Jangan sekali-kali kau memercikkan darah karena darah yang terbercik itu tidak pernah tidur. -- Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193).
Di tengah proses resolusi konflik dan pendekatan perdamaian yang dilakukan oleh negara akhir-akhir ini, kita perlu membincang tentang peacebuilding (diterjemah: “binadamai"), sebuah terma yang mulai tidak asing di publik kita, meski penelitian yang komprehensif di bidang ini belum signifikan. Kita banyak bicara tentang resolusi konflik karena fokus dominan kita--sebagai bangsa yang terbelah kerena kekerasan dan konflik yang panjang di bawah imprealisme lalu kekerasan struktur di bawah rezim otoritarianisme--berada di ranah tersebut.
Satu dekade setelah reformasi adalah tahun kekerasan yang sangat marak di Indonesia: Maluku, Sambas, Sampit, Banyuangi, Aceh dan Papua--adalah sederet area konflik yang banyak memakan korban dan menyita konsentrasi penuh. Kondisi demikian yang kemudian banyak mengambil langkah resolusi konflik sebagai tren pendekatan perdamaian kita sejauh ini. Resolusi konflik dan rekonsiliasi harus terus berjalan, tapi jangan pernah lupa tentang proses peacebuilding di tengah luka lebam rakyat yang tergobang dalam kekerasan yang mencekam.
Peacebuilding sekarang harus menjadi alternatif dalam mempersiapkan suatu masyarakat yang damai ke depan. Karena peacebuilding adalah suatu proses panjang yang memakan kesabaran negara dalam konteks makro, dan komunitas masyarakat sendiri dalam konteks mikro, karena sejatinya peacebuilding membutuhkan partisipasi indigenous capacities untuk membentuk kultur perdamaiannya sendiri. Indonesia menurut saya harus menempuh proses mikro/meso peacebuilding mengingat indigenous capacities dan local wisdom menjadi potensi utama dalam proses pembentukan kultur damai (peace culture).
Mengenal Peacebuilding
Peacebuilding adalah istilah bahasa Inggris yang berasal dari dua kata, yaitu peace dan building. Secara etimologis, peace diartikan sebagai kondisi saat tidak ada lagi peperangan (no war) atau perkelahian/tawuran (fighting). Dalam pemahaman praktis, peace berarti bukan sekadar pax, dalam bahasa Romawi Kuno yang bermakna absentia belli, ketiadaan perang, tapi seperti adagium Martin Luther King bahwa “true peace is not merely the absence of tension: it is the presence of justice."
Peacebuilding menjadi istilah yang punya ragam pengertian yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang kajiannya, seperti para akademisi (scholars), pembuat kebijakan (policymakers), dan praktisi lapangan (field practitioners). Tetapi runutan historis peacebuilding bisa dilacak sejak lebih dari 35 puluh tahun silam ketika Johan Galtung tahun 1975 mencatut terma ini dalam karya pionernya berjudul Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding.
Dalam artikel ini, Galtung menegaskan bahwa “perdamaian mempunyai bentuk struktur yang berbeda, mungkin lebih dari/di luar [konsep] peacekeeping dan ad hoc peacemaking. Sementara basis gerakan peacebuilding secara inti bukan berhubungan dengan perilaku konflik tapi lebih menguak konteks dan tingkah laku yang dapat menimbulkan tindak kekerasan seperti akses yang tidak sama bagi pekerja, diskriminasi, prasangka (prejudice), mistrust, ketakutan, dan permusuhan antara kelompok (Simon Fisher, 2000: 14).
Observasi di atas kemudian menjadi titik awal bagi para intelektual dalam memahami peacebuilding: yaitu suatu usaha keras yang bertujuan untuk menciptakan sustainable peace dengan memperhatikan sebab-sebab akar (root causes) konflik kekerasan dan memanfaatkan kapasitas lokal (indigenous capacities) untuk manajemen damai dan resolusi konflik.
Pakar lain tentang peacebuilding yang bisa dipresentasikan adalah John Paul Lederach (2002), seorang akademisi penekun peace studies yang terkenal karena telah ikut memperkenalkan kepada publik tentang peacebuilding secara tekun. Lederach juga banyak bicara tentang transformasi konflik yang dinilainya sebagai pendekatan holistik dan multi-aspek dalam mengelola konflik kekerasan pada semua fasenya.
Dalam praktiknya peacebuilding, seperti ditulis Tim dalam The Ethics of Peacebuilding (Murithi, 1999), minimal mempunyai tiga cakupan: (1) macro-level peacebuilding, yaitu peacebuilding international, seperti dilakukan oleh PBB (meski praktik-praktinya cenderung peacekeeping semata); (2) meso-level peacebuilding, yaitu peacebuilding nasional dan subnational; dan (3) spektrum micro-level peacebuilding, suatu gerakan yang secara khusus masuk ke ranah riil dan spesifik dalam level grass roots (personal atau komunitas).
Peacebuilding dengan/melalui basis gerakan komunitas adalah cara yang perlu dicoba secara intens oleh stakeholders di lokal masing-masing dengan didukung secara serius oleh negara. Sebagai catatan, negara tidak perlu terlalu masuk, tapi negara berposisi sebagai penjamin semua keperluan dan keamanan selama proses tersebut.
Indigenous capacities adalah kata kunci penting bagi proses peacebuilding di Indonesia karena negeri ini terdiri dari ribuah pulau dengan beragam kebudayaan dan khazanah lokal yang melimpah. Khazanah lokal menjadi kunci utama dalam proses perdamaian internal dengan kapasitas lokal mereka sendiri, karena strukrtur masyarakat lokal mempunyai sikap dan bentuk resistensi dan defensi masing-masinig sesuai konteks dan corak lokal mereka.
Konteks seperti yang kerap dilupakan oleh stakeholder pemerintah kita, sehingga kecenderungan resolusi konflik dan rekonsiliasi mereka memakai cara-cara general dan common. Kasus seperti ini terjadi untuk Aceh dan terutama Papua, yang hingga hari ini masih menyisakan api dalam sekam yang terus membara.
0 comments:
Post a Comment