Malam ını, Jumat 18 Oktober 2013, tepat sehari sebelum menginjakkan
kaki di Turki satu bulan silam, saya terantuk pada sebuah peristiwa yang baru
saja terjadi: kami, sebagian dari teman-teman PPI Konya—yang berjumlah sekitar
13 orang—diminta untuk menghadiri undangan orang Turki yang rumahnya,
sebentuk flat sederhana di daerah Meram, disewa oleh teman-teman pelajar
Indonesia. Orang Turki ini termasuk sangat dekat dengan pelajar Indonesia di Konya. Bahkan, konon, orang ini berharap flat
miliknya berlantai tiga itu dipakai oleh anak-anak Indonesia semua....
Pak Faiz, mahasiswa doktoral dan sekaligus sosok yang dituakan dan mengayomi
kami, menelpon saya yang tinggal di sebuah asrama di ujung, tepatnya
di luar keramaian kota Konya. Beliau menanyakan kesiapan saya dan dua teman untuk
menghadiri undangan. Setelah saya komunikasikan—karena bertepatan malam ini
juga ada janjian untuk jemput teman yang sedang liburan ke Kayseri—akhirnya kami
bertiga menyanggupi untuk ikut bersama rombangan yang lain. Meeting point-nya di rumah Pak Faiz. Maghrib kami tiba, shalat
berjamaah, lalu bagi-bagi juz Al-Qur’an untuk kami baca.
Deg! Saya terkesima saat itu. Untuk menutupinya, saya segera pinjam Al-Qur’an
di lantai 3. Saya mulai menerka, peristiwa ini akan menarik dicermati.
###
Saya tahu Turki modern (Republik Turki), sebuah sistem politik dan
pemerintahan yang dianggit oleh Mustafa Kemal Ataturk, dari potongan-potongan bahan bacaan atau cerita dari mulut ke telinga. Namanya potongan, jelas tidak utuh atau bahkan rentan ancaman distorsi dan kesalahan
demi kesalahan. Tapi saya tidak ingin melakukan klaim atas pemahaman yang
saya dapatkan dari potongan-potongan tadi.
Suatu pengalaman sudah saya
buktikan bahwa hasil “pembacaan” dari hal-hal yang tidak lengkap itu--semacam parsial--memang
rentan masalah. Ketika itu hari pertama mendaftar kuliah kelas persiapan
(kelas Tomer) di salah satu kampus swasta di Konya. Di halte bis dekat kampus
menuju pulang, saya melihat tiga anak muda sedang mengobrol—sama-sama menunggu
bis. Angin dingin musim gugur sudah mulai mengganggu. Posisi berdiri kami pelan-pelan semakin mendekat, tanpa sadar di tengah obrolan hangat masing-masing. Sesuatu yang saya harapkan terjadi:
mereka menyapa kami. Untungnya, mereka bisa berbahasa Inggris. Dan satu orang
di antara mereka, yang tengah memegang buku (saya lupa judulnya, yang pasti
tentang Ataturk), sangat bagus bahasa Inggrisnya. Saya mengobrol lalu tanya ihwal buku
itu. Sebagai pancingan, saya menyerobot begitu saja dengan kepolosan seadanya
bahwa saya menyukai Ataturk. Dia tanya kenapa, saya jawab tentang kehebatan
Ataturk dalam mewujudkan Republik Turki Modern. Dia dengan muka ketus menjawab:
saya tidak suka Ataturk. Sejarah tentangnya adalah sejarah kebohongan.
Jres! Saya terkesiap. Ini pelajaran
bagus. Saya bersyukur bertemu dengan anak muda yang lupa saya mintai
nomor kontaknya.
Melanjutkan tentang pemahaman
atas potongan-potongan sejarah Turki, saya menangkap sebuah benang merah bahwa
Ataturk bukanlah pemain seorang diri. Saya menyadari ada kekuatan besar, teramat besar
pada waktu itu, yang telah siap menyokong dirinya, sehingga mampu menciptakan masa
transisi setelah memutus sejarah panjang Ustmaniyah (Ottoman). Mungkin, dalam beberapa aspek, dia sekuat Sultan Mehmed II (Muhammad al-Fatih) yang menaklukkan Konstantinopel. Dia sama-sama penakluk: menaklukkan sejarah perkasa Ottoman! Layak jika the winner takes all disandangkan kepadanya. Akal sehat siapa
yang tidak bergeleng ketika menyasikan peradaban panjang sekitar 6 abad
akhirnya diputus dan pelan-pelan dilenyapkan oleh seseorang yang pada waktu itu
hanya tentara biasa, di bawah sultan terakhir Ottoman (Abdul Hamid II)? Ini hanya semacam inquiry
dari seorang yang belum belajar lebih dalam tentang Turki, seseorang yang hanya
menangkap potongan-potongan bacaan.
Selanjutnya, yang saya tangkap
tentang Turki modern justru bukan dari sumber atau literatur sejarah, tapi justru
dari novel, yaitu karya-karya Orhan Pamuk, yang sekaligus menantang saya untuk
melanjutkan studi master sosiologi di sini, di samping itu keterpincutan kepada isu-isu
pengelolaan minoritas dan proses peacebuilding
di sebuah negara yang usianya tak sampai satu abad ini sangat mengesankan untuk ditelaah lebih jauh. Pamuk jelas sekali menghantarkan
banyak deskripsi detail masif tentang konflik-konflik dan potongan sejarah ihwal Turki dan Ottoman yang coba dirunut dalam
lintasan sejarah sejak abad 17 (misalnya dalam novel Beyaz Kale ataupun dalam Benim
Adım Kırmızı). Tak lelah-lelah Pamuk menjelaskan tentang hüzün (melancholy)—karena terdera dilema dua arus hebat antara modernity (semangat Ataturk) dan kultur, tradisi dan laku sosial masyarakat yang sudah melekat-terbentuk ratusan tahun: mereka
yang memegang teguh tradisi (konservatif)—yang tak terpisahkan pada sejarah Anatolia, dan
khususnya Istanbul.
Saya yang menangkap sejarah Turki
dari potongan-potongan demikian ingin lebih merasai tentang adakah “lobang” di balik
gerakan sekularisme dan sejarah terbentuknya republik? Adakah lobang-dalam di sana? Saat ini saya masih belum bisa
apa-apa untuk menelaah “lobang” tersebut. Tapi, coraknya, seiring waktu lobang itu mulai saya
temukan malam ini, pada sebuah keluarga besar yang neneknya meninggal di hari
Jumat, 18 Oktober 2013.
###
Kami menelusuri gang-gang di antara rumah bertingkat-padat di Meram. Hanya selemparan pandang dari rumah tempat biasa saya mampir. Di kanan-kiri,
di sebuah titik yang belum saya kenal benar, bar dan pap kecil mulai buka dan menunggu
pengunjung, selepas shalat Maghrib. Sekitar 5 menit jalan kaki, sampailah kami di sebuah rumah--tak terlalu mewah.
Di rumah ini, kami mengaji dan menghatamkan Al-Qur’an untuk mendoakan si
nenek tadi. Saya sangat giat membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Spiritnya satu: karena
saya tidak percaya itu akan terjadi di Turki! Meskipun terjadi, mungkin hanya
untuk sepelintir orang: membacakan Al-Qur’an bagi seorang yang meninggal,
dilanjutkan Tahlilan dan surah Yasin.
Tertegun karena saya mulai banyak tahu bahwa rakyat Turki, khususnya yang
berusia di atas 20 tahun, sangat kesulitan (atau bahkan tidak bisa) membaca Al-Qur’an
karena Undang-Undang Republik Turki melarang pelajaran agama (seperti Al-Qur’an
diajarkan) di sekolah-sekolah, tulisan Arab digantikan dengan abjad Turki
sendiri, dan simbol-simbol tradisi yang melekat dengan Islam dibabat habis di
bawah rezim Ataturk dan kroni-kroninya di garis ultra-nasionalis!
Yang membuat saya benar-benar terkaca-kaca ketika Pak Faiz diminta untuk membaca surah Yasin di depan keluarga besar mereka. Dengan bacaan tartil, keluarga besar itu duduk dengan muka yang khidmat, tangan terbuka seperti mengamini, dan muka polos--entah imajinasi apa yang tergurat dalam pikiran mereka. Muka mereka tampak seperti seorang bocah lugu yang sedang diperdengarkan cerita sebelum tidur! Tapi yang pasti, saya yang sedang berada di situ, menemukan setangkup peristiwa yang menggetarkan, melepas pikiranku sendiri yang mungkin lebih jauh dari yang mereka pikirkan.
Yang membuat saya benar-benar terkaca-kaca ketika Pak Faiz diminta untuk membaca surah Yasin di depan keluarga besar mereka. Dengan bacaan tartil, keluarga besar itu duduk dengan muka yang khidmat, tangan terbuka seperti mengamini, dan muka polos--entah imajinasi apa yang tergurat dalam pikiran mereka. Muka mereka tampak seperti seorang bocah lugu yang sedang diperdengarkan cerita sebelum tidur! Tapi yang pasti, saya yang sedang berada di situ, menemukan setangkup peristiwa yang menggetarkan, melepas pikiranku sendiri yang mungkin lebih jauh dari yang mereka pikirkan.
Saat itu pula, seyakin-yakinnya, saya merasakan bahwa bukti kebijakan yang bersembunyi di balik demi "nasionalisme" dan "sekularisme" adalah pendangkalan terhadap sejarah masa lalu mereka sendiri. Penghancuran atas ingatan, semacam genosida atas sejarah!
Di tengah kami mulai selesai mengaji, seorang kakek tua mengobrol dengan
Pak Faiz. Dia menanyakan jika di antara kami tidak menjalankan shalat—karena tidak
tahu—perbuatan apa yang bisa menebusnya?
Saya yang mendengar pertanyaan itu—setelah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia
oleh teman-teman—langsung bergidik! İni lobang yang saya maksud, lobang di dalam jiwa
yang akan terbuka di suatu waktu, lobang yang tak mungkin ditutupi oleh sejarah
yang telah mempolarisasi, lobang yang akan dijumpai dan dikunjungi pada sebuah derap
dan dentang panjang menuju “kesadaran”.
Akhirnya, setelah dijamu dengan makanan etliekmek, khas Konya, kami pulang. Tuan rumah menyebarkan masing-masing amplop kepada kami. Saya, yang terbiasa dengan acara semacam itu, langsung ingat rumah di kampung halaman. Tapi yang tak kalah mengejutkan saya adalah angka ini: 100 TL!
Di tengah jalan pulang, ada teman yang tampak shock dengan angka tersebut, sembari bilang: "ini serius?" Kami hanya saling tatap, lalu tersenyum manis.
Selanjutnya, saya akan cari lobang sekularisme yang lain. Dan di saat yang sama, lobang kecil di hatiku menganga!
Akhirnya, setelah dijamu dengan makanan etliekmek, khas Konya, kami pulang. Tuan rumah menyebarkan masing-masing amplop kepada kami. Saya, yang terbiasa dengan acara semacam itu, langsung ingat rumah di kampung halaman. Tapi yang tak kalah mengejutkan saya adalah angka ini: 100 TL!
Di tengah jalan pulang, ada teman yang tampak shock dengan angka tersebut, sembari bilang: "ini serius?" Kami hanya saling tatap, lalu tersenyum manis.
Selanjutnya, saya akan cari lobang sekularisme yang lain. Dan di saat yang sama, lobang kecil di hatiku menganga!
4 comments:
Pengamatan yang menarik, dan sepertinya hal ini bukan khas Turki. Saya yang di Tunis pun menemukan hal yang sama, orang tua dan pemuda yang terasing dari sejarahnya, setelah puluhan tahun dipaksa hidup dalam sekulerisme, hanya saja geliat keislaman pemuda Tunisia saat ini mengutub ke negara teluk; Saudi Arabia.
Terima kasih sudah mampir dan info tentang Tunis. Ini tulisan awal-awal saya sampe di Turki dua tahun silam. Semacam kesan perdana. Btw, pengaruh Prancis dan Itali gitu tampak tidak dalam kultur mereka, kalau boleh saya tahu?
Salam
Tabik
Kalau kesan pertama saya tentang Tunis, seperti bukan di negeri Arab. Terutama dari busana. Laki-laki dengan pakaian kasual panjang berjaket atau berjas, perempuan dengan jaket musim dingin bersyal plus rambut yang tergerai (saya tiba di Tunis pertengahan Desember). Sepertinya akibat pemerintah sekuler selama 55 tahun.
Pengaruh terbesar dari Perancis mas, mungkin karena sebagian besar materi pelajaran berbahasa Prancis, dan saya beberapa kali bertemu dengan masyarakat membanggakan kemampuan bahasa Prancis mereka daripada bahasa İnggris atau baha Arab sendiri.
Waw... menarik. Terima kasih banyak Mas. Senang kenal sampean. Kl bisa koresponden saya email di sini bernando.js@gamil.com. Sosmed ada di blog ini.
Makasih sudah berkunjung ya
Salam hangat
Post a Comment