Sekitar tanggal 22 Agustus 2013,
selepas urusan visa untuk studi di Turki selesai, di suatu sore yang sembab—karena udara dan
hawa kota Jakarta—saya duduk di serambi masjid sehabis shalat ashar untuk menunggu
keberangkatan kereta menuju Yogyakarta. Saat itu, saya menabur pandang ke separuh
langit dari sela-sela atap masjid di seberang stasiun Senen. Di tengah keberingasan
raung kendaraan kota, saya merenungi masa silamku, khususnya saat-saat kuliah S1
di UIN Sunan Kalijaga. Masa-masa itu menjadi semacam durasi yang penuh emosi
dalam hidup saya, penuh dengan perjuangan dan pemberontakan. Saya merasakan itu
semua sebagai bagian dari hidup yang tak akan pernah saya lupakan. Masa-sama
itu harus saya tutup dalam memori yang seindah mungkin, sebaik mungkin—tak melukai
siapa pun!
Sunday, October 13, 2013
Dua SMS dari Dosen
Tiba-tiba terbersit dalam pikiran
bahwa saya harus berpamitan kepada guru (dosen) di univeristas. Saya pamit
baik-baik bahwa mungkin saya tidak sempat bertemu dengan mereka dan mengucapkan
terima kasih atas ilmu dan hikmahnya selama saya ada di meja S1 selama kurang
lebih 5 tahun lebih. Saya kirimkan pesan singkat itu kepada semua dosen yang pernah
mengajar saya. Sejujurnya, saya sangat terharu dengan apa yang saya lakukan
itu. Tidak spesial sebenarnya, tapi saya anggap sebagai kewajiban saya untuk
minta doa dan spirit dari mereka. Saya tidak peduli dibalas atau tidak.
Tak lama, SMS yang saya kirim ke
sekitar 10 dosen itu pun berbalas. Mulai dari ucapan selamat dan sukses, doa
untuk belajar, sampai ada SMS yang hingga sekarang belum saya hapus. Karena SMS
tersebut menjadi titik tolak saya untuk melihat dan merefleksi diri,
sedalam-dalamnya.
SMS yang masih tersimpan itu
berbunyi seperti ini (1): “Alhamdulilah.
Saya ikut bangga. Kamu harus kembali ke UIN Jogja. Tunjukkan kenakalanmu itu
sangat intelektual. Salam.” (2). “Salam.
Semoga sukses dan bermafaat ilmunya, dan nanti tambah tawadhu’”. Yang lain,
saya hapus karena semuanya hanya ucapan selamat saja, dan itu nadanya biasa
saja.
Dalam dua pesan singkat tersebut saya
melihat ada dua hal yang berseberangan. Tentu ini sangat personal,
semacam impresi saya terhadap teks yang ditulis seorang dosen, yang saya konfigurasikan kepada pengalaman saya sendiri. Tak lebih dari itu. Benar-benar refleksi personal saya!
Pesan pertama sungguh seperti
ingin menghadirkan diri saya waktu di meja kuliah. Benar-benar. “Nakal” dan “intelektual”—dua
terma yang sulit saya pahami sendiri. Oleh banyak dosen saya dianggap sebagai
mahasiswa yang arogan, amoral, dan mungkin “nakal”. Untuk kata arogan dan
amoral, saya dengar sendiri dari salah satu dosen saya. Saya diklaim tidak
bermoral kepada dosen dan saya dianggap mempermainkan dosen. Tapi sejujurnya,
saya tidak ada niat secuil pun “jahat” kepada mereka yang mengajar saya. Tidak
ada. Tidak ada pula niat saya untuk menyakiti. Saya hanya pemuda yang egois
pada prinsip yang saya pegang waktu itu. Sehingga, ruang kelas adalah ruang
intelektual bagi saya, dimana saya bisa membantah, mendebat, dan beragumentasi
dengan dosen. Jika dosen ada yang hingga menangis di kelas, waktu itu, saya
tidak perduli banyak. Tapi saya tetap memasang hormat yang besar kepada mereka
sebagai guru dan dosen saya.
Namun dengan SMS yang pertama itu,
saya menemukan titik cerah bahwa apa yang saya lakukan waktu itu sebenarnya
masih dilihat sebagai sesuatu yang berbau intelektual oleh sebagian dosen. Dan saya
tertegun membaca pesan ini. Itu artinya bahwa dalam hidup ini, terhadap apa yang saya lakukan, ada plus minus yang dibaca dan ditanggapi orang lain. Bukan soal urusan benar dan salah, bukan pula urusan waras dan tidak waras. Soal siapa-yang-apa, itu hanya akan menjadi jawaban pada diri masing-masing. Saya tidak bisa mengatakan bahwa tindakan saya menolak dosen masuk kelas karena dirasa tidak capable dan tidak punya background adalah tindakan "arogan" atau bahkan "tidak waras" yang saya lakukan; saya juga tidak bisa mengatakan bahwa dosen yang asal (di)comot masuk ke kampus dan mengajar generasi muda bangsa ini adalah tindakan baik dan terhormat oleh sistem. Saya tidak bisa mengatakan itu. Tapi saya merasakan bahwa banyak yang "aneh tapi nyata" terjadi di lingkungan kita. Mungkin pun hingga hari ini.
Pesan kedua adalah tawadhu’. Pesan
ini saya jadikan sebagai amanah sepanjang hidup saya. Saya terus akan belajar
bagaimana menjadi tawadhu’. Itu adalah jalan hidup yang semoga diridhai oleh Allah. Tapi mohon maaf, hingga saat ini saya masih belum
bisa tawadhu’ jika saya baca suatu tulisan, misalnya, dan saya menemukan banyak
kejanggalan lalu saya ber-argue sesengit apapun atau bahkan sangat pedas,
dengan professor sekalipun.
Tapi, saya akan selalu belajar
untuk tawadhu’, karena saya percaya bahwa usia akan menyertakan kebijaksanaan. Semoga.
Terima kasih untuk semua guruku di semua tempat dan semua waktu, atas hikmah, ilmu dan ketulusannya mengajar demi ilmu dan bangsa. Salam takzim.
#rekleksidaritepimakamMevlanaJalaluddinRumi
0 comments:
Post a Comment