Yang
terhormat
Bapak
Dahlan Iskan
Mungkin
surat ini lambat saya tulis kepada Bapak. Tapi daripada tidak sama sekali, saya
lebih baik menuliskannya, mengiringi kesibukan dan aktivitas Bapak yang tak kenal lelah dan gigih demi perbaikan tanah pusaka ini ke depan.
Saya tidak mengerti kenapa ingin sekali menulis surat ini, selain saya bangga menyaksikan kegigihan Bapak yang menembus tembok-tembok bernama sistem dan mainstream. Dan saya semakin yakin menuliskan suara hati ini ketika saya mendengar ada kasus korupsi di balik pengadaan Al-Qur'an di Kemeneg. Kitab suci seakan-akan sudah tidak berarti lagi; nilai-nilai kebaikan sudah dilabrak; dan akal sehat sudah dicederai.
Sort of my village |
Saya tidak mengerti kenapa ingin sekali menulis surat ini, selain saya bangga menyaksikan kegigihan Bapak yang menembus tembok-tembok bernama sistem dan mainstream. Dan saya semakin yakin menuliskan suara hati ini ketika saya mendengar ada kasus korupsi di balik pengadaan Al-Qur'an di Kemeneg. Kitab suci seakan-akan sudah tidak berarti lagi; nilai-nilai kebaikan sudah dilabrak; dan akal sehat sudah dicederai.
##
Bapak
Dahlan, ini adalah tanah air yang harus diperjuangkan demi meraih cita-cita
kemerdekaan. Dan sosok seperti Bapak adalah sedikit orang yang mempunyai kesadaran
dan kemauan untuk memperjuangkan kemerdekaan itu. Saya yakin Bapak tahu betul
bahwa negeri ini belum merdeka, karena penjajahnya kini berkamuflase dari kalangan
bumiputra sendiri yang menjadi perpanjangan tangan asing. Dan penderitaan yang
sama seperti ketika masa penjajahan, warga negara yang kehilangan hak-hak
kewarganegaraan yang semestinya, masih saja menyandera mereka, rakyat kecil nun
jauh di sana, di luar pusat keramaian ibu kota. Lalu, cita-cita kemerdekaan
yang ditulis di Pembukaan Kitab Undang-Undang 45—ataupun yang terkandung dalam
filosofi negara ini: Pancasila—hanya menjadi menara gading yang mulai melepuh!
Bapak
Dahlan, tidak mudah melawan musuh dalam selimut, anak-anak negeri sendiri.
Lebih baik melawan penjajah dari negeri asing yang sudah jelas garis
demarkasinya. Mereka seperti penyamun di sarang buta. Mereka berjejalan di sekitar Bapak lho:
ada para koruptor, pengemplang pajak, dan penjahat-penjahat lain yang menggerus kekayaan Tanah Air ini. Menghadapi penjajah dari negeri sendiri adalah seperti menyantap buah simalakama—maju
kena mundur pun kena. Tapi itulah penjajah sebenarnya kita saat ini.
Sekarang
Bapak Dahlan berada di garis terdepan untuk menghadapi “musuh-musuh dalam
selimut” itu. Tapi Bapak tidak sendirian. Rakyat yang sudah sekian lama
menunggu ketulusan perjuangan demi bangsa dan negara akan bersama Bapak. Tetap
konsisten, Pak.
Saya
kadang berangan-angan bagaimana hebatnya bila negara ini punya pejuang-pejuang
baru seperti Bapak, sepuluh orang saja, yang menduduki posisi-posisi penting
sebagai simpul negara yang selama ini disumbat oleh para penyamun. Sebenarnya saya
yakin ada banyak orang hebat yang masih disimpan dalam kemurnian proses mereka
masing-masing. Semoga mereka besok segera lahir dan cepat menyelematkan negara
yang mulai dibayang-bayangi ancaman negara gagal.
Kebanyakan
para pengendara negara ini (apparatus
state) masih terjebak dalam halimun dan keremang-remangan. Ada yang bersih,
tapi tidak berani bertidak melawan mainstream
atau komprami dengan kejahatan berjamaah; ada orang yang sok reformis atau mereka yang tempo hari menjadi pejuang reformai,
tapi cuma ramai dalam omongan atau bahkan mereka terjerembab dalam praktik
busuk yang sama dari sistem sebelumnya; ada pula yang bertubuh gagah karena latar
belakang dirinya sebagai angkatan bersenjata, tapi justru ia tersandera
transkasi politik yang diobok-oboknya sendiri, dan bahkan nyalinya menciut; dan
masih banyak jenis-jenis manusia di negeri ini. Namun, sosok seperti Bapak saya
katakan sangat langka. Saya tahu Bapak sudah banyak melakukan gebrakan dan
perubahan “radikal” di setiap institusi yang Bapak singgahi: PT. PLN, dan lalu
sekarang BUMN. Perusahaan BUMN yang Bapak kendarai sekarang tentu menjadi tantangan
terbesar, karena di sana banyak sekali “hantu” bergentayangan, memanfaatkan
posisi jabatan, lalu menggerus habis kekayaan haram milik negara itu.
##
Nah,
yang saya maksud bahwa surat ini terlambat saya tulis untuk Bapak adalah karena
saya ingin bercerita tentang tugas Bapak di PLN, yang bisa dibilang sebentar
itu, belum menyentuh kampungku. Sambungan listrik di kampungku belum ada.
Masyarakat di sini akhirnya numpang pasang kilometer di rumah-rumah tetangga
desa sebelah yang jaraknya 2 km atau lebih. Mereka gotong royong membeli kabel
hanya demi menikmati sedikit fasilitas dari negara agar mereka tahu bahwa
negara Indonesia mulai berubah dan tidak stagnan (atau diam menuju mati)—meski cuma
dibuktikan dengan tempias aliran cahaya bernama listrik! Jangan sampai mengobrol
tentang jalan aspal. Itu mimpi berikutnya.
Padahal
beberapa tahun kemarin, Pak Presiden berjanji bahwa setiap kantor desa akan ada
sambungan internet. Aneh bukan? Sambungan listrik ada belum sampai, gimana mau
sambungan internet? Untuk kasus ini, saya sempat membuat tulisan lho Pak,
judulnya: “Di Kampungku, Ternyata SBY Pembohong”.
Kampung
saya Tanggulun, desa Montorna, kec. Pasongsongan, kab. Sumenep, prov. Jawa
Timur. Ini kasus terjadi di Jawa Timur lho, Pak. Lalu bagaimana dengan daerah-daerah
terpencil dari luar Jawa? Dan Indonesia itu besar bukan karena Jawa, bukan
karena Jawa!
Sebelum
sudahi ini, saya ingin berterima kasih karena Bapak sudah berkarya dan melakukan
yang terbaik untuk bangsa dan negara. Semoga tetap konsisten, Bapak.
Salam....
Bernando
J. Sujibto
2 comments:
tolong copy paste ke blog penggemarnya Pak DIs, mas. Di sana banyak orang yang bisa menyampaikan pesan ini ke Pak Dahlan langsung.
http://dahlaniskan.wordpress.com/
Oke terima kasih... biar nanti ku-link ke adminnya... semoga bisa saling share aja.
Salam hangat
Post a Comment