Versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional.
ADA yang menarik dari salah satu
cerita Pramoedya Ananta Toer ketika baru pulang dari Pulau Buru, penjara yang
telah tanpa pengadilan apa pun telah memupus hidupnya selama lima tahun. Cerita
ini perlu diangkat kembali karena relevan dengan karakter dan kebiasaan banyak
orang, khususnya para birokrat kita hingga hari ini di mana para elit birokrat
dan bahkan sampai ke tingkat pemerintah lokal di daerah selalu bermain-main
dalam kebohongan. Bagi Pram, seperti diceritakan kembali oleh Jalaluddin
Rakhmat (2004: 129), kalau kita ingin memahami pembicaraan orang Indonesia
(baca: pejabat Indonesia), maka rumus yang tepat adalah: x = bukan x.
Rumus tersebut berhasil
memberikan petunjuk kepada Pram yang pada suatu kesempatan, ketika tokoh
novelis sastra realisme-sosialis ini pulang dari Pulau Buru, tentara yang
membawanya menyapa: “Kamu akan dibawa langsung ke Jakarta,‘ Pikir Pram, “Pasti
ini dihentikan di tengah jalan.‘ Pram sudah berpretensi tidak beres dengan aparat
tadi. Prasangksa Pram menurut saya maklum karena sosok pejuang idealisme sastra
sosialis ini terbiasa mengalami hal demikian, mulai dari pelecehan ideologi
bahkan fisik. Ternyata benar. Pram diturunkan di Surabaya.
Jadi, secara praktis di lapangan,
sindir Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat, kalau ada pejabat
berkata, “Mari kita mengetatkan ikat pinggang kita dan hiduplah sederhana!‘,
pastilah pejabat itu sedang berusaha berfoya-foya dan hidup mewah dengan
kekayaan milik rakyat. Kenyataan ini memang sangat kontras dan bahkan lucu
ketika ditilik dalam perspektif kemanusiaan (khusunya citizenship).
Jelas ada yang salah secara moral
dan etika publik kita selama ini. Namun naf sekali jika kita sebagai rakyat
terus membiarkan permainan bodoh macam ini. Karena, kenyataan seperti itu
jelas-jelas sebagai praktik, meminjam bahasa Colin Crouch dalam buku Post-Democracy, commercialization of citizenship,
yaitu melakukan transaksi penipuan publik dengan tindakan kebohongan yang
terencana.
Contoh terbaru, dari sekian bukti
pemborosan yang sudah tidak terhitung, bisa didengar dari mulut anggota DPR
sendiri yang mengatakan agar pemerintah dan rakyat Indonesia hidup efesien dan
berhemat di tengah gonjang-ganjing kenaikan harga BBM, karena ancaman bobolnya APBN
sudah di depan mata karena beban subsidi yang tinggi. Namun begitu, praktik
yang dilakukan oleh mereka justru sebaliknya.
Sebutlah seperti biaya perawatan
rumah anggota DPR yang supermahal hingga mencapai Rp101 miliar, sementara
desas-desus yang diberitakan oleh media massa bahwa ternyata rumah itu tidak
dipakai secara efektif untuk kepentingan kerja. Tengok juga pelesiran ke luar
negeri yang tidak jelas substansi kepentingannya; renovasi ruang rapat yang
selangit; perbaikan lahan parkir motor tapi tidak efektif juga; anggaran untuk
kalender DPR yang tidak substansial sama sekali, dan tentu masih banyak yang
lain. Gaya hidup seperti ini terus melekat pada para pejabat publik kita.
Homo
Sovieticus
Dalam terma psikologi sosial,
pejabat kita bisa digolongkan dalam sekumpulan orang yang tengah menderita
penyakit homo sovieticus. Ciri
utama homo sovieticus
ditandai dengan kepribadian yang pecah--semacam schizophrenia--, lebih tepatnya seperti mempunyai dua
wajah: wajah di hadapan orang banyak (publik) dan wajah privat (wajah di
keluarga terdekat dalam hubungan interpersonal.
Marody, seperti dibahas tuntas
Kang Jalal dalam buku Rekayasa
Sosial, merinci tentang kepribadian Sovieticus ini. Pertama,
dissociation of what people say and what they
actually do (apa yang dibicarakan selalu tidak cocok dengan apa
yang dilakukan). Dalam terma agama, mereka yang tergolong dalam lingkaran ini
disebut sebagai kaum munafik. Munafik adalah sifat split personality yang sebenarnya. Di sana terjadi personal disorder atau bahkan
terjangkit patologis.
Aneh memang ketika kita coba
menelisik dua sisi sikap dan perilaku manusia tentang mental munafik seperti
ini. Satu sisi secara personal dan privasi, jika memang agama dianggap sebagai
ranah personal, ternyata personalitas mereka belum selesai (unfinished self) di mana mereka
tidak bisa menerjemahkan nilai-nilai keagamaan dalam diri mereka sendiri.
Kenyataan seperti ini sungguh sangat mudah kita temukan di mana-mana, seperti
sikap kebohongan dan keberanian mereka melanggar batasan dan hukum yang secara
personal (nurani ataupun ketuhanan) mereka sadari sebagai terlarang.
Di sisi lain, sikap etika publik
para pejabat publik kita juga sama sekali belum mencerminkan sebagai diri yang
berada di lingkaran tugas publik. Praktik KKN ataupun mafia yang berjamaah
adalah beberapa kenyataan di lingkaran pejabat publik kita. Di sana jelas
sekali bahwa etika publik kita sudah mulai ditanggalkan mati begitu saja.
Kesadaran untuk menelaah eksistensi mereka di ranah publik betul-betul telah
dikhianati sehingga perilaku pejabat publik kita penuh kepalsuan dan
kepura-puraan.
Semestinya, seperti ditulis
Haryatmoko (2011: 55), etika publik harus kuat ke dalam dimensi reflektif yang
berfungsi mengambil jarak agar kritis dan mampu membuat pertimbangan moral
sebelum bertindak dan mengambil keputusan. Etika publik tidak puas hanya
merumuskan apa yang baik dilakukan, tetapi menuntut ada sanksi jelas bila
norma-norma etika tidak dijalankan.
Kedua, phoney action (tindakan
rekayasa). Phoney action adalah
tindakan palsu dan dibuat-buat. Tindakan ini hanya akan memperhatikan
pencitraan dan artikulasi artifisial di balik tindakan yang ditunjukkan. Tidak
peduli proses ataupun rencana jangka panjang, mereka mengedepankan pragmatisme
demi kepuasaan sesaat yang dibikin-bikin secara terencana. Biasanya tindakan
ini dilakukan ketika ada kunjungan resmi pejabat dalam rangka melakukan
peninjauan proyek, baik swasta ataupun pemerintah.
Biasanya, banyak sekali upaya
pemulasan yang sengaja dibuat-buat hanya untuk menunjukkan keberhasilan proyek
tersebut. Mereka tidak peduli meski dengan cara meminjamkan alat-alat ke tempat
lain ataupun dengan cara kebohongan lainnya. Sikap yang kedua ini begitu banyak
dipraktikkan oleh hampir semua instansi pelayanan publik di Indonesia. Cara-cara
pengkloningan kegiatan-kegiatan instans untuk menghabiskan dana negara--seperti
kerap terjadi di akhir tahun--adalah bentuk tindakan yang dibuat-buat oleh
suatu instansi demi menunjukkan hal-hal prestise tentang kegiatan internal
mereka kepada atasannya.
0 comments:
Post a Comment