Friday, April 06, 2012

Peace Power vs Demonstrasi Anarkistis

versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional
 
MENGIRINGI rencana kenaikan harga BBM, demonstrasi dari berbagai kalangan (mahasiswa, buruh, ibu tumah tangga, dan bahkan dari partai politik) tumpah ruah di mana-mana. Seperti biasa, demonstrasi tersebut kemudian banyak berujung bentrok dan rusuh, dan masih ada yang sampai melakukan penjerahan (seperti terjadi di Makassar). 

Naifnya, demonstrasi rusuh telah melekat dan berulang-ulang hampir setiap aksi protes yang kebanyakan dimotori mahasiswa, kelas kaum terdidik bangsa ini. Padahal, di waktu bersamaan sikap antipati dan kritikan terhadap aksi demo dengan kekerasan mulai santer disuarakan oleh rakyat sipil sendiri. Ini jelas menyuratkan pesan bahwa demonstrasi yang menjelma pentas kekerasan dan rusuh adalah tindakan yang tidak diinginkan oleh rakyat banyak.

Apakah perubahan, atau revolusi yang selalu didengungkan oleh mahasiswa saat berdemo, hanya didapatkan melalui demonstrasi rusuh? Ini pertanyaan penting untuk melacak ideologi anarkisme demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini. Tahukah mahasiswa--atau demonstran yang saat ini sedang panas di jalanan--bahwa cara-cara nirkekerasan telah membuka mata dunia dan meruntuhkan rezim totalitarianisme?

Demonstrasi dengan cara elegan, santun dan damai adalah bentuk aksi yang sangat urgen dalam konteks Indonesia saat ini. Aspirasi massa seperti demonstrasi harus terus berjalan sebagai koreksi dan perlawanan atas kebijakan pemerintah yang antirakyat, dan cara-cara damai yang dipilih untuk menyuarakan aspirasi tersebut justru akan menyedot simpati publik banyak.

Sebelum teman-teman mahasiswa terus terlena mengambil satu ranah pembacaan dan pemahaman ideologi gerakan anarkirme, teori konflik, ataupun revolusi kelas yang berakar dari ideologi Marxisme, atau gerakan perlawanan yang dilakukan Che Guevara, Fidel Castro, dan people power di Filipina (1986) ataupun di Indonesia sendiri pada Era Reformasi (1998), ada baiknya preferensi bacaan tentang ideologi gerakan perlu diperluas ke ranah soft power ataupun peace power yang sama-sama melahirkan gerakan dan perubahan besar dalam sejarah dunia. Gerakan ini telah menawarkan cara berbeda dalam menggerakkan kesadaran sejati untuk melahirkan perubahan sosial yang sebenarnya.

Gerakan Peace Power

Untuk itu, mari kita belajar tentang kekuatan perdamaian yang telah menjadi gerakan kemanusiaan terbesar dalam sejarah umat manusia. Gerakan yang ditunjukkan para nabi dalam melawan barbarianisme pada masa silam adalah satu bukti yang tidak bisa terhapuskan. Saya mengedepankan teladan kenabian karena negeri ini dikerumuni oleh manusia-manusia beragama yang sejatinya bisa mencontoh sejarah gerakan yang sudah dilakukan oleh utusannya masing-masing.

Selanjutnya, mari kita tilik bagaimana peace power, sebuah strategi untuk membangun budaya damai tanpa kekerasan dan ancaman, dipraktikkan di zaman modern. Gerakan ahimsa (antikekerasan) yang dipelopori Mahatma Gandhi adalah gerakan perlawanan yang menggunakan kekuatan perdamaian demi kemerdekaan India. Awalnya Gandhi memang berjuang sendiri untuk membuktikan bahwa jalan yang diperjuangkan akan melahirkan perubahan yang lebih baik untuk rakyat Hindustan. Dia tak peduli gonggongan anjing di tengah jalan perjuangan demi humanisme universal.

Akhirnya terbukti, kekuatan gerakan nirkekerasan cara Gandhi kemudian menghasilkan perubahan besar dengan membebaskan Hindustan dari cengkraman penjajahan Inggris Raya. Gandhi pun telah menjadi inspirasi banyak orang dalam meretas suatu gerakan sosial dengan demonstrasi damai seperti: Martin Luther Jr, aktivis antirasis di Amerika, dan Nelson Mandela, anti-apartheid dan pejuang kemerdekaan Afrika Selatan.

Contoh lain ditunjukkan Myanmar hari ini. Aung San Suu Kyi secara sabar terus merongrong dan menghabisi pemerintah junta militer dengan kritikan dan aksi demonstrasi melalui kekuatan-kekuatan seadanya yang digalangnya dengan cara-cara nirkekerasan. Awalnya Suu Kyi sendiri dan hanya didukung beberapa orang yang berdiri untuk prodemokrasi di negaranya. Namun setelah lebih dari 15 tahun, aksi protes yang dia lakukan dengan cara elegan dan bermartabat, simpati rakyat Myanmar pun tumbuh untuk bergabung, menyatukan spirit kritisisme dan gerakan yang sama melawan junta militer dan otoritasianisme yang diasuh oleh negara.

Pendekatan aksi dan demonstrasi Suu Kyi dengan memanfaatkan peace power bisa dilihat hasilnya hari ini: junta militer sudah mulai kehilangan dukungan dari rakyat. Di tengah dukungan banyak rakyat, Suu Kyi berdiri sebagai penyanggah tonggak demokrasi bagi negaranya, dan dia siap bertempur dalam pemilihan umum Myanmar sebagai calon anggota parlemen, 1 April lalu.

Contoh kekuatan massa yang ditunjukkan melalui aksi protes dengan damai di atas adalah suatu gerakan murni yang lahir dari proses kesadaran-mendasar kemanusiaan, tanpa ada tunggangan, transaksi jual-beli, dan politisasi kelompok-berkepentingan. Mereka menegasikan dirinya sebagai agen kemanusiaan yang menjunjung nilai-nilai kebebasan sebagai warga negara yang berdaulat. Gandhi, Suu Kyi, Martin Luther, dan Mandela berdiri di garis demarkasi hati nurani mereka sendiri. Karena prinsip perjuangan dan protes dengan cara elegan itulah nama dan gerakan mereka tetap harum dikenang masa.

Maka itu, identitas “kaum terdidik‘ yang melekat pada mahasiswa harus difungsikan sebagai proses transformasi-dialektis tentang kesadaran internal yang kritis dalam bersikap dan berdemonstrasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai integritas yang elegan. Cara berdemonstrasi yang kemudian menjadi pentas tindak kekerasan akan mereproduksi tindak kekerasan lainnya, dan begitu seterusnya.

Selain itu, simpati publik harus kembali dibangun oleh aktivis mahasiswa sekarang. Karena mereka sudah merasa dicederai oleh aktivis sebelumnya, khususnya setelah peristiwa 1998, di mana banyak aktivis pergerakan yang ketika berada di puncak elit pemerintahan tiba-tiba berubah menjadi sosok oportunis.

0 comments: