Thursday, June 14, 2012

Sandera Homo Sovieticus

Versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional.

ADA yang menarik dari salah satu cerita Pramoedya Ananta Toer ketika baru pulang dari Pulau Buru, penjara yang telah tanpa pengadilan apa pun telah memupus hidupnya selama lima tahun. Cerita ini perlu diangkat kembali karena relevan dengan karakter dan kebiasaan banyak orang, khususnya para birokrat kita hingga hari ini di mana para elit birokrat dan bahkan sampai ke tingkat pemerintah lokal di daerah selalu bermain-main dalam kebohongan. Bagi Pram, seperti diceritakan kembali oleh Jalaluddin Rakhmat (2004: 129), kalau kita ingin memahami pembicaraan orang Indonesia (baca: pejabat Indonesia), maka rumus yang tepat adalah: x = bukan x.

Rumus tersebut berhasil memberikan petunjuk kepada Pram yang pada suatu kesempatan, ketika tokoh novelis sastra realisme-sosialis ini pulang dari Pulau Buru, tentara yang membawanya menyapa: “Kamu akan dibawa langsung ke Jakarta,‘ Pikir Pram, “Pasti ini dihentikan di tengah jalan.‘ Pram sudah berpretensi tidak beres dengan aparat tadi. Prasangksa Pram menurut saya maklum karena sosok pejuang idealisme sastra sosialis ini terbiasa mengalami hal demikian, mulai dari pelecehan ideologi bahkan fisik. Ternyata benar. Pram diturunkan di Surabaya.

Jadi, secara praktis di lapangan, sindir Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat, kalau ada pejabat berkata, “Mari kita mengetatkan ikat pinggang kita dan hiduplah sederhana!‘, pastilah pejabat itu sedang berusaha berfoya-foya dan hidup mewah dengan kekayaan milik rakyat. Kenyataan ini memang sangat kontras dan bahkan lucu ketika ditilik dalam perspektif kemanusiaan (khusunya citizenship).
Jelas ada yang salah secara moral dan etika publik kita selama ini. Namun naf sekali jika kita sebagai rakyat terus membiarkan permainan bodoh macam ini. Karena, kenyataan seperti itu jelas-jelas sebagai praktik, meminjam bahasa Colin Crouch dalam buku Post-Democracy, commercialization of citizenship, yaitu melakukan transaksi penipuan publik dengan tindakan kebohongan yang terencana.

Contoh terbaru, dari sekian bukti pemborosan yang sudah tidak terhitung, bisa didengar dari mulut anggota DPR sendiri yang mengatakan agar pemerintah dan rakyat Indonesia hidup efesien dan berhemat di tengah gonjang-ganjing kenaikan harga BBM, karena ancaman bobolnya APBN sudah di depan mata karena beban subsidi yang tinggi. Namun begitu, praktik yang dilakukan oleh mereka justru sebaliknya.
Sebutlah seperti biaya perawatan rumah anggota DPR yang supermahal hingga mencapai Rp101 miliar, sementara desas-desus yang diberitakan oleh media massa bahwa ternyata rumah itu tidak dipakai secara efektif untuk kepentingan kerja. Tengok juga pelesiran ke luar negeri yang tidak jelas substansi kepentingannya; renovasi ruang rapat yang selangit; perbaikan lahan parkir motor tapi tidak efektif juga; anggaran untuk kalender DPR yang tidak substansial sama sekali, dan tentu masih banyak yang lain. Gaya hidup seperti ini terus melekat pada para pejabat publik kita.

Homo Sovieticus

Dalam terma psikologi sosial, pejabat kita bisa digolongkan dalam sekumpulan orang yang tengah menderita penyakit homo sovieticus. Ciri utama homo sovieticus ditandai dengan kepribadian yang pecah--semacam schizophrenia--, lebih tepatnya seperti mempunyai dua wajah: wajah di hadapan orang banyak (publik) dan wajah privat (wajah di keluarga terdekat dalam hubungan interpersonal.

Marody, seperti dibahas tuntas Kang Jalal dalam buku Rekayasa Sosial, merinci tentang kepribadian Sovieticus ini. Pertama, dissociation of what people say and what they actually do (apa yang dibicarakan selalu tidak cocok dengan apa yang dilakukan). Dalam terma agama, mereka yang tergolong dalam lingkaran ini disebut sebagai kaum munafik. Munafik adalah sifat split personality yang sebenarnya. Di sana terjadi personal disorder atau bahkan terjangkit patologis.

Aneh memang ketika kita coba menelisik dua sisi sikap dan perilaku manusia tentang mental munafik seperti ini. Satu sisi secara personal dan privasi, jika memang agama dianggap sebagai ranah personal, ternyata personalitas mereka belum selesai (unfinished self) di mana mereka tidak bisa menerjemahkan nilai-nilai keagamaan dalam diri mereka sendiri. Kenyataan seperti ini sungguh sangat mudah kita temukan di mana-mana, seperti sikap kebohongan dan keberanian mereka melanggar batasan dan hukum yang secara personal (nurani ataupun ketuhanan) mereka sadari sebagai terlarang.

Di sisi lain, sikap etika publik para pejabat publik kita juga sama sekali belum mencerminkan sebagai diri yang berada di lingkaran tugas publik. Praktik KKN ataupun mafia yang berjamaah adalah beberapa kenyataan di lingkaran pejabat publik kita. Di sana jelas sekali bahwa etika publik kita sudah mulai ditanggalkan mati begitu saja. Kesadaran untuk menelaah eksistensi mereka di ranah publik betul-betul telah dikhianati sehingga perilaku pejabat publik kita penuh kepalsuan dan kepura-puraan.

Semestinya, seperti ditulis Haryatmoko (2011: 55), etika publik harus kuat ke dalam dimensi reflektif yang berfungsi mengambil jarak agar kritis dan mampu membuat pertimbangan moral sebelum bertindak dan mengambil keputusan. Etika publik tidak puas hanya merumuskan apa yang baik dilakukan, tetapi menuntut ada sanksi jelas bila norma-norma etika tidak dijalankan.

Kedua, phoney action (tindakan rekayasa). Phoney action adalah tindakan palsu dan dibuat-buat. Tindakan ini hanya akan memperhatikan pencitraan dan artikulasi artifisial di balik tindakan yang ditunjukkan. Tidak peduli proses ataupun rencana jangka panjang, mereka mengedepankan pragmatisme demi kepuasaan sesaat yang dibikin-bikin secara terencana. Biasanya tindakan ini dilakukan ketika ada kunjungan resmi pejabat dalam rangka melakukan peninjauan proyek, baik swasta ataupun pemerintah.

Biasanya, banyak sekali upaya pemulasan yang sengaja dibuat-buat hanya untuk menunjukkan keberhasilan proyek tersebut. Mereka tidak peduli meski dengan cara meminjamkan alat-alat ke tempat lain ataupun dengan cara kebohongan lainnya. Sikap yang kedua ini begitu banyak dipraktikkan oleh hampir semua instansi pelayanan publik di Indonesia. Cara-cara pengkloningan kegiatan-kegiatan instans untuk menghabiskan dana negara--seperti kerap terjadi di akhir tahun--adalah bentuk tindakan yang dibuat-buat oleh suatu instansi demi menunjukkan hal-hal prestise tentang kegiatan internal mereka kepada atasannya.

0 comments: