Waktu itu, suara mereka bergetar dari relung jiwa dan aorta yang terkepal; sumpah para pemuda dan pemudi yang ingin menyongsong masa depan bangsa dan negaranya bersatu-damai-tenteram dalam kebersamaan dan keberagaman; pemuda dan pemudi yang siap jadi tiang negara. Lihat bagaimana proses mereka sebelum mengumandangkan sumpah, mari cermati bagaimana, di saat sikap kesukuan sangat dominan, mereka terpanggil memahatkan sebuah janji kebersamaan di bawah suatu nama negara yang belum lahir.
Tapi ruh suara mereka dari waktu ke waktu makin terdengar sumbang, ditekan pelan pada ruang-ruang pengap sebelum dikuburkan, dibiarkan menguap dibubul asap dari sana-sini, tak dihidupkan sebagai sebuah benang merah sejarah, selain hanya sebentuk seremonial-artifisial. Ya, seremonial tanpa penanaman nilai yang berkelanjutan--dan akhirnya sejarah besar sebagai tonggak kebhennikaan ini pun rapuh.
Saat ini, kami tahu ada Sumpah Pemuda, tapi jangan tanya tentang nilai-nilai praktis yang dikandungnya, atau yang mesti dilakukannya. Selanjutnya, maafkan jika kami harus benar-benar mengingat Sumpah Pemuda hanya karena angka di kalender menunjuk 28 Oktober!
0 comments:
Post a Comment