Studi sejarah ihwal dua agama besar dunia (Islam-Kristen)
selalu berada dalam pusaran magnet yang hebat. Ia ditulis untuk membongkar lipatan
demi lipatan linimasa lalu yang sengaja tak dituliskan (atau belum dituliskan) demi
kepentingan faksi yang ingin kerunyaman dengan memanfaatkan penulisan sejarah. Namun
sejarah akan selalu ditulis untuk melengkapi serangkaian peristiwa yang bolong
dan sekaligus, seperti diingatkan oleh Gustave Flaubert, agar kita terhindar
dari umpatan-umpatan terhadap masa kita sendiri. Juga, umpatan-umpatan kebencian
yang kerap mengiringi perjalanan dan interaksi antar pemeluk dua agama di atas.
Buku Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen (A History of Christian-Muslim Relations) karya Hugh Goddard seperti ingin memperjuangan apa yang dikatakan Flaubert. Buku ini telah mendadar data-data segar tentang perjumpaan Islam-Kristen baik pahit ataupun manis dengan mengelaborasi sumber-sumber sejarah dari kedua agama secara proporsional. Profesor Islamic and Middle Eastern Studies di University of Edinburgh dan sekaligus direktur the Prince Alwaleed Bin Talal Centre for the Study of Islam in the Contemporary World ini seperti seorang snooper yang berdiri di luar ring “medan pertempuran” kedua agama untuk meneliti dan menulis buku ini. Sehingga Goddard dengan ciamik mampu mengklasifikasikan dan menghadirkan fakta-fakta penting sesuai dengan tujuan awal, yaitu mencari titik jumpa kedua agama.
Karena ketekunannya, buku ini pun oleh penulis
Orthodox Christians and Islam in the Postmodern Age, Andrew
Sharp, dianggap sebagai satu dari beberapa karya penelitian dan kajian terbaik yang
menghadirkan suatu periode sejarah dalam perspektif Islam-Kristen (Sharp, 2012: 12).
Bahkan Goddard mampu menghadirkan beberapa interpretasi
menarik untuk mendukung data-data yang ditulisnya dengan menyuplik ayat-ayat suci
kedua agama (seperti di halaman 29, 31, 99, 53, 58-65, 187). Dalam konteks ini,
saya yakin bahwa Goddard telah lulus menempatkan dirinya sebagai sejarahwan
yang mengabdi kepada data dan fakta yang ditemukannya. Dia bahkan mampu mengutip
beberapa tulisan dari para teolog Islam seperti al-Asy’ari, al-Baqillani, dan
al-Maturidi yang berseberangan dengan teologi agama Kristen sendiri (hal. 129).
Kelebihan lain yang jarang sekali dilakukan oleh sejarahwan sebelumnya adalah ketekunan
Goddard mencantumkan kronik-peristiwa sejarah berdasarkan angka tahun—yaitu tahun
Masehi sebagai penanda sejarah atau simbol agama Kristen melaui sosok Kristus dan
Hijriyah sebagai identitas agama Islam di bawah sejarah Nabi Muhammad—yang
dituliskan secara berdampingan.
Lebih lanjut, buku ini tidak mau tidak harus dikatakan
sebagai kelanjutan studi sejarah Islam yang telah dilakukan Goddard sebelumnya,
khususnya melalui buku Christians and Muslims: From Double Standards to
Mutual Understanding (1995) dan Muslim Perceptions of
Christianity (1996). Buku pertama ingin mengedepankan dialog antar
kedua agama dan menepis standar ganda seperti yang telah menjadi topik problem yang
ditulis di halaman awal buku itu: yaitu tentang rendahnya mutual understanding
kedua belah pihak (Goddard, 1995: 1). Buku kedua merupakan spesifikasi dan
pendalaman dari beberapa sub-bab buku pertama, dan puncaknya adalah buku yang
sedang dalam pembahasan kita kali ini.
Buku ini memulai sebuah diskripsi tentang kondisi Kristen
sebelum Islam datang. Sebagai agama yang lahir lebih awal, Kristen sudah
mempunyai tradisi yang jauh lebih civilized dalam konteks pemahaman
keberagamaan. Agama ini pun menanggapi kemunculan Islam pada abad ketujuh/pertama
dengan cara pandang yang sudah mapan mengenai agama-agama lain. Pandangan Kristen
tersebut didasarkan pada tiga tradisi pemikiran: kitab suci yang mereka warisi
dari kaum Yahudi, yakni Perjanjian Lama, kitab suci mereka sendiri (Perjanjian Baru),
dan tradisi-tradisi pemikiran dan praktik Kristen yang berkembang pada periode
Patristik, para Bapa Gereja Kristen (hal. 19).
Sebelum berjumpa Islam, Kristen lebih dulu bergulat
dengan agama Yahudi. Dengan data cukup kuat, Goddard leluasa menjelaskan tentang
pergulatan dan perselisihan awal antara Yahudi dan Kristen. Dia menyebutkan ada
dua aspek yang melatari pandangan Kristen awal terhadap agama lain, yaitu hubungan
mereka dengan umat Yahudi yang merupakan cikal-bakal Kristen, dan sikap mereka
terhadap filsafat dan agama Yunani-Romawi yang ketika itu banyak dianut oleh
masyarakat sekitar (hal. 22). Namun perpecahan terjadi ketika Yesus dan para pengikutnya,
yang mula-mula memandang diri mereka sebagai orang Yahudi, disingkirkan dan
bahkan para pemimpin Yahudi melakukan berbagai upaya untuk membuang para
pengikut Yesus dari jamaat Yahudi (hal. 23). Hal itulah yang mendorong umat Kristen awal
memisahkan diri dari jamaat Yahudi dan komunitas Kristen yang tumbuh terpisah dan
berbeda dari komunitas Yahudi disebut “Pemisahan Jalan”. Perpecahan itu rupanya
semakin runyam dan pada akhirnya tragedi penyaliban terhadap Yesus pun tak
terhindarkan.
Perjumpaan dan keseteruan
Sejak diutus menjadi nabi, perjumpaan (ajaran) Muhammad
dengan kaum Kristen maupun Yahudi telah menjadi biang kontroversi yang dasyat
di jazirah Arab. Ada dua arus yang sama-sama berseberangan. Pertama adalah
kelompok yang menegaskan kemurnian ajaran Muhammad dan guna mendukung argumen
tradisioanl bahwa ajarannya bersumber dari Allah dan bukan rekaan Muhammad sendiri,
sehingga sebagian ulama menampik adanya hubungan antara Muhammad dan kaum
Kristen ataupun Yahudi. Mereka berpendapat bahwa ajaran yang dibawa Muhammad
sama sekali tidak dipengaruhi oleh tradisi keyakinan lain seperti Kristen,
Yahudi atau lainnya. Di pihak lain, beberapa sarjana nonmuslim menegaskan bahwa
ajaran Muhammad tidak orisinal, melainkan merupakan perkembangan dari tradisi Yahudi,
atau Kristen, atau keyakinan Arab pra-Islam, atau merupakan perpaduan dari
tradisi-tradisi tersebut (hal. 45). Medan seteru ini akhirnya saling menutupi
beberapa fakta dan data sejarah yang semestinya bisa dibuka secara
proporsional.
Bagi Goddard kedua pandangan di atas terlalu simplifikasi
dan dia mampu menempatkan kembali sejarah perjumpaan kedua agama secara bijak.
Dia mengemukakan data penting dari Ibn Ishaq yang terhimpun dalam kitab Sirah
Rasulullah (th. 767/150). Ibn Ishaq menulis bahwa ada lima contoh penting
terkait perjumpaan Muhammad dan kaum generasi pertama dengan orang Kristen. Di
antaranya pertama, saat periode sebelum kenabian ketika Muhammad ikut
dalam kafilah bersama pamannya, Abu Thalib, ke Suriah, dan di sana ia bertemu
dengan seorang rahib bernama Bahira. Kedua, terjadi tak lama setelah Muhammad
diangkat menjadi nabi. Setelah pertemuan dengan malaikat Jibril dan perintah
untuk mendaraskan serta menyebarluaskan pesan yang kemudian menjadi lima ayat pertama
surah ke-96, Muhammad terus memikirkan pengalamannya yang traumatis itu, bahkan
ia nyaris menganggap dirinya telah menjadi gila. Tapi kegundahannya sirna
ketika Waraqah menjelaskan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Muhammad akan
menjadi nabi dari orang Arab. Waraqah adalah sepupu istri Muhammad, Khadijah,
yang disebut oleh Ibn Ishaq sebagai “seorang alim Kristen yang telah mengkaji
berbagai kitab suci”.
Ketiga, peristiwa ketika Mekkah genting dan Muhammad meminta para
sahabat agar hijrah dari Mekah ke Abissinia, sebuah kerajaan Kristen Monofisit
yang dipimpin oleh Raja Najasi. Ketika Mekkah genting, tempat itu telah menjadi
tempat perlindungan pertama bagi kaum muslim awal. Peristiwa di tempat ini
sungguh sangat mengharu-biru ketika Ja’far ibn Abu Thalib sebagai pemimpin
kelompok itu membacakan ayat dari surah Maryam yang menjelaskan mukjizat dan
kelahiran Yesus. Mendengar ayat itu, Raja Najasi mencucurkan air mata hingga
membasahi jenggotnya, dan para imam pun menangis bersedu-sedu hingga membasahi
gulungan kitab suci mereka. Lalu raja itu pun berkata: “Demi Allah, wahyu ini dan
ajaran Yesus berasal dari sumber yang sama” (hal. 47).
Tidak bisa ditutupi bahwa perjumpaan kedua agama dalam
historis, baik dalam konteks teologis maupun dalam laku politik kekuasaan,
adalah perjumpaan seteru, sebuah kontestasi dalam sejarah yang saling melenyapkan.
Karena masa-masa itu menjadi medan perebutan legitimasi bagi kedua kelompok
untuk mengklaim otoritas pembenaran terhadap sejarah masing-masing. Namun
Goddard tidak ikut terlena dalam arus itu. Dia sudah menyelesaikan tugasnya
secara ilmiah-akademis untuk menyampaikan temuan-temuan data ihwal perjumpaan
Islam-Kristen di masa-masa awal khususnya, di mana pada saat itu sejarah
perjumpaan keduanya terkesan ditutup-tutupi. Potensi dan kenyataan seperti itu
sudah disadari oleh Goddard sejak awal sehingga dia bisa mendudukkan dua medan
perseteruan tersebut ke dalam bidang dan serangkaian kajian historis yang memukau
dalam buku ini. Goddard telah berhasil memasuki medan kajian riskan seperti ini
dengan konsekwensi tuduhan dari kedua belah pihak ketika hasil penelitiannya
ternyata menyamping ke salah satu kelompok. Dengan kekuatan data dan fakta
sejarah yang berimbang dari para sarjana dan ahli dari/tentang kedua agama
telah menempatkan karya ini sebagai pusaran perhatian sarjana dunia dan
sekaligus dinobatkan sebagai karya terbaik yang membahas tentang perjumpaan
Islam-Kristen secara intens khususnya sejarah awal keduanya.
Salah satu hal penting disinggung Goddard adalah Piagam
Madinah sekitar periode setelah tahun 627/6 (hal. 67), sebuah dokumen penting yang
mengatur hubungan antara umat Islam yang baru saja tiba di Yastrib/Madinah
dengan orang-orang Yahudi dan suku-suku Arab yang lebih awal menjadi penduduk di
sana. Goddard menyebutkan bahwa tindakan dan sikap Muhammad sangat toleran dan dalam
peristilahan modern disebut dokumen yang cukup “liberal”. Periode-periode tersebut
dideskripsikan dalam buku ini secara cerdas dengan menyuguhkan titik perjumpaan
harmonis kedua belah pihak, dan bahkan dengan komunitas agama-agama tradisonal
yang hidup di sekitar Madinah.
Di samping itu, Goddard mampu menjelaskan tentang pola-pola
hubungan perjumpaan kedua agama dalam konteks budaya, sosial, politik dan
aspek-aspek agama pada masa kejayaan Muhammad dan setelahnya, khususnya di
daerah-daerah taklukan (hal. 92) seperti Bizantium, Suriah, Jerusalem hingga ke
Afrika Utara, Spanyol, Asia Tengah pada abad-abad berikutnya.
Gelombang balik
Goddard tidak berhenti hanya mengupas perjumpaan Islam-Kristen
di masa-masa awal tetapi juga secara tekun mencari titik perjumpaan antara
kedua agama hingga di abad 20/14. Buku ini tak lupa mengupas konstelasi Perang
Salib yang telah menjadi ajang perjumpaan dalam konteks agama, sosial, politik
hingga ekonomi dalam konteks mendulang legitimasi sejarah kedua agama yang
paling sensasional dalam sejarah agama-agama (hal. 164) khususnya untuk
memperebutkan daerah kekuasaan Tanah Suci (al-ard al-muqaddasah) yaitu
di daerah Palestina, Israel dan sebagian Yordania dan Lebanon. Di masa-masa itu
titik-jumpa kedua agama diselimuti kabut hitam perseteruan paling hebat. Khusus
setelah abad 13 hingga menjelang runtuhnya imperium Islam di Eropa, missionaris
Kristen pelan-pelan membangun kekuatan di Eropa, Amerika dan Jerusalem sendiri (hal.
232). Manuver misi Kekristenan yang sebenarnya sudah menggeliat sejak tahun
826/211 ini tidak banyak disadari oleh dunia Islam yang tengah menikmati masa
keemasan mereka. Hingga meletuslah Perang Salib dari abad 11 hingga 16 M, yang
berakhir di masa Renaissance, di mana imperium dunia Islam luluh lantak.
Revolusi Perancis (1789/1204) dan Perang Dingin 1
(19-14/1332) telah menjadi saksi bagi prestasi spektakuler yang dicapai oleh
misi Kristen serta menjadi perubahan perimbangan kekuatan antara dunia Kristen
dan dunia Islam yang memuncak pada perkembangan imprealisme Barat (hal. 239).
Di situlah masa yang oleh Goddard disebut “gelombang yang berbalik: Barat yang
berdakwah dan Barat yang menjajah!”
Digunting dari Kompas Cetak Edisi Minggu, 14 April 2013
Tulisan dengan topik terkait silahkan dibaca di sini
0 comments:
Post a Comment