Sunday, February 24, 2013

Pemuda dan Gerakan Terorisme

Digunting dari versi cetak di Jurnal Nasional

TERORISME telah menjadi masalah krusial bagi sebuah bangsa yang konon tidak pernah bisa dihapuskan. Seberapa jauh keterlibatan pemuda dalam gerakan terorisme di Indonesia? Kita bersama-sama sudah menyaksikan bagaimana peran pemuda dalam menyokong aksi-aksi terorisme. Fenomena ini tentu harus kita perhatikan secara saksama karena pemuda diakui sebagai tulang punggung masa depan bangsa.

Saya ingin menyebutkan beberapa aksi terorisme yang melibatkan banyak pemuda dalam usia produktif. Lima tahun terakhir, daerah yang paling marak menjadi target teror adalah Jawa Tengah (Solo dan sekitarnya). Setidaknya, ada Fajar Novianto (18) dan Angri Pamungkas (18) yang ditangkap di Kalimantan. Mereka adalah pemuda dalam arti yang sebenarnya dengan merujuk pada definisi PBB tentang pemuda, yaitu persons between the ages of 15 and 24.

Sementara itu, ada beberapa generasi di atasnya yang tergolong muda seperti Indra Vitriyanto (25), BNS alias Wawa (26) dan IF (30) yang ditangkap di Laweyan dan Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Fajar dan Angri pernah tinggal di Kampung Batikan, Kelurahan Bumi, Kecematan Laweyan, Solo (Kompas, 25/9/12).

Masih segar dalam ingatan ketika Dani Dwi Permana (18) meledakkan diri di hotel JW Marriott, 17 Juli 2009. Dua tahun berselang, 15 April 2011, di Masjid Az-Zikro, Mapolres Cirebon, M Syarif (32) menjadi pengatinnya. Beberapa bulan setelahnya, giliran Ahmad Yosepa Hidayat meledakkan diri di Gereja Bethel, Kepunton, Solo, 25 September 2011.

Dalam lima tahun terakhir, fenomena terorisme mulai mengangkrabi usia-usia produktif dan bahkan pemuda. Akar utama semua itu adalah proses doktrinasi radikal yang berhasil ditanamkan oleh jejaring teroris untuk mengelabui generasi muda. Ideologi palsu yang dicekokkan itu pun pelan-pelan menguasai kesadaran mereka sebelum kemudian benar-benar menjadi aktor di lapangan.

Doktrinasi Radikal

Saya sepakat dengan adagium bahwa “radikalisme sebelum terorisme‘. Proses radikalisme di kalangan pemuda biasanya dilakukan melalui doktrin yang disampaikan lewat rekrutmen tertutup ataupun khalaqah-khalaqah yang biasa dilakukukan oleh kelompok penebar paham radikal.

Proses radikalisasi melalui doktrinasi ini kemudian menyublim dalam pemahaman pemuda sehingga, dalam hatap tertentu, menjadi ekstrem dan bahkan “ekstrimis‘. Ketika mereka sudah menjadi sosok ekstrimis, hanya menunggu waktu untuk menyaksikan bagaimana mereka melakukan aksi-aksi kebencian terhadap kelompok lain, dan identitas dalam konteks terorisme Indonesia akhir-akhri ini.

Proses doktrinasi adalah kunci awal sebelum merambah ke ranah tindakan di lapangan. Di sini pemuda menjadi sasaran paling diburu. Saya pernah melakukan penelitian untuk mengukur sejauh mana peran doktinasi suatu organisasi pemuda Islam dalam membetuk tindakan sosial mereka sehingga menjadi ektremis dan radikalis dalam memahami dan memraktikkan nilai-nilai agama Islam.

Penemuan penting yang bisa didiskusikan di sini adalah peran tokoh dan iklim yang dibuat, yang kemudian makin mengentalkan penerimaan mereka terhadap proses doktrinasi tersebut. Terbukti, suatu organisasi pemuda yang mempunyai tokoh pluralis atau tokoh yang setidaknya mempunyai pemahaman bagus tentang nilai-nilai agama dalam aspek sosial memberikan banyak pengaruh terhadap inklusivitas pemikiran dan tindakan kader-kadernya.

Begitu juga sebaliknya. Ketika tokoh dan iklim yang dibuat dalam sebuah organisasi adalah eksklusif dan bahkan tidak menerima atau membuka dialog dengan orang/kelompok di luar lingkarannya, konsekuensi logis yang harus diterima adalah paradigma “kacamata kuda‘, alias benar sendiri.

Jadi, aspek organisasi dan komunitas bagi pemuda sangat menentukan pola pikir dan tindakan mereka di masa depan. Semakin mampu memfilter dan berada di luar (menjaga jarak kesadaran terhadap) false ideolgies--apa pun bentuk organisasinya--makin mampu menempatkan dirinya secara logis dan profesional dengan berpijak pada pengetahuan dan pertimbangan yang matang menurut akal sehat. Sayang sekali jika pemuda terpengaruh untuk berada dalam satu bingkai “ideologi‘ tanpa pernah mau menjajaki aspek-aspek pemahaman dan nilai-nilai organisasi atau komunitas lain.

Sebagai komparasi kita bisa menengok hasil penelitian di India yang dipresentasikan dalam acara konferensi internasional bertajuk Youth on Terrorism di Malaysia, 26-27 Februari 2009. Pemuda di sana, menurut Andreas Healthy Marwein, melakukan aksi serangan terorisme karena tiga hal.

Pertama, karena mereka muda, dinamis, dan kuat. Kedua, karena frustrasi, masalah tak terselesaikan dan tidak mempunyai determinasi terkait keputusan. Ketiga, karena problem laten yang menyesatkan (dari negara) seperti minimnya lapangan kerja, pendidikan amburadul dan fenomena “salah jalan‘ (misguided) karena faktor-faktor eksternal seperti ormas-ormas yang “mencelakakan‘ dan doktriner yang menyesatkan.

Propaganda Media

Gerakan terorisme di Indonesia memang tidak secara kentara menguasai media konvensional. Tetapi, mulai banyak media yang secara terselubung menanamkan propaganda di balik insiden aksi-aski terorisme. Media-media yang mempunyai “ideologi terorisme‘ seringkali mengekspos berita dan insiden gerakan teror secara bias, atau bahkan sering menghadirkan pembenaran-pembenaran dengan cara yang profesional.

Itu menjadi sebentuk invasi penguasaan kesadaran kepada publik. Jelas sekali bahwa peran media dalam membentuk dan mempengaruhi pola pikir pemuda sangat kuat. Selain itu, generasi muda saat ini menjadi pengguna internet aktif yang bisa menjelajahi sumber-sumber tadi secara bebas.

Ada tiga lingkaran setan yang perlu diperhatikan dalam pemberitaan media tentang tindakan terorisme yang disebut the vicious cycle: terorism‘‘media--news/incidents (Kalansooriya dalam Ramli, 2003: 26). Media berperan memproduksi berita, sementara jaringan terorisme semakin eksis melalui ekspos media dengan tujuan masing-masing yang sama--politik dan komersial.

Di pihak jaringan terorisme, tindakan dan insiden yang terjadi di lapangan adalah upaya publisitas sekaligus propaganda. Mereka sengaja mencari pemberitaan media atas tindakan-tindakan mereka. Maka itu, pemuda harus mampu menempatkan diri sekaligus kritis terhadap berbagai macam ormas ataupun publisitas media yang mempunyai tujuan politis masing-masing.

0 comments: