Versi cetak tulisan ini bisa diakses di Suara Karya
Kekerasan komunal dari hari ke hari semakin mencekam
di bumi pertiwi. Kekerasan tipe ini sebenarnya menjadi bagian dari serangkaian
praktik kekerasan yang tak kunjung tertangani secara baik. Papua sekarang
kembali bergolak dengan berbagai macam modus kekerasan di sana. Sementara itu, konflik
dan kekerasan yang terjadi sebelumnya tak penah tertangani secara tuntas,
misalnya konflik Mesuji dan Bima yang menjadi bukti tentang wabah kekerasan
yang sebenarnya belum pulih. Kekerasan kita adalah kekerasan yang terus bereproduksi
dari kekerasan laten yang mendera sedemikian lama negeri ini. Karena negeri ini
secara skeptis pernah disinggung oleh Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (2002)
sebagai “negara kekerasan” (violent
country).
Saya paham kenapa dua peneliti dari Belanda itu mengklaim Indonesia sebagai violent country. Salah satu indikator kuat yang bisa ditengarai sebagai bukti adalah munculnya kekerasan yang tidak pernah tuntas ditangani baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Kekerasan yang tumpah ruah dan dibiarkan tidak dicarikan jalan keluar (solusi) yang non-violence (nir-kekerasan) akan menabung dan mereproduksi benih kekerasan baru yang suatu saat nanti bisa lahir. Karena sikap permisif terhadap kekerasan sama saja dengan membiarkan kekerasan itu beranak pinak.
Contoh sederhana yang perlu diperhatikan secara
serius adalah kasus kekerasan yang ditengarai sebagai kekerasan komunal
terhadap kelompok Syiah di Sampang. Dalam konteks ini, kita belum clear ada masalah apa sebenarnya yang
terjadi di sana. Media mem-blow up secara
gelegar tentang pembakaran terhadap pondokan kelompok Syiah. Sementara berita
yang berkembang di masyarakat lokal Sampang Madura sendiri menganggap bahwa
masalah mereka tidak seglamor dan seseram yang diberitakan media massa. Mereka
bahkan menganggap kasus Sampang adalah kasus keluarga yang penanganannya tentu
lewat cara-cara kekeluargaan dan lokal setempat pula.
Untuk memastikan itu, minggu kemarin (04/1) saya
datang ke Sampang. Saya sengaja menggunakan pendekatan rekam jejak kasus dari persepsi
dan ingatan masyarakat setempat tentang konflik mereka sendiri. Dari banyak
orang yang saya tanyakan mereka mengatakan bahwa konflik di Sampang adalah konflik
keluarga. Menjadi besar dan sampai membakar pemondokan karena dua belah pihak
sama-sama mempunyai massa. Padahal, anatomi konflik dan kekerasan di Madura
secara umum cukup mudah untuk diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Artinya,
masyarakat lokal, seperti di Sampang Madura, mempunyai proses imunitas terhadap
luka (kekerasan) yang terjadi secara natural di internal mereka. Konflik
semacam ini semakin kalut karena media dan orang ataupun kelompok yang
berkepentingan sama-sama memperparah situasi.
Kejernihan
Untuk itu, menghadapi konflik dan kekerasan komunial
yang terus bermunculan akhir-akhir ini harus memakai pendekatan purity, yaitu proses investigasi dengan
minimal asumsi tentang konflik dan kekerasan untuk mendapatkan kejernihan suatu
masalah. Kita hampir tidak memakai cara ini karena pendekatan resolusi konflik
yang sejauh ini berjalan adalah blowing-up
into public (terserubut publik) dalam situasi yang masih prematur, sebelum clear di internal. Di sini peran media
yang mengekspos secara berlebihan dan mengeksploitasi korban kekerasan adalah
bentuk lain dari mata rantai kekerasan. Dalam kondisi seperti ini publik seperti
bersama-sama menjadi hakim dengan cara mengutuk dan menggelindingkan isu secara
liar.
Satu sisi saya menyadar kondisi tersebut. Karena
kenyataannya pihak-pihak berwajib yang harus menjaga dan memelihara perdamaian
tidak hadir. Faktor negara yang lemah, tidak menjamin kenyamanan, keselamatan,
ketentraman dan kedamaian hidup rakyat banyak, tentu menjadi faktor ”resolusi
konflik ramai-ramai” yang dipraktikkan sejauh ini. Lihat misalnya bentuk-bentuk
simpati yang secara kilat ditunjukkan rakyat ketika mereka menemukan
ketidakpuasan terhadap sikap kekerasan yang dilakukan oleh negara, atau sikap
ketidakadilan yang ditunjukkan oleh lembaga hukum.
Bentuk-bentuk ”pengadilan massal” yang melibatkan
komentator dan banyak tangan seperti itu sebenarnya bukan cara yang baik dalam
resolusi konflik. Penyelesaian konflik harus dilihat secara komprehensif,
integratif, dan akomudatif dengan prinsip nir-kekerasan aktif. Namun, sikap
elegan seperti ini tidak akan terjadi bagi negara yang lemah (atau bahkan
gagak) dalam mengurus kenyamanan dan ketentraman rakyatnya. Indonesia menjadi
salah satu negra yang harus kita akui masih banyak keteteran dalam menangani
konlfik dan kekerasan. Saya sadar itu, karena negara tidak secara penuh
mendukung kedamaian dan kenyamanan hajat rakyat banyak. Namun negara memihak kepentingan
korporasi dan lembaga asing yang mendanai secara gelap oktom di kalangan elit. Jelas
sangat payah jika semua itu terus terjadi di negara kita. Karena harus disadari
sejak awal bahwa akar perdamaian—melalui proses peacebuilding—itu harus dimulai dalam tingkat grass roots, lokal masyarakat sendiri.
Peacebuilding di tingkat lokal harus segera dipraktekkan
dengan memberikan rasa aman, nyaman, dan tentram bagi mereka. Ancaman-ancaman
dalam bentuk apapun terhadap rakyat sudah harus dituntaskan sehingga rakyat
bisa menjani hidup secara normal dan harmonis. Ruang dialog dan aspirasi harus
dibuka secara lebar. Dalam kondisi demikian, secara bersamaan proses peacekeeping dengan pendekatan lokal
kita terus diselaraskan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat sendiri. Dalam
kondisi demikian, kekerasan komunal akan berkurang pelan-pelan karena
kepercayaan dan rasa kebersamaan sudah sudah terbangun.
Solusi
yang ditawarkan di atas adalah upaya menuju masyarakat yang mempunyai moral
kemanusiaan baik dalam praktik individu dan lebih-lebih dalam sosial. Untuk
sampai kepada kehidupan sosial yang mempunyai moral humanitas yang kuat merupakan
ikhtiar panjang kita bersama. Media pendukung seperti pendidikan mempunyai
peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai moral kepada setiap anak
didik. Melalui proses di dunia pendidikan nilai humanisme secara universal yang
berpijak kepada nilai identitas ketimuran dengan nuansa spritualitas religius
yang kental harus mulai diperhatikan. Pendidikan karakter seperti banyak
diinginkan banyak pihak menjadi salah satu alternaif demi penanaman karakter kepada
anak didik. Upaya ini diproyeksikan bagaimana nanti perdamaian yang lahir dari
kesadaran kemanusiaan dengan lingkungan sosial secara umum bisa berjalan
sinergi di muka bumi.
Secara spesifik
moral humanitas bisa tumbuh dari proses tradisi dan laku budaya yang telah menjadi
cirikhas kehidupan masing-masing bangsa dan negara. Namun terlebih dahulu,
untuk menciptakan moral humanitas yang berkelanjutan, diperlukan ruang publik (public
sphere) baik dalam artian verbal maupun non verbal yang memungkinkan
berkembangnya hubungan dan komunikasi positif antar sesama. Ruang tadi dimaknai
sebagai wahana berkembangnya wacana dan diskursus berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan
bersama, dimana tidak ada lagi ketakutan dan rasa frustasi menjalani hidup
bersama, karena negara telah memberikan ruang kebebasan ekspresi dan dialog
kepada warganya.
Dari itu nilai
perdamaian akan tersemai sebagai suatu, seperti dikatakan John Paul Lederach (1995) pengalaman alami, hadir
dalam semua budaya dan hubungan interakrif; terbentuk secara sosial sebagai
peristiwa budaya. Hal ini merupakan pengalaman dialektis yang penting di dalam
konstruksi tentang kenyataan sosial yang berjalan secara aktif dan dinamis.
0 comments:
Post a Comment