Monday, April 15, 2013

Telaah Perjumpaan Islam-Kristen

Studi sejarah ihwal dua agama besar dunia (Islam-Kristen) selalu berada dalam pusaran magnet yang hebat. Ia ditulis untuk membongkar lipatan demi lipatan linimasa lalu yang sengaja tak dituliskan (atau belum dituliskan) demi kepentingan faksi yang ingin kerunyaman dengan memanfaatkan penulisan sejarah. Namun sejarah akan selalu ditulis untuk melengkapi serangkaian peristiwa yang bolong dan sekaligus, seperti diingatkan oleh Gustave Flaubert, agar kita terhindar dari umpatan-umpatan terhadap masa kita sendiri. Juga, umpatan-umpatan kebencian yang kerap mengiringi perjalanan dan interaksi antar pemeluk dua agama di atas.

Buku Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen (A History of Christian-Muslim Relations)  karya Hugh Goddard seperti ingin memperjuangan apa yang dikatakan Flaubert. Buku ini telah mendadar data-data segar tentang perjumpaan Islam-Kristen baik pahit ataupun manis dengan mengelaborasi sumber-sumber sejarah dari kedua agama secara proporsional. Profesor Islamic and Middle Eastern Studies di University of Edinburgh dan sekaligus direktur the Prince Alwaleed Bin Talal Centre for the Study of Islam in the Contemporary World ini seperti seorang snooper yang berdiri di luar ring “medan pertempuran” kedua agama untuk meneliti dan menulis buku ini. Sehingga Goddard dengan ciamik mampu mengklasifikasikan dan menghadirkan fakta-fakta penting sesuai dengan tujuan awal, yaitu mencari titik jumpa kedua agama.

Karena ketekunannya, buku ini pun oleh penulis Orthodox Christians and Islam in the Postmodern Age, Andrew Sharp, dianggap sebagai satu dari beberapa karya penelitian dan kajian terbaik yang menghadirkan suatu periode sejarah dalam perspektif Islam-Kristen (Sharp, 2012: 12).

Bahkan Goddard mampu menghadirkan beberapa interpretasi menarik untuk mendukung data-data yang ditulisnya dengan menyuplik ayat-ayat suci kedua agama (seperti di halaman 29, 31, 99, 53, 58-65, 187). Dalam konteks ini, saya yakin bahwa Goddard telah lulus menempatkan dirinya sebagai sejarahwan yang mengabdi kepada data dan fakta yang ditemukannya. Dia bahkan mampu mengutip beberapa tulisan dari para teolog Islam seperti al-Asy’ari, al-Baqillani, dan al-Maturidi yang berseberangan dengan teologi agama Kristen sendiri (hal. 129). Kelebihan lain yang jarang sekali dilakukan oleh sejarahwan sebelumnya adalah ketekunan Goddard mencantumkan kronik-peristiwa sejarah berdasarkan angka tahun—yaitu tahun Masehi sebagai penanda sejarah atau simbol agama Kristen melaui sosok Kristus dan Hijriyah sebagai identitas agama Islam di bawah sejarah Nabi Muhammad—yang dituliskan secara berdampingan.

Lebih lanjut, buku ini tidak mau tidak harus dikatakan sebagai kelanjutan studi sejarah Islam yang telah dilakukan Goddard sebelumnya, khususnya melalui buku Christians and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding (1995) dan Muslim Perceptions of Christianity (1996). Buku pertama ingin mengedepankan dialog antar kedua agama dan menepis standar ganda seperti yang telah menjadi topik problem yang ditulis di halaman awal buku itu: yaitu tentang rendahnya mutual understanding kedua belah pihak (Goddard, 1995: 1). Buku kedua merupakan spesifikasi dan pendalaman dari beberapa sub-bab buku pertama, dan puncaknya adalah buku yang sedang dalam pembahasan kita kali ini.

Buku ini memulai sebuah diskripsi tentang kondisi Kristen sebelum Islam datang. Sebagai agama yang lahir lebih awal, Kristen sudah mempunyai tradisi yang jauh lebih civilized dalam konteks pemahaman keberagamaan. Agama ini pun menanggapi kemunculan Islam pada abad ketujuh/pertama dengan cara pandang yang sudah mapan mengenai agama-agama lain. Pandangan Kristen tersebut didasarkan pada tiga tradisi pemikiran: kitab suci yang mereka warisi dari kaum Yahudi, yakni Perjanjian Lama, kitab suci mereka sendiri (Perjanjian Baru), dan tradisi-tradisi pemikiran dan praktik Kristen yang berkembang pada periode Patristik, para Bapa Gereja Kristen (hal. 19).

Sebelum berjumpa Islam, Kristen lebih dulu bergulat dengan agama Yahudi. Dengan data cukup kuat, Goddard leluasa menjelaskan tentang pergulatan dan perselisihan awal antara Yahudi dan Kristen. Dia menyebutkan ada dua aspek yang melatari pandangan Kristen awal terhadap agama lain, yaitu hubungan mereka dengan umat Yahudi yang merupakan cikal-bakal Kristen, dan sikap mereka terhadap filsafat dan agama Yunani-Romawi yang ketika itu banyak dianut oleh masyarakat sekitar (hal. 22). Namun perpecahan terjadi ketika Yesus dan para pengikutnya, yang mula-mula memandang diri mereka sebagai orang Yahudi, disingkirkan dan bahkan para pemimpin Yahudi melakukan berbagai upaya untuk membuang para pengikut Yesus dari jamaat Yahudi (hal. 23).  Hal itulah yang mendorong umat Kristen awal memisahkan diri dari jamaat Yahudi dan komunitas Kristen yang tumbuh terpisah dan berbeda dari komunitas Yahudi disebut “Pemisahan Jalan”. Perpecahan itu rupanya semakin runyam dan pada akhirnya tragedi penyaliban terhadap Yesus pun tak terhindarkan.

Perjumpaan dan keseteruan

Sejak diutus menjadi nabi, perjumpaan (ajaran) Muhammad dengan kaum Kristen maupun Yahudi telah menjadi biang kontroversi yang dasyat di jazirah Arab. Ada dua arus yang sama-sama berseberangan. Pertama adalah kelompok yang menegaskan kemurnian ajaran Muhammad dan guna mendukung argumen tradisioanl bahwa ajarannya bersumber dari Allah dan bukan rekaan Muhammad sendiri, sehingga sebagian ulama menampik adanya hubungan antara Muhammad dan kaum Kristen ataupun Yahudi. Mereka berpendapat bahwa ajaran yang dibawa Muhammad sama sekali tidak dipengaruhi oleh tradisi keyakinan lain seperti Kristen, Yahudi atau lainnya. Di pihak lain, beberapa sarjana nonmuslim menegaskan bahwa ajaran Muhammad tidak orisinal, melainkan merupakan perkembangan dari tradisi Yahudi, atau Kristen, atau keyakinan Arab pra-Islam, atau merupakan perpaduan dari tradisi-tradisi tersebut (hal. 45). Medan seteru ini akhirnya saling menutupi beberapa fakta dan data sejarah yang semestinya bisa dibuka secara proporsional.

Bagi Goddard kedua pandangan di atas terlalu simplifikasi dan dia mampu menempatkan kembali sejarah perjumpaan kedua agama secara bijak. Dia mengemukakan data penting dari Ibn Ishaq yang terhimpun dalam kitab Sirah Rasulullah (th. 767/150). Ibn Ishaq menulis bahwa ada lima contoh penting terkait perjumpaan Muhammad dan kaum generasi pertama dengan orang Kristen. Di antaranya pertama, saat periode sebelum kenabian ketika Muhammad ikut dalam kafilah bersama pamannya, Abu Thalib, ke Suriah, dan di sana ia bertemu dengan seorang rahib bernama Bahira. Kedua, terjadi tak lama setelah Muhammad diangkat menjadi nabi. Setelah pertemuan dengan malaikat Jibril dan perintah untuk mendaraskan serta menyebarluaskan pesan yang kemudian menjadi lima ayat pertama surah ke-96, Muhammad terus memikirkan pengalamannya yang traumatis itu, bahkan ia nyaris menganggap dirinya telah menjadi gila. Tapi kegundahannya sirna ketika Waraqah menjelaskan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Muhammad akan menjadi nabi dari orang Arab. Waraqah adalah sepupu istri Muhammad, Khadijah, yang disebut oleh Ibn Ishaq sebagai “seorang alim Kristen yang telah mengkaji berbagai kitab suci”.

Ketiga, peristiwa ketika Mekkah genting dan Muhammad meminta para sahabat agar hijrah dari Mekah ke Abissinia, sebuah kerajaan Kristen Monofisit yang dipimpin oleh Raja Najasi. Ketika Mekkah genting, tempat itu telah menjadi tempat perlindungan pertama bagi kaum muslim awal. Peristiwa di tempat ini sungguh sangat mengharu-biru ketika Ja’far ibn Abu Thalib sebagai pemimpin kelompok itu membacakan ayat dari surah Maryam yang menjelaskan mukjizat dan kelahiran Yesus. Mendengar ayat itu, Raja Najasi mencucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya, dan para imam pun menangis bersedu-sedu hingga membasahi gulungan kitab suci mereka. Lalu raja itu pun berkata: “Demi Allah, wahyu ini dan ajaran Yesus berasal dari sumber yang sama” (hal. 47).

Tidak bisa ditutupi bahwa perjumpaan kedua agama dalam historis, baik dalam konteks teologis maupun dalam laku politik kekuasaan, adalah perjumpaan seteru, sebuah kontestasi dalam sejarah yang saling melenyapkan. Karena masa-masa itu menjadi medan perebutan legitimasi bagi kedua kelompok untuk mengklaim otoritas pembenaran terhadap sejarah masing-masing. Namun Goddard tidak ikut terlena dalam arus itu. Dia sudah menyelesaikan tugasnya secara ilmiah-akademis untuk menyampaikan temuan-temuan data ihwal perjumpaan Islam-Kristen di masa-masa awal khususnya, di mana pada saat itu sejarah perjumpaan keduanya terkesan ditutup-tutupi. Potensi dan kenyataan seperti itu sudah disadari oleh Goddard sejak awal sehingga dia bisa mendudukkan dua medan perseteruan tersebut ke dalam bidang dan serangkaian kajian historis yang memukau dalam buku ini. Goddard telah berhasil memasuki medan kajian riskan seperti ini dengan konsekwensi tuduhan dari kedua belah pihak ketika hasil penelitiannya ternyata menyamping ke salah satu kelompok. Dengan kekuatan data dan fakta sejarah yang berimbang dari para sarjana dan ahli dari/tentang kedua agama telah menempatkan karya ini sebagai pusaran perhatian sarjana dunia dan sekaligus dinobatkan sebagai karya terbaik yang membahas tentang perjumpaan Islam-Kristen secara intens khususnya sejarah awal keduanya.

Salah satu hal penting disinggung Goddard adalah Piagam Madinah sekitar periode setelah tahun 627/6 (hal. 67), sebuah dokumen penting yang mengatur hubungan antara umat Islam yang baru saja tiba di Yastrib/Madinah dengan orang-orang Yahudi dan suku-suku Arab yang lebih awal menjadi penduduk di sana. Goddard menyebutkan bahwa tindakan dan sikap Muhammad sangat toleran dan dalam peristilahan modern disebut dokumen yang cukup “liberal”. Periode-periode tersebut dideskripsikan dalam buku ini secara cerdas dengan menyuguhkan titik perjumpaan harmonis kedua belah pihak, dan bahkan dengan komunitas agama-agama tradisonal yang hidup di sekitar Madinah.

Di samping itu, Goddard mampu menjelaskan tentang pola-pola hubungan perjumpaan kedua agama dalam konteks budaya, sosial, politik dan aspek-aspek agama pada masa kejayaan Muhammad dan setelahnya, khususnya di daerah-daerah taklukan (hal. 92) seperti Bizantium, Suriah, Jerusalem hingga ke Afrika Utara, Spanyol, Asia Tengah pada abad-abad berikutnya.

Gelombang balik

Goddard tidak berhenti hanya mengupas perjumpaan Islam-Kristen di masa-masa awal tetapi juga secara tekun mencari titik perjumpaan antara kedua agama hingga di abad 20/14. Buku ini tak lupa mengupas konstelasi Perang Salib yang telah menjadi ajang perjumpaan dalam konteks agama, sosial, politik hingga ekonomi dalam konteks mendulang legitimasi sejarah kedua agama yang paling sensasional dalam sejarah agama-agama (hal. 164) khususnya untuk memperebutkan daerah kekuasaan Tanah Suci (al-ard al-muqaddasah) yaitu di daerah Palestina, Israel dan sebagian Yordania dan Lebanon. Di masa-masa itu titik-jumpa kedua agama diselimuti kabut hitam perseteruan paling hebat. Khusus setelah abad 13 hingga menjelang runtuhnya imperium Islam di Eropa, missionaris Kristen pelan-pelan membangun kekuatan di Eropa, Amerika dan Jerusalem sendiri (hal. 232). Manuver misi Kekristenan yang sebenarnya sudah menggeliat sejak tahun 826/211 ini tidak banyak disadari oleh dunia Islam yang tengah menikmati masa keemasan mereka. Hingga meletuslah Perang Salib dari abad 11 hingga 16 M, yang berakhir di masa Renaissance, di mana imperium dunia Islam luluh lantak.

Revolusi Perancis (1789/1204) dan Perang Dingin 1 (19-14/1332) telah menjadi saksi bagi prestasi spektakuler yang dicapai oleh misi Kristen serta menjadi perubahan perimbangan kekuatan antara dunia Kristen dan dunia Islam yang memuncak pada perkembangan imprealisme Barat (hal. 239). Di situlah masa yang oleh Goddard disebut “gelombang yang berbalik: Barat yang berdakwah dan Barat yang menjajah!”

Dalam catatan Goddard, puncak berikutnya yang tak kalah menarik sebagai “gelombang yang berbalik” adalah tumbuhnya kajian-kajian akademik Barat tentang Islam di Eropa dan Amerika (hal. 265), seperti yang dilakukan oleh Prof. Hugh Goddard sendiri hari ini.....

Digunting dari Kompas Cetak Edisi Minggu, 14 April 2013 

Tulisan dengan topik terkait silahkan dibaca di sini

0 comments: