Sejak kecil, kata TKI sangat dekat dengan kehidupan saya dan kampung di sekitar rumah. Jadi tak aneh kalau saya selalu menyebut TKI sebagai komoditas paling assoy bagi pemerintah Indonesia. Bagaimana tidak, saya sudah berusia kepala dua--berarti sudah 20 tahun lebih orang-orang di kampung saya jadi TKI--dan persoalan TKI tidak pernah berubah. Beres pun tidak. Alih-alih selesai.
Pada suatu kesempatan, saya selalu mendapati orang-orang dengan muka baru di sekitar rumah, ada yang famili sendiri ataupun tetangga dekat. Dan seperti biasa, sebagai anak kecil yang sukanya hanya ke ladang bermain layangan, saya mengobrol dengan Ibu.
"Pak Liam dateng dhari dimma, Puh?" (Bapak Liam datang dari mana, Ibu?)
"Aroa puru dateng dari Malaysia." (Dia baru datang dari Malaysia).
Di kesempatan lain, saya kembali menjumpai sosok baru dan tidak akrab di area/ladang biasa kami bermain.
"Jriye sapa, Puh?" (Dia siapa Ibu?).
"Jriye anakna Ke Liamma. Riwan, taretanna be'en." (Dia anaknya Kakek Liam. Riwan, saudaramu).
Aih, ternyata kedua orang tadi adalah paman sepupu saya sendiri yang sejak aku kecil memang tidak ada di kampung karena memilih menjadi TKI. Ternyata, dari hari ke hari, seiring saya besar di kampung, TKI-TKI illegal rata-rata menjadi jalan pintas ketika di kampung saya paceklik.
Syahdan, waktu sudah berjalan lama, hingga hari ini. Hampir tak ada berita yang beres dan bersahaja dalam persoalan TKI. Ada yang dibunuh lah, dibakar lah, ditembak lah, disiram air keras lah, diperkola lah, dll.
Sebenarnya saya paham bahwa masih banyak persoalan TKI yang bagus dan beres. Tapi rata-rata negara ini tidak becus mengurus TKI. Negara ini hadir hanya untuk mengumpulkan fulus-fulus divisa mereka. Ketika giliran nyawa mereka terancam, negara mlempem seperti nasi basi!
Saya tidak mengerti ketika kesalahan yang sama kita ulangi terus-menerus.
Saya masih ingat suatu waktu bulan Juni 2011 ketika salah satu TKW dihukum pancung di Arab dan negara tidak sampai melindunginya. Nah, di saat yang sama, saya sedang ada kesempatan kunjungan belajar ke beberapa komunitas dan universitas di Australia di mana waktu itu masyarakat Aussie sedang ramai mengutuk dan demonstrasi menentang tindak kekerasan terhadap sapi yang mereka ekspor ke Indonesia. Ingat, nyawa sapi lho.... BUKAN MANUSIA. Kalau di Aussie masalah kekerasan terhadap sapi saja begitu santer jadi headline media masaa--terlepas ada kepentingan komoditas politik waktu itu--bagaimana sikap penghargaannya terhadap nyawa manusia? Saya benar-benar terdiam.
Catatan saya soal kasus kekerasan sapi ini saya tulis sebelumnya di sini.
0 comments:
Post a Comment