Versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional.
PADA satu kesempatan sekitar sepekan lalu, saya bersama teman dari komunitas Peace Generation
diundang oleh salah satu organisasi kemasyarakatan yang kedengarannya
masih baru namun ekspansinya cukup masif di Indonesia. Tujuan mereka
mengundang kami adalah untuk audiensi dan sharing tentang
kegiatan komunitas. Hal seperti itu menjadi salah satu kesenangan saya
di komunitas untuk berbagi dan mendapatkan teman baru dari komunitas
lain atau pun organisasi kemasyarakatan yang notabene dirayakan oleh
para pemuda negeri ini.
Sebagai perwakilan,
mereka menemui kami berjumlah lima orang. Semua masih dalam usia kepala
dua. Rata-rata masih kuliah dan baru lulus sarjana (fresh graduate).
Sementara kami cuma bertiga dengan tanpa mempersiapkan materi apa pun.
Namun, ormas yang menamakan diri Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ini
ternyata sudah mempersiapkan sebuah presentasi lengkap dengan salinan power point pada sebuah laptop.
Terhelatlah presentasi di depan kami sekitar 20 menit dengan memaparkan
sejarah, visi-misi, landasan, dan program kerja ormas Gafatar.
Presentasi Gafatar di salah satu Cafe UGM |
Selama presentasi, ada beberapa kejanggalan sumber-sumber ilmiah yang
mereka bawakan. Selain itu, ada fakta sejarah yang mereka sendiri tidak
bisa menjelaskan secara detail kepada saya, khususnya ketika mereka
menyebutkan “nubuat para nabi‘ sebagai landasan sejarah
gerakan. Dalam nubuat itu, tersuratlah nama Abraham. Ketika saya tanya
tentang siapa si Abraham, presenter tadi coba mengalihkan kepada topik
lain, dan sekali-kali dia meminta saya googling sendiri di internet.
Ketika saya tanya siapa tokoh kuat yang ada di balik Gafatar, kelima
perwakilan ini seolah tak bergeming, atau bahkan menyembunyikan sesuatu.
Mereka hanya menyebutkan satu nama tokoh mereka secara tidak percaya
diri. Saya semakin gusar pada ormas yang baru berdiri 14 Agustus 2011
ini, sehingga selepas dari pertemuan itu saya cepat-cepat searching di internet untuk menyingkap siapa sebenarnya mereka.
Saya sangat terperanjat ketika menemukan beberapa sumber yang
menyebutkan identitas dan sejarah mereka. Ternyata di internet,
pemberitaan tentang Gafatar ini sudah menyeruak di seantero Indonesia.
Untuk ukuran ormas yang masih berusia setengah tahun, ekspansi mereka
hingga ke berbagai provinsi di Indonesia sungguh fenomenal. Saya hanya
curiga, sebelum menjadi Gafatar, benih-benih gerakan ini sudah pernah
masif sebelumnya. Meski tidak langsung percaya terhadap sumber-sumber
itu, secara pribadi saya perlu mewaspadai pergerakan ormas-oramas yang
akhir-akhir ini begitu mudah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
Hasil jepretan ga niat |
Tengok surat pembaca yang dimuat di situs http://nahimunkar.com yang menceritakan tentang
pergerakan Gafatar di berbagai daerah, termasuk di Palembang. Bahkan
surat pembaca ini terang-terangan menyebutkan bahwa Gafatar adalah nama
baru dari Komar (Komunitas Millah Abraham), dan sebelum bernama Komar
mereka bernama Al-Qiyadah Islamiyah dengan tokoh Ahmad Musadeq yang
divonis hukuman penjara selama lima tahun sejak 2008 karena mengaku
sebagai nabi.
Bukan hanya itu, ormas ini sudah
terang-terangngan ditolak oleh masyarakat Gowa karena dianggap
meresahkan warga. Uniknya, ketua umum Gafatar sekarang, Mahful Muis
Tumanurung, adalah mantan Ketua Al Qiyadah Al Islamiyah wilayah Sulawesi
Selatan (Makasar). Sementara jajaran pengurus yang lain seperti Wahyu
Sandjaya (wakil ketua umum), Berny Satria (sekjend), dan Muchtar Asni
(bendahara umum) adalah daftar pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah
terbaiat.
Dalam konteks ini, saya tidak hendak
mengutuk atau pun berprasangka miring terhadap ormas apa pun yang secara
legal ada di bawah negara. Sebagai negara penganut demokrasi, Indonesia
sudah menyediakan undang-undang yang mengatur setiap organisasi
kemasyarakatan, seperti tersurat dalam UU No 8 Tahun 1985. Namun begitu,
saya hanya ingin mengajak teman-teman pemuda negeri ini agar bersikap
kritis dan cerdas terhadap berbagai doktrin dan ideologi pergerakan yang
akhir-akhir banyak tumbuh. Karena kritisisme pemuda--yang berbasis ilmu
pengetahuan--sangat menentukan kualitas pilihan hidup mereka ke depan,
baik dalam politik, sosial, ataupun ekonomi.
The Death of Criticism
Mengingat mereka yang menemui saya adalah para pemuda yang mempunyai
masa depan cemerlang untuk membangun bangsa dan negara, saya mulai
mengkhawatirkan generasi muda negeri yang mulai mudah dimasuki ideologi
yang berseberangan dengan cita-cita Pancasila dan kemerdekaan Republik
Indonesia. Saya patut menengarai bahwa sikap kritis dan pencarian
identitas pemuda saat ini mulai rapuh digerus pragmatisme dan sikap
instans demi mendapat hasil yang berlimpah. Sehingga proses ilmu
pengetahuan begitu terlalaikan.
The death of criticism ini
bisa dilihat mulai dari cara-cara kaum pemuda dalam menjalani cita-cita
mereka dengan mendahukan hasil daripada proses. Proses berdarah-darah
melalui pembelajaran dan pembacaan intens terhadap realitas sosial demi
menumbuhkan sikap kritis sudah mulai ditinggalkan.
Indikasinya bisa dilihat mulai di dunia kampus di mana dunia diskusi,
kajian, dan penelitian perlahan mulai ditanggalkan. Padahal, membaca,
diskusi, bertanya dan terjun ke lapangan dengan melakukan penelitian
adalah diskursus utama dunia kampus yang bisa mencetak mahasiswa tangguh
di masa depan. Fenomena the death of criticism perlahan menjadi salah satu pangkal serius merebaknya the death of knowledge yang sejak tahun 1990 mulai menjadi diskursus di kancah intelektual Eropa dan Amerika.
Untuk itu, sikap kritis mahasiswa saat ini harus dibangun dengan
memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Ruang-ruang baik fisikal
ataupun imajiner bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan kritisme. Selain
itu, ruang-ruang terbuka tersebut harus dimanfaatkan sebagai sarana
pembangunan kreativitas. Bukti-bukti brain washing yang
dilakukan oleh NII misalnya harus dijadikan pembelajaran serius agar
pemuda terhindar dari pengaruh-pengaruh doktrin ideologi yang
bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan negara.
0 comments:
Post a Comment