Sunday, December 08, 2013

Sumbu Sejarah Kitab-Kitab Suci

Majalah Gatra ed. 7-11 Des 2013
Ada yang terabaikan dalam tradisi keberagamaan kita sejauh ini: aspek historisitas kitab suci dari agama samawi. Sebagai agama yang sama-sama mengklaim dirinya hadiah dari Allah, Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai aspek-aspek historisitas yang tidak bisa diputuskan satu sama lain. Ketiga agama ini nyaris mempunyai sumbu yang sama. Namun begitu, sedikit sekali upaya untuk mencari sumbu tersebut sebagai kesadaran rekonsiliasi atau, setidaknya, ia menjadi titik temu untuk melihat khazanah sejarah masing-masing yang terhubungkan tadi. 

Info buku:
Sejarah Kitab-Kitab Suci
Mukhlisin Purnomo
Forum, Yogyakarta, Desember 2012
364 halaman
 
J. Warner Wallace, penulis buku Cold Case Christianity (2013), mengungkapkan hal senada bahwa many of the world’s best known religious texts are silent when it comes to claims about history. Hingga hari ini kita memang tidak bisa mengelak bahwa konteks sejarah dari kitab suci cenderung disembunyikan satu sama lain, menjadi sesuatu yang saling menengarai. Padahal jika ada upaya untuk melakukan verifikasi sejarah terhadap masing-masing kitab suci, dengan gamblang akan ditemukan korelasi dan benang merah dari ketiga agama tersebut. Hasil dari upaya seperti itu akan memberikan inspirasi untuk “proyek agama” ke depan.

Salah satu cara yang sangat bagus dan patut diapresiasi telah dilakukan Mukhlisin Purnomo dengan menulis buku langka ini: Sejarah Kitab-Kitab Suci. Buku ini fokus hanya membahas tentang sejarah empat kita suci, yaitu Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran. Buku ini menjadi buku langka di Indonesia karena sebelumnya nyaris tidak ada karya berupa buku yang secara tekun menghadirkan aspek-aspek historis dari kitab suci. Sebenarnya, sebagai catatan tambahan, seandainya Purnomo mau bersabar menambahkan sejarah kitab-kitab dari semua agama yang diakui di Indonesia, seperti Buddha (Tripitaka), Hindu (Veda) dan Konghucu (Sishu Wujing), buku ini akan terasa kontekstualitasnya bagi Indonesia. Meskipun ketiga agama terakhir mempunyai sejarah yang berbeda dari lintasan sejarah mainstream dari tiga agama sebelumnya, spirit dan nilai-nilai yang terkandung di balik sejarah kitab suci mereka bisa menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga.

Sebagai agama Ibrahim, masing-masing sejarah kitab suci mereka mempunyai klaim yang sangat kuat. Klaim mereka bukan tanpa data dan verifikasi sejarah. Satu sisi, mereka saling menguatkan satu sama lain. Di sisi lain, mereka justru saling menghapuskan, sebagai upaya menjadi kebenaran tunggal di balik klaim sejarah mereka masing-masinguntuk menyebutkan kitab suci mereka paling benar.

Dalam konteks tersebut, Wallace menyebutkan bahwa tidak semua teks kuno, yang kemudian dipercaya menjadi kitab suci, selalu disandarkan sebagai teks ketuhanan (divinity); ada beberapa teks yang hanya menjadi antik karena aspek kuna (ancient), tetapi tidak suci (not “holy”). Jika sebuah teks/atau kitab ingin mengklaim sebagai kitab klasik dan suci, itu harus sudah melewati keantikan (antiquity) dan kemduian kategori suci (holy). Karena, lanjut Wallace, a book cannot be holy or divine if it is lying about ancient history.

Sebelum memasuki sejarah secara detail tentang keempat kitab suci dalam buku ini, Purnomo seperti ingin mengajak pembaca untuk bersepakat di awal bahwa sejarah keempat kitab suci dari agama Samawi tersebut merupakan sejarah yang kontinyu, dan saling timpa-bertimpa. Untuk itu, pembacaan historis memang harus dimulai sejak kitab suci paling awal, yaitu Taurat yang kemudian disusul oleh sejarah kitab-kitab suci setelahnya seperti Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Meski dari bebepara sumber menyebutkan bahwa Al-Qur’an dan nabinya, Muhammad, disebutkan paling awal. Tapi secara fakta sejarah, yang hadir sebagai peristiwa yang disaksikan, berbicara lain. Dalam narasi seperti ini, Al-Qur’an disebut sebagai penyempurna sekaligus purna sebagai firman Allah melalui para rasul.  

Semua deskripsi di atas dicoba ditelusuri oleh Purnomo untuk menguji aspek antiquity dan holy keempat kitab suci tersebut. Misalnya yang terjadi dengan kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, sebagai kitab paling tua dari agama-agama Ibrahimi. Dengan mengutip Denis Green (hal 35), Spinoza (hal 38), dan David F. Hinson (hal 48), Purnomo ingin menjelaskan tentang aspek-aspek keantikan dan sekaligus keunikan yang yang terjadi di seputar penulisan kitab suci Taurat.

Di bab berbeda, ketika buku ini menjelaskan tentang kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud, Purnomo mengingatkan kita bahwa kitab cuci tersebut adalah kelanjutan syariat dari kitab sebelumnya, yaitu Taurat. Namun begitu, kitab Zabur, yang jamak dikenal dengan nama Mazmur, meliki keunikan tersendiri yang nyaris menjadi rujukan orang-orang Kristen dibandingkan kitab-kitab lain dalam Alkitab. Karena, seperti mengutip Davidson, Mazmur mencakup keseluruhan pengalaman manusia (hal 104) yang dengan mudah langsung menyentuh hati para pemeluknya. Di samping itu, aspek sejarah di balik kitab Zabur lebih benderang ketimbang kitab Taurat. Purnomo bisa menjelaskan dengan cukup detail dengan sumber yang lengkap dan kemudian bisa disimpulkan bahwa aspek antiquity dan holy di balik kitab ini sudah tercapai (hal 123).

Selanjutnya, buku ini menulis sejarah di balik kehadiran kitab Injil (hal 147) dan Al-Quran (hal 245) dengan lebih lengkap lagi. Secara kuantitas halaman, penjelasan untuk sejarah dua kitab ini memakan porsi yang lebih banyak. Itu bisa dimaklumkan karena sumber-sumber yang bisa dikutip dan didalami oleh penulis buku ini jauh lebih mudah daripada referensi-referensi tentang dua kitab sebelumnya. Dalam konteks sepak terjang sejarah kedua kitab dan agama yang terakhir ini sudah sangat banyak dijumpai, misalnya dalam buku Hugh Goddard Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen (Bernando J. Sujibto, Kompas: 14 April 2013).

Buku ini patut diapresiasi karena sudah memberikan detail-masif tentang sejarah kitab-kitab suci agama samawi dengan bantuan penjelasan ihwal konstruksi sosial-budaya, politik dan ekonomi pada masing-masing fase dan rentang sejarah panjang. Namun ada beberapa hal yang mengganggu dalam buku ini, seperti teknik kepenulisannya yang masih tumpang tindih, seperti menambalkan begitu saja data tanpa diolah secara lebih baik; kesalahan elementer seputar EYD; dan yang paling parah adalah kecolongan penulis dengan menulis ulang paragraf yang sebelumnya sudah ada (hal 36 dan 46). 

Kritik terakhir menengarai atau bahkan meyakinkan saya bahwa penulis buku ini terlihat terburu-buru dalam menekuni riset tentang data-data yang dipunyai. Bila saja penulis lebih sabar mendalami dan menghadirkan data-data historis secara detail-masif, atas beberapa bukti elementer, saya kira buku ini bisa jadi rekomendasi bagi para mahasiswa perbandingan agama dan yang berkaitan.

0 comments: