamboo dengan ukuran sekitar satu kali empat meter.
[2] Nama untuk sebuah pekerjaan, yaitu meletakkan atau mendadar daun tembakau yang sudah dirajang di atas bidik dengan tipis dan rapi.
[3] Madura: Kenapa, Nak?
[4] Madura: panggilan untuk seorang adik atau anak yang usianya lebih muda.
[5] Madura: saku, bekal.
[6] Penerima beasiswa, siswa tugas belajar.

0 comments: