Friday, February 15, 2013

Anugerah Pura-Pura

Artikel karya penulis sendiri yang dicomot dari Harian Jogja


Sebuah enugerah (award) menang tidak ada yang mulus begitu saja. Sejarah award, (anugerah) selalu diiringi dengan tumpukan kontroversi yang kencang di belakangnya. Dunia jejaring sosial Twitter tengah meramaikan gonjang-ganjing ihwal terbitnya novel Anak Sejuta Bintang, novel “pesanan” untuk mengisahkan masa kecil Aburizal Bakrie (Ical), karya seorang mantan wartawan Majalah Tempo Akmal Nasery Basral. Kritikan tajam, ejekan, dan bahkan cemoohan dari banyak pengguna Twitter mulai bermunculan. Bukan saja para pengamat, sastrawan dan penyuka karya sastra, tapi bahkan rakyat biasa pun, khususnya mereka yang melek terhadap isu-isu krusial dan genting negeri ini, sama-sama meramaikan topik yang satu ini.

Bagaimana tidak, Ical yang menjadi orang paling bertanggungjawab terhadap ribuan nyawa korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, harus menjadi tokoh atau sosok (yang diproyeksikan) inspiratif dalam novel itu. Sebagai novel pesanan, otomatis ide, tokoh dan seting cerita yang tersaji dalam novel adalah hasil eksplorasi dari kehidupan tokoh menurut pemesan. 

Menurut pengakuan Akmal, ide awal novel ini berasal dari keinginan mantan sekretaris Ical yang ingin memberikan kado khsusus untuk ulang tahun si bos. Terpikirlah rencana penggarapan novel yang ditawarkan kepada dirinya. Melalui banyak narasumber yang membantu mengingat masa-masa kecil Ical, Akmal rajin mengumpulkan data-data yang dapat menguatkan kisah hidup Ical kecil, khususnya saat di bangku TK dan SD. Menurut Akmal dalam akun twitter-nya “wawancara dg belasan teman TK dan SD, ARB di Yayasan Perwari seperti menggali data arkaik yg susah-susah gampang.” 

Publik semakin percaya bahwa novel ini benar-benar diproyeksikan untuk si bos kaya raya itu, khususnya setelah Bakrie ikut menghadiri undangan launching novel, yang ditengarai menjadi acara launching buku paling mewah sepanjang sejarah Indonesia, di Museum Nasional, 28 Januari 2012. Untuk merayakan isu yang sudah meluber ini, salah satu komentar yang banyak mendapat tanggapan adalah ketika tokoh sastra penting negeri ini, Goenawan Muhamad, ikut memberikan komentar secara elegan. Salah satu komentar di akun twitter-nya tampak parabel dan bijak: “sore ini saya teringat kata-kata Sanusi Pane di awal 1930-an: kesusastraanku bukan barang yang bisa dipesan. 

Kali ini saya tidak hendak membahas isi novel ASB. Kalau kita ingin membahas tentang isi novel, yang jelas pengarang dan semua gosip proses kreatif yang melatarinya harus dipisahkan dan secara profesional kita harus taat kepada teks yang tersurat/tersirat di balik isi novel tersebut. Sikap ini adalah untuk menunjukkan posisi saya dalam mendiskusikan wacana novel ASB ke depan publik. Karena bagaimanapun juga, karya sastra tidak akan luput setidaknya dari dua hal: pertama, diskursus kesastraaan (politik, budaya, ekonomis, dll) dan yang kedua karya (teks) karya sastra itu sendiri. Pada kesempatan ini, saya mengambil poin yang pertama.

Sastra (yang) Mati

Kecelakaan terbesar karya sastra adalah ketika sastrawannya mengingkari nuraninya sendiri. Sehingga karya sastra bisa dengan mudah lahir melalui hasil deal proyek dan pesanan penguasa ataupun korporasi untuk mengekalkan status quo. Dalam kondisi seperti ini, karya sastra bisa dikatakan sudah mati karena para sastrawan yang memperjuangkan nilai-nilai luhur di balik tugas kesusastraannya sudah lumpuh, terkoptasi oleh kepentingan picik sesaat. Sastra mati ketika karya sastra tidak lagi menyuarakan tentang nilai-nilai kemanusiaan, tugas keberadaban dan keniscayaan tentang eksistensi manusia sebagai makhluk sekaligus khalifah di muka bumi.  

Bila karya sastra sudah berada dalam pesanan, dalam pengaruh orang besar ataupun penguasa yang bertentangan dengan nilai-nilai humanisme universal, pada saat itulah karya sastra sudah menjadi sengkurat mencekam yang merontokkan nilai-nilai luhur karya sastra itu sendiri. Di situ sastra sudah tidak mempunyai nilai apa-apa lagi selain menjadi medan pelacuran yang bisa dipesan kapan saja. Gampanganya, sastra sudah berselingkuh dengan kekuasaan dan sarat pergunjingan politik. 

Pada dasarnya, karya sastra mempunyai tugas liberasi, pembebasan terhadap segala bentuk penindasan, kejumudan, kejahiliyahan dan kekejaman di zamannya. Tugas kemanusiaan ini bagi Montaigne disebut concern with the dignity of man (Burke, 1981) dengan menunjukkan bahwa kemanusiaan mempunyai nilai teratas di atas segalanya. Kita bisa menilik sedikit sejarah sastra dunia bagaimana ketika Maxim Gorki (1868-1936) dengan spirit realisme sosialis memrotes secara terbuka cara Lenin berkuasa; Mark Twain (1835-1910) yang secara terang benderang menentang perang Amerika terhadap Vietnam; Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) ataupun W.S Rendra (1935-2009) yang secara tekun mengkritisi kekejaman penguasa; dan yang terbaru adalah Orhan Pamuk (1952- ) yang secara lantang berteriak tentang suku Kurdi yang dibabat habis oleh pemerintah Turki. 

Dalam konteks ini, upaya yang diperjuangakan Kuntowijoyo sejak era 1980-an menemukan relevasinya dalam mengamalkan sastra sebagai proses pembebasan melalui konsep sastra ptofetik, yaitu sastra yang mengandung emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi mungkar), dan transendensi (iman billah) (Kuntowijoyo, 2006). Memang tidak semua kita sebagai bangsa yang majemuk bisa menerima ketiga hal tersebut, tetapi bahwa emansipasi dan liberiasi adalah tugas kemanusiaan kita demi menjunjung kehidupan yang humanis. 

Yang sangat relevan dalam konteks perdebatan kita kali ini adalah cuplikan adigium terkenal dari John F. Kennedy yang mengatakan “When power leads man toward arrogance, poetry reminds him of his limitations. When power narrows the area of man's concern, poetry reminds him of the richness and diversity of existence. When power corrupts, poetry cleanses.” Jelas sekali bahwa karya sastra mempunyai tugas mulia yang sama sekali jauh dari hiruk-pikuk jual beli dan pesanan. Karya sastra yang disinggung Kennedy adalah karya yang lahir dari proses perenungan yang memadai, kontemplasi utuh, dan proses sublimasi dari realitas sosial di sekitarnya. 

Lalu, di manakah harga sastra? Ini pertanyaan penting terkait novel ASB. Saya tidak habis pikir bagaimana bisa karya sastra berkompromi atau bahkan “mengampanyekan” sosok kontorversial di mata banyak orang. Bagaimana ARB diangkat untuk menjadi sosok inspiratif, seperti laiknya novel populer yang sedang membengkak di negeri ini dalam 5 tahun terakhir, sementara faktanya Ical adalah sosok patologis dan pembunuh harapan banyak manusia di Porong? Siapa tidak tahu kasus lumpur Lapindo yang hingga hari ini masih terkatung-katung, begitu juga nasib ribuan manusia di sana: terlantung-lantung! Apakah sastra mengabsahkan cara dengan mendustai hati kemanusiaan dengan berpura-pura buta terhadap tangisan kemanusiaan itu sendiri?

0 comments: