Menjelang
Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2013 kemarın, saya mendapatkan sebuah hadiah yang
secara spontan memaksa saya untuk segera terbangun dan menerawang tentang
anggitan nasionalisme yang terkandung dalam hayat. Kejadian itu di akhir
September, pada sebuah kelas internasional di mana saya bersama mahasiswa dari
berbagai negara sedang belajar di kelas persiapan bahasa Turki di sebuah universitas
swasta di kota Konya, Turkey.
Hari
pertama akan menjadi wahana perkenalan bagi semua mahasiswa asing yang sedang
berkumpul dalam satu kelas. Seperti yang diminta dosen, kami memperkenalkan
nama, asal negara, tokoh kebanggaan dari negara masing-masing, termasuk lagu
kebanggaan: boleh lagu kebangsaan ataupun lagu-lagu lain yang spesial bagi
kami. Saya menyebut Soekarno sebagai tokoh kebanggaan dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebanggaanç Begitu
juga yang dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang berjumlah sekitar 25 orang. Mısalnya
dari Afrika banyak menyebut nama Nelson Mandela sebagai tokoh kebanggaan
mereka.
perkenanlan (jalan-jalan dı seputar kampus) |
Kini
giliran mahasiswi dari Malaysia, seorang cewek yang mendapatkan beasiswa dari
pemerintah Turki untuk studi sarjana strata 1 di Selcuk Universityö Konya. Saya
sangat menunggu aksi teman yang satu rumpun ini. Saya penasaran apa dan siapa
yang akan dia sebutkan di depan kelas sebagai kebanggaannya (pride). Dia ternyata menyebutkan sebuah
nama artis (saya kurang tahu pasti namanya siapa) sebagai kebanggaannya. Saya
hanya mengangguk sembari menunggu lagu kebanggaan apa yang akan dia tunjukkan. Mataku
tiba-tiba melotot ketika dia menuliskan kalimat: “Rasa Sayang HEY” di papan
tulis. Mataku mendadak nanar. Saya tidak percaya ini.
“Itu
‘Rasa Sayange’, bukan? Itu lagu Indonesia. Saya kenal,” tiba-tiba Michiko berbisik
di sampingku. Perempuan berusia sekitar kepala empat itu pernah tinggal di
Indonesia, mengajar di Undip Semarang selama dua tahun, tampak terperangah.
Dengan bahasa Indonesia yang pelan, saya bilang bahwa lagu daerah itu milik
Indonesia tapi diklaim oleh pemerintah Malaysia. Michiko mengangguk. Di
tengah-tengah kami mengobrol samar-samar, teman dari Malaysia ini ternyata meminta
semua kelas ikut menyanyikannya. Dia menyontohkan cengkok dan irama “Rasa
Sayang HEY”.
Saat
itu, lidah saya kelu dan tidak bisa mengikuti irama keramaian lagu “Rasa Sayang
HEY” yang dikomandani olehnya di depan kelas. Saya merasa ada yang terkaca-kaca
di mata saya; ini pengalaman langsung yang saya saksikan sendiri, sesuatu yang tak
terbayangkan sebelumnya. Saya tidak tahu pasti apa yang saya rasakan ini
sebagai sindrom nasionalisme ataukah hanya semacam rasa kangen kepada Indonesia,
atau lebih tepatnya disebut “homesick”
(?).
Pengalaman
ini merupakan setangkup pelajaran penting bagi saya, dan mungkin bagi bangsa
Indonesia, yang sedang memikirkan secara seksama tentang bagaimana cara mengelola
dan mengembangkan khazanah dan kekayaan tradisi lokal yang kita punya. Sekitar
tahun 2007 Rasa Sayange diklaim oleh
Malaysia dengan cara memasang lagu itu di situs promosi resmi Departemen
Pariwisata mereka. Saat itu saya masih di Indonesia dan mengalaminya secara
tidak langsung—lewat koran dan media massa lainnya. Tapi hari itu, saya
benar-benar menyaksikan sendiri bagaimana lagu Rasa Sayange diklaim sebagai lagu kebanggaan di depan mahasiswa
internasional.
Secara
promosi Malaysia telah berhasil meyakinkan generasi bangsanya, yang waktu itu
mungkin dia masih di bangku SMP, untuk mengakui dan membanggakan bahwa lagu
Rasa Sayang HEY adalah bagian dari kebudayaan mereka. Cara Malaysia dalam mempromosikan
lagu itu ternyata bukan hanya untuk “memanas-manasi” pemerintah Indonesia tetapi
mereka benar-benar menancapkan pengaruh kepada generasi muda sehingga, sebagai
kecurigaan saya, anak-anak muda negeri jiran sejak tahun 2007 sudah dibombardir
dengan lagu tersebut sebagai lagu kebanggaan mereka. Sehingga tidak mengejutkan
jika kemudian anak-anak Malaysia, seperti halnya teman saya tersebut, dengan
wajah polos menyanyikan lagu Rasa Sayange
sebagai lagu kebanggaan mereka.
harı batık, selanjutnya |
Saat
ini, di saat saya menjalankan tugas belajar di negeri orang, identitas kebangsaan
dari mana saya berasal menjadi salah satu pertanyaan yang menyertai perkenalan
saya dengan mahasiswa asing. Satu hal yang tidak akan terlewatkan adalah
tentang apa yang kita punya, tentang kebanggaan sebagai bangsa dan negara melalui
khazanah dan kekayaan kebudayaan yang sulit ditemukan di negara lain. Poin ini
akan menjadi semacam bargaining position
yang bisa dijadikan modal dalam komunikasi lintas budaya. Ketika kita tidak
mempunyai identitas dan kebanggaan yang bisa ditunjukkan, saat itu pula kita
sudah tidak akan menjadi siapa-siapa. Fakta seperti ini akan menjadi tantangan
bagi mahasiswa internasional karena mereka membawa nama besar bangsa dan negara
di mata orang lain. Segala hal yang berkaitan dengan kebanggaan sebuah bangsa
harus ditanamkan sebagai nilai-nilai personal yang menyertai laku sosial di
depan bangsa lain.
Pelajaran
penting dari peristiwa di atas adalah tentang: pertama arti identitas bangsa. Dalam konteks Indonesia identitas
nasional adalah identitas lokal itu sendiri. Saya menyebut identitas Indonesia kita
sebagai identitas detail yang plural, terdiri dari banyak tradisi dan
kebudayaan yang telah membentuk kesatuan di bawah panji bendera Merah Putih.
Untuk
menancapkan dan menanamkan nilai-nilai identitas bangsa, pemerintah dan semua stakeholder harus mampu menciptakan sistem
yang mengelola kemungkinan penanaman nilai-nilai tersebut terserap secara
maksimal dan merasuk ke dalam alam kesadaran. Secara parsial, kita bisa meniru Malaysia
dalam hal promosi yang tak henti membombardir publiknya, juga publik
internasional. Namun jeleknya mereka menghilangkan jejak sejarah di balik lagu Rasa Sayange dari Maluku itu.
Kedua tentang legitimasi. Dalam
konteks percaturan hukum global, legitimasi menjadi kata kunci untuk khazanah
ataupun warisan-warisan intelektual yang kita punya. Legitimasi dan pengakuan akan
menghantarkan sebuah entitas budaya sebagai keutuhan yang terikat dan kuat. Legitimasi
dibangun melalui jalur diplomasi ataupun promosi kuat dan tegas. Legitimasi menunjukkan
seberapa kuat kita di depan negara ataupun bangsa lain. Misalnya, ketika orang
menyebutkan tentang angklung, dengan tanpa ragu kita sudah punya legitimasi hukum
berupa pengakuan dari UNESCO sebagai milik
Indonesia yang berasal dari Sunda.
Akhirnya,
saya harus mengatakan bahwa jalur diplomasi tentang khazanah kekayaan tradisi
kita masih kalah, di samping itu aspek promosi baik di internal negara ataupun
dalam bilateral belum bunyi secara maksimal. Ini tentu menjadi PR kita
bersama-sama ke depan.
0 comments:
Post a Comment