Ask not what
your country can do for you; ask what you can do for your country.
John F. Kennedy
Diktum di atas diucapkan oleh seorang negarawan kharismatik yang
mantan presiden Amerika Serikat ke-35 demi memupuk kesadaran patriotisme bangsa
Amerika yang berpijak kepada fondasi kerja keras dan independensi. Dalam konteks
Amerika, pernyataan Kennedy sangat terang menantang rakyatnya agar bekerja
keras, kreatif dan bahkan ambisius untuk mendukung centang perentang ideologi pragmatisme-kapitalis
yang mereka anut. Namun bagi bangsa lain, ia adalah sebongkah spirit masa depan
bagi negara-bangsa seperti Indonesia yang masih mencari bentuk ideal, dan membangun
diri menuju kebangkitan, keagungan dan kesejehteraan dalam koridor humanisme dan
prosperity state. Mewujudkan prosperity state (negara kesejahteraan) menunut
kerja keras dalam berkarya dan berinovasi yang didasarkan kepada semangat pengorbanan
dan gotong royong demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bersama seperti tercermin
dalam Pancasila.
Namun begitu, adagium Kennedy selalu menjadi satir bagi bangsa
yang malas dan bahkan menggaruk kekayaan sumber daya negaranya untuk
kepentingan probadi maupun kelompok. Statemen di atas menjadi paradoks bagi
kita. Satu sisi ia menjadi gugusan mutiara sangat berharga bagi kita, tetapi di
sisi lain ia tak henti-henti menertawakan kita dari jarak dekat, di tengah proses
penggembosan dan peringkihan negeri karena kasus korupsi dan perkara hukum yang
tersandera mafia oleh pemerintahan sendiri.
Di tengah situasi yang serba rumit seperti ini, saya yakin
bahwa bangsa dan negara masih mempunyai harapan dan aset besar yang bisa dipertahankan,
yaitu cita-cita luhur yang sudah dideklarasikan oleh founding fathers Indonesia. Aset dan cita-cita itu kini sedang dipanggul
oleh generasi-generasi muda yang visioner, inovatif, dan kreatif yang kelak
akan menjadi pemimpin masa depan. Yang akan membangun negeri ke depan adalah
mereka yang mendedikasikan diri dan bahkan mengorbankan—jiwa, raga, karya, dan
karsa—untuk negeri (hubbul wathan) tanpa
pengecualian, tanpa keraguan, dan menjadi orang Indonesia seutuhnya!
Namun sebelum itu, ada hal-hal yang perlu dikaji secara
kritis tentang pola pikir dan paradigma kebangsaan yang sejauh ini didapatkan
dari pengalaman baik di meja sekolah ataupun melalui sejarah perjalanan negeri ini,
khususnya setelah rezim Orde Baru dan Era Reformasi yang sudah mengajarkan
politik licik dan mendustai cita-cita kemerdekaan bangsa sendiri. Imbroglio
politik, destruksi sosial, dan pembiaran kekerasan sipil dan horribilitas oleh
pemerintah tidak bisa dibiarkan terus menganga di tengah kehidupan berbangsa
saat ini. Kita mempunyai masalalu politik dan administrasi birokrasi yang
mencekam; kita hidup di negara yang sesak dengan para pemerintah, tetapi miskin
pemerintahan, the government without governance. Namun hari ini ke
depan, menatap 100 tahun mendatang, semua itu menjadi perlajaran sangat mahal.
Rekonstruksi atawa Restorasi?
Jika kita mempunyai mimpi bahwa Indonesia hendak dibawa
menuju negeri yang adil, makmur dan sejahtera, pola pikir bangsa
Indonesia—terutama stakeholders
seperti apparatus state dan internal
lembaga-lembaga pemerintahan—harus direkonstruksi berdasarkan cita-cita luhur
kemerdekaan (untuk kesejahteraan dan kemakmuran) sebagai bentuk pengabdian
kepada nusa dan bangsa. Sekarang harus dicamkan bersama bahwa negara bukanlah
gudang harta karun dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, lalu mereka
yang mengelola negara ini punya alasan untuk menciduk dan melegonya kepada negara
atau bangsa lain; beramai-ramai diperebutkan, dijual, dan dihabisi untuk
kepentingan-kepentingan sendiri ataupun kelompok. Kekayaan negara adalah aset
masa depan kesejahteraan rakyat, menjadi rumah bersama bagi mereka yang
bernaung menuju kemakmuran.
Rekonstruksi kesadaran berpikir seperti di atas bukanlah hal
mudah dilakukan di tengah carut-marut invasi gelombang KKN dan praktik politik transaksional
para elit yang—secara langsung telah—mengajarkan kepalsuan bagi generasi muda
tentang tata-kelola negara, dengan cara-cara licik dan bersekongkol di tengah labirin
kelam plutokrasi dan dinasti. Cara-cara pengelolaan negara yang dipertontonkan oleh
birokrasi sejauh ini telah terperosok kepada pencapaian kepentingan individu dan
kelompok, melalui praktik pembusukan politik
paranoid, imagologi politik pencitraan, dan sekaligus in absentia nilai-nilai keadilan hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, sehingga kejengahan masyarakat terhadap para politisi dan dunia
politik semakin memunculkan wajah antipatik yang sangat tragik. Ini semua adalah
cermin retak yang tak boleh terulang lagi untuk Indonesia di masa mendatang!
Lalu, apa yang akan kita berikan kepada bangsa dan negara?
Pertanyaan semacam ini harus selalu muncul di benak anak bangsa, tak peduli
pejabat negara ataupun rakyat jelata, untuk mengukur sejauh mana patriotisme
dan nasionalisme kepada negeri. Karena pertanyaan demikian akan menggali kesadaran
prinsipil dan sekaligus meneropong jauh tentang masa depan negeri sendiri. Pola
pikir kita tentang aktualisasi-diri, pengabdian tulus, dan patriotisme kepada bangsa
dan negara harus selalu diasah dan lebih serius perlu diformat menjadi warisan
pendidikan karakter kepada generasi penerus.
Ada jawaban radikal dari
pertanyaan saya di atas: cut that worst history!
Ya, dengan “memutus” sejarah busuk KKN dan praktik politik transaksional yang makin
menyengsarakan rakyat, negeri ini perlahan akan menatap cahaya harapan menuju
Indonesia yang kuat di masa depan. Karena sejatinya collective memory yang telah menyublim dari pergumulan sejarah
sejak Orde Baru hingga Era Reformasi dalam benak bangsa adalah sejarah penuh-luka,
kekecewaan dan antipati kepada birokrasi dan pengelola negara yang telah menginjak-injak
prinsip kemerdekaan sejati bagi rakyat. Perlu dipahami bahwa “memutus sejarah”
bukan “melupakan sejarah”, tapi praktik-praktik busuk dalam kekuasaan (power abuse) seperti terjadi sekarang
harus diputus: akar, kultur, dan orang-orangnya.
Pemutusan sejarah, bagi saya adalah
kata lain dari proses restorasi radikal, mengembalikan spirit dan gerakan
kepada pijakan dan prinsip dasar yang sudah dibentuk berbasiskan nilai-nilai
kemanusiaan yang holisitik. Saya yakin, generasi muda yang bisa belajar dan
membaca secara jernih tentang situasi perjalanan sejarah politik kebangsaan
akan memosisikan diri sebagai opposite
side yang harus krtitis, selalu aware
dan cepat tanggap menyuarakan proses pemulihan kondisi bangsa dan negara yang sedang
berada di tubir titik nadir! Di tengah kondisi seperti ini, kita membutuhkan
generasi yang punya passion, berkarakter
kuat, progresif, dan siap berkorban atas nama bangsa dan negara.
Saya tidak ingin mendengar negeri
ini digadang-gadang sedang menuju kegagalan (failed
state) hanya karena kondisi politik luar negeri seperti mengurus
perbatasan, hubungan bilateral, dan negosiasi hukum internasional lemah;
kesenjangan ekonomi kaya-miskin semakin krtitis; kekerasan sipil menyeruak;
ataupun proses hukum yang dihantui mafioso
peradilan! Kelemahan-kelemahan tersebut akan menjadi bahan refleksi dan
sekaligus otokritik menuju perbaikan di hari berikutnya untuk pembangunan
kesadaran masyarakat.
Indonesia dalam 100 tahun mendatang berada dalam pikiran dan
gengaman generasi muda. Jadi, sisi-sisi yang terkelupas dan terbengkalai
tentang integritas republik Indonesia, seperti nilai-nilai luhur budaya bangsa
dan proses internalisasi Pancasila dan UUD 45, harus direformulasi sebagai basis
pijakan bagi paradigma dan pergerakan generasi muda ke depan. Budaya luhur
bangsa dari semua daerah yang telah mewariskan spirit perjuangan dan etos kerja
kebersamaan adalah harga mati yang harus diperjuangkan sebagai identitas
nasional. Desain dan internalisasi pendidikan yang berbasis kepada kebudayaan nasional,
nilai-nilai luhur bangsa, dan cita-cita kemerdekaan adalah gerakan dasar yang
tidak boleh dilalaikan dalam pendidikan generasi muda saat ini agar mempunyai karakter
kuat dan mumpuni sebagai basis kebudayaan dan perilaku. Realita seperti itu harus
menjadi kultur-melekat dalam sistem pendidikan dan kesadaran sehari-hari kita
karena setiap generasi lahir ke dalam ruang kebudayaan, terjadi proses adaptasi
dan asimilasi yang pada gilirannya akan membentuk karakter mereka.
Bagi saya, Indonesia dalam 100 tahun mendatang berada dalam
visi, ditimbang dan ditimang oleh tangan-tangan kreatif bangsa sendiri, yaitu
generasi muda penerus cita-cita kemerdekaan. Pemuda dan generasi masa depan
bangsa adalah jawaban final yang harus diberikan ruang pendidikan humanis, diskursus
berpikir, dan sarana berkarya dan berinovasi sebagai persiapan menuju bangsa
yang kuat dan berkarakter. Karena pemuda ibarat tongkat estafet bagi masa depan
bangsa sendiri. Pemuda, bagi Kofi Annan, bukan hanya pemimpin masa depan tapi
sekaligus partner yang bisa diajak bekerja
hari ini. Di tengah proses pembangunan kapasitas karakter
internal dan kesadaran pemuda yang kontinu, pesimisme tentang masa depan
Indonesia, seperti disitir Parakitri T. Simbolon (2000: 2), sebagai bangsa yang
penuh dengan “seolah-olah”: setumpukan delusi, dan bahkan opertunis, pelan-pelan
akan berubah menjadi setangkup asa, optimisme, dan keyakinan menuju bangsa dan negara
yang besar, agung, dan benar-benar merdeka..
Sekali lagi, hanya di pundak generasi-generasi
muda yang terdidik dan mempunyai wawasan kebangsaan, dedikasi patriotis,
kreatif, dan berkarakter, bangsa dan negara Indonesia menentukan masa depannya,
dalam 100 tahun mendatang. Komitmen patriotik yang tersemat
dalam dada sebagai pengabdian kepada nusa dan bangsa akan mendefinisikan
eksistensi kita dan memberikan artikulasi kohesif sebagai bangsa yang
multikultur.
The next 100 year Indonesian dreams depend on what we do for
the country…
2 comments:
suka banget .. :D
Wah... ada nenk Mal rupanya. Lnjutkan sukanya ya hee...mari menulis
Post a Comment