Wednesday, October 26, 2011

Di Kampungku, Ternyata SBY Pembohong!

(Seri Oleh-Oleh Kampung Halaman)
Anak-anak kampung bermain bola di tepi kuburan

Sekitar 2 tahun 2 bulan yang lalu, harian Kompas edisi Rabu, 19 Agustus 2009 menurunkan laporan bertajuk “Presiden: Tahun 2010 Semua Desa Terhubung Internet”. Cukup segar dalam ingatan bahwa saya begitu passionate menyimpan berita itu dalam file notebook karena saya berpikir bahwa pernyataan SBY itu adalah janji yang harus dipegang—(secara dia presiden yang paling besar (tubuhnya) sepanjang sejarah Indonesia!). Sejak awal menyimpan soft file itu, saya sebagai orang desa ingin membuktikan pernyataan itu, apakah benar janji SBY terlaksana di lapangan, seperti di desa saya, atau hanya omong kosong belaka!

Saya cuplikan bahasa SBY versi harian Kompas: "Pembangunan infrastruktur informatika dan telekomunikasi dasar ke seluruh pelosok tanah air adalah wujud nyata dari tekad bersama membangun kesatuan Indonesia," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat berpidato pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Gedung DPR-RI, Jakarta, Rabu (19/8).

Sejak awal saya sangat pesimis janji itu akan ditepati oleh SBY. Meskipun saya belajar untuk selalu optimis, tapi dalam konteks ini saya pesimis (waktu itu). Karena kata “optimis” dalam kamus saya, ketika berhubungan dengan sistem birokrasi dan government policy, punya ukuran sangat konkret, semacam tersedianya indikator-indikator yang yang mendukung proses kebijakan itu bisa terlaksana di lapangan. Ingat, optimis jangan jadi kata ompong yang tidak mempunyai implementasi konkret kalau tidak mau disebut “utopis”. Bangsa ini terlalu mudah mengatakan kata “optimis” yang sebenarnya mereka merujuk kepada kata “utopis”, karena kenyataannya, dalam konteks bernegara, kata optimis itu tidak mempunyi akar epistimologis, indikator, sarana dan prasarana, ataupun instrumen yang bisa membuktikan optimisme. Makanya, saya giggling ketika mendengar buku baru (terbit 2011) yang ditulis Deny Indrayana bertajuk “Indonesia Optimis”. 

Apakah yakin Anda, SBY atau Deny mau mengatakan optimis di depan mereka, orang-orang miskin yang kelaparan di negeri ini; para gelandangan yang tidak bisa hidup tanpa santunan; dan para pengangguran karena tergusur? Mari jangan jual kata “optimis” di balik kebijakan-kebijakan publik yang menebar “pesimis”.

***
Saya pulang kampung pada momen lebaran tahun 2011. Saya berkumpul bersama keluarga dari 25 Agustus-5 September 2011. Waktu mudik yang cukup singkat itu saya manfaatkan juga sebagai cross check janji SBY, tentang internet masuk desa. Bersama teman, Mas Witto, melalui Facebook dan Twitter (account saya di @_bje), ada ide untuk menulis atau bercerita tentang kampung halaman masing-masing, khususnya teman-teman yang mudik pada lebaran tahun ini. Tentu ide teman saya tadi sangat brillian jika kita mampu menjadi pencerita sendiri (citizen journalism) terhadap realita yang terjadi di kampung kita masing-masing. Tentu akan kelihatan bagaimana bias pembangunan itu dipraktekkan sejauh ini oleh negara Indonesia. Jika selama ini kita mendengar tentang Papua, NTT, NTB, Sumatra, dan Kalimantan hanya lewat media massa yang sarat kepentingan itu (koran dan tivi), betapa hebatnya jika kita mendangar sendiri dari kawan kita, sahabat-sahabat pemuda, yang mau bercerita tentang kampung halamannya, tentang bagaimana sebenarnya HARI INI di kampung terjauh sana? Semoga proyek kecil ini, bersama Mas Witto, nanti didukung oleh banyak teman dari penjuru Indonesia, dan syukur kita bisa memanfaatkan media sosial macam FB dan Twitter sebagai laman sharing, atau bahkan bisa dibukukan.

Tiang dari bambu untuk menyanggah kabel listrik
Bila pulang kampung saya selalu mencatat setiap hal terkecil dari dinamika kehidupannya—tentang bercocok tanam, mengembala  ternak, anak-anak dan remaja bermain bola, menggunakan handphone , daya beli mereka, hingga model baju mereka, lalu mendengarkan cerita dari mereka, teman-teman sebaya, kakak dan empuk, dan orang tua yang suka nongkrong di mushalla, masjid, warung, dan datang ke rumah, atau saya yang mengunjingi mereka. Mereka semua tetangga, saling kenal, satu kampung.

Pada suatu kesempatan di malam hari, saya mengunjungi rumah kepala desa (klebun)—untuk menyambung tali silaturahmi dan sekaligus hendak mengecek janji SBY tentang internet masuk desa. Simbol desa tentu balai desa dan kepada desanya, bukan orang lain. Sembari mengobrol panjang lebar, berkelekar dengan warga desa lainnya, saya langsung tanya-tanya apakah di sini ada jaringan internet (atau infrastruktur informatika dan telekomunikasi dasar) yang disediakan oleh oleh pemerintah? Pertanyaan saya sebenarnya tidak perlu dijawab oleh klebun dan saya tahu sendiri jawabannya.

Mau jaringan internet ke Jerman, lho wong listrik aja belum masuk. Ya, listrik di kampungku memang belum masuk, tapi di sebagian kampung lain (dalam satu desa) sudah ada. Dan Pak klebun yang menjabat sekarang juga sekampung dengan saya yang sama-sama belum “kemasukan tiang listrik!”  Kami memakai listrik dengan cara nyantol, artinya orang-orang di kampung numpang ke tetangga yang sudah “kemasukan tiang listrik” tadi dengan membeli kabel sendiri secara swadaya, atau sebagian yang lain dengan cara ngampra, beli kilometer (listrik) sendiri oleh beberapa orang, dan menitipkan kilometer itu di tentangga, yang jaraknya sekitar 2-3 km. Bagi yang nyantol, bersiaplah tanpa aliran listrik di siang hari. 

Aku bergemim sepanjang jalan pulang, ini sudah tahun 2011, di kampung saya, SBY ternyata jadi pembohong! Saya tahu bahwa orang kampung (masih) belum butuh internet untuk saat ini, mereka lebih butuh nasi dan sandang papan yang lain. 

Ini kisahku, apa kisahmu?

0 comments: