Sunday, April 19, 2015

Kisah Epik dari Pinggiran

Versi cetak tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 19 April 2015 

Tanggal 9 Desember 2014 silam novel baru Orhan Pamuk, peraih hadiah Nobel Sastra 2006, berjudul Kafamda bir Tuhaflık (Sebuah Keanehan dalam Pikiranku) terbit serentak di beberapa kota di Turki. Sebelum ini Pamuk sudah menerbitkan novel fenomenal berjudul Masumiyet Müzesi (Museum Kepolosan, diterjemahkan ke bahasa Inggris The Museum of Innocence oleh  Maureen Freely) tahun 2008 dan mendulang sukses sebagai buku laris di pasar internasional.

Dalam novel ini, Pamuk menurunkan tingkat kerumitan dalam hal teknik dan bahasa yang digunakan. Kita akan mudah menemukan percakapan sehari-hari gaya rakyat kecil biasa. Ini tentu bukan tanpa alasan, alih-alih melacurkan kualitas yang tertahkikkan pada karya-karya sebelumnya dan sekaligus mendapatkan tempat di pentas dunia, seperti misalnya Buku Hitam, Namaku Merah, Salju dan Museum Kepolosan. Sejak awal, dalam beberapa wawancara dengan media-media di Turki, Pamuk mengutarakan maksud kehadiran novel ini sebagai kisah cinta dan sekaligus epik modern (hem bir aşk hikâyesi hem de modern bir destan) yang dibingkai dalam perspektif orang pinggiran: dari rural ke urban dengan mementaskan tokoh utama bernama Mevlut, seorang vendor di metropolitan Istanbul.

Pamuk paham siapa Mevlut, seorang bocah yang baru lulus SD dari sebuah kabupaten bernama Beyşehir di provinsi Konya, daerah Anatolia Tengah yang datang ke Istanbul sebagai perantau. Kepolosan, keunikan, keterperangahan, dan bahkan keanehan (tuhaflik) dihadirkan secara ciamik oleh Pamuk demi mementaskan kehidupan urban dalam kacamata seorang penjual Boza. Mevlut merantau ke Istanbul di usia 12 tahun. Pagi sekolah, sore belanja yogurt dan barang-barang kebutuhan ke pasar, malam tepatnya selama musim dingin berjualan Boza.

Potret kehidupan anak desa polos dikemas dengan gaya humor proporsional. Novel ini paling jitu dalam aspek menyajikan humor dan selingan folklor paling topcer dari karya-karya Pamuk sejauh ini. Meski tak seganas Salju dan sekeruh kisah cinta sentimentil ala Museum Kepolosan, novel ini mengoperasikan perjuangan cinta dengan kadar kepolosan seorang yang apa adanya. Pamuk benar-benar mempelajari hal-ihwal dunia keseharian rakyat jelata di Istanbul secara teliti: harapan dan mimpi, kultur dan perspektif keseharian, konflik dan perselisihan, semangat kerja dan kecurangan.

Kisah dimulai dengan proses penculikan seorang gadis tetangga desa Mevlut di Beyşehir. Mevlut menuliskan surat-surat cinta kepada Rahiya, gadis yang ditemuinya pertama kali dalam sebuah acara keluarga, selama tiga tahun. Durasi pertemuan singkat itu ternyata menumbuhkan benih cinta yang deras oleh sebab keindahan matanya. Ia tak tahu siapa nama gadis itu (karena tidak pernah berkenalan langsung) selain mendapatkan info dari Sulaiman, sepupu Mevlut. Dengan dibantu Ferhat dan sebuah buku contoh surat cinta berjudul En Güzel Aşk Mektupları ve Mektup Örnekleri (hal 150), Mevlut makin gencar mengirimkan surat-surat cinta kepada Rahiya. Bahkan ketika menjalankan tugas wajib militer (askerlik) di Kars, ia menyempatkan diri menuliskan surat cinta untuk pujaan hatinya (hal 157). Di usianya yang ke-25, tepat 17 Juni 1982, di sebuah malam yang gelap Mevlut berhasil menculik Rahiya, putri Abdurrahman Efendi, dengan bantuan Sulaiman. Malam itu pula Rahiya dibawa kabur ke Istanbul, tempatnya merantau sejak kecil, lalu dinikahinya.

Di Istanbul, kota yang menyatu sebagai lokus, habitus dan ruh kepenulisan Pamuk, cerita berkembang deras. Pamuk meminjam mata seorang Mevlut untuk melihat kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Istanbul. Setiap malam, di saat menjajakan Boza, Mevlut menemui aneka ragam kehidupan Istanbul: kultur dan emosi orang-orang kota, juga proses transisi dan transformasi dari tahun ke tahun. Ia menjadi saksi hidup atas transformasi kota Istanbul dari tahun 1968 hingga 2012 (sampai novel ini berakhir). Mevlut dan Boza adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bahkan ia berjanji di akhir novel ini: “ben kıyamete kadar boza satacağım (saya akan menjual Boza sampai kiamat)”.

Mevlut mondar-mandir dari satu rumah ke rumah lain, menemui banyak macam pelanggan dengan kultur dan ideologi masing-masing: kelompok pemuda laki-laki dan perempuan pemabok (hal 32), sekumpulan orang-orang usil dan pelit (38), gerakan dan konflik kelompok Islamis dan sosiolis-komunis (hal 101 & 110), jamaah organisasi Islam (283), dan kasus-kasus korupsi dan mafia (hal 385). Selain detail-detail tersebut, garis besar yang disajikan dalam novel ini adalah kehidupan miskin kota yang diwakili oleh Mevlut dan keluarganya juga teman-temannya yang tinggal di perkampungan kumuh (gecekondu) bernama Kültepe dan Duttepe, dua nama fiktif untuk daerah perkampungan perbukitan di Istanbul.

Detail kehidupan Istanbul terekam utuh di mata Mebvlut, hadir dibalik kepolosan, kejujuran dan keanehan-keanehannya. Misalnya, Mevlut bisa mengidentifikasi keluarga sekuler dan keluarga agamis (dindar aileler) melalui cara bagaimana mereka mempersilahkan Mevlut masuk ke rumahnya: apakah sandal bisa dipakai masuk rumah atau ditaruh di luar (hal 31). Agar tidak terjebak dalam kerumitan, novel ini mengambil jarak dari centang-perenang politik. Ketika ada sedikit konflik politik dimunculkan misalnya kudeta militer yang kerap berakhir tragis, kasus mafia listrik yang dilakukan Ferhat hingga tragedi pembunuhan Ferhat sendiri yang gelap dan berakibat Mevlut ditangkap polisi (hal 381) sebagai teman dekatnya, Mevlut terselamatkan oleh keluguannya yang tak ingin menahu hal-ihwal politik (ben siyasetten hiç anlamam) (hal 386).

Hal-hal kecil begini—renungan intens ihwal pergulatan rakyat kecil—justru menegaskan novel ini sebagai distingsi atas karya Pamuk yang lain. Keanehan yang menggelikan akhirnya muncul setelah Rahiya meninggal. Terbongkar fakta bahwa surat-surat cinta yang ditulis Mevlut sebenarnya dimaksudkan untuk Samiha, adiknya Rahiya sendiri, tapi Sulaiman salah maksud (hal 412). Akhirnya karena sama-sama sebagai duda dan janda, Mevlut dan Samiha sepakat untuk menikah (?). Sayang, pernikahan Mevlut dan Samiha terjadi di bagian penutup. Seandainya boleh meminta Pamuk meneruskan novel ini, pergaulan hidup yang konyol dan aneh dari pasangan tua yang baru ini akan menyeruak tak terampuni.

Akhirnya, dengan novel yang mencatat rekor karena menembus penjualan 180 ribu eksemplar dan naik cetakan ke-3 di Turki dalam sebulan, Pamuk telah lulus menghadirkan karya bermutu tetapi sederhana dan merakyat dengan logika populer kaum pinggiran dalam melihat transformasi kota Istanbul.

Sumber Foto: 1. Opik (Sumenep), 2. Faqih (Bali)

0 comments: