(Suatu waktu di musim panas, sekitar awal bulan Juni 2013, sebelum saya mendapatkan kabar tentang diterima-tidaknya aplikasi beasiswa ke Turki, saya iseng menerjemahkan esai berikut dari versi bahasa Inggris yang ditulis oleh Orhan Pamuk (versi asli Bahasa Turki). Setelah tiba di Turki, merasai kultur dan mereguk sedikit pengalaman di tahun pertama, saya menemukan spirit esai Pamuk ini sebagai komplemen bagi dirinya yang berdiri tegak sebagai penulis yang independen--dalam artian membela nilai-nilai yang diyakininya di nyaris semua tulisannya. Saya temukan file ini terselip di folder dan langsung mengunggahnya di sini sebelum lenyap sama sekali.)
Supaya mengerti tentang protes di Taksim
Square, Istanbul, minggu ini, dan memahami mereka, rakyat yang berani turun di
jalanan, melawan polisi dan terhempas gas airmata, saya ingin berbagi sebuah
pengalaman pribadi. Dalam buku memoar berjudul Istanbul: Memories and the
City, saya menulis tentang keluarga saya yang tinggal di sebuah flat bernama apartemen Pamuk, di Nisantasi. Di depan
degung ini tumbuh pohon kastanye (chestnut) yang berusia lima puluh tahun, dan syukur masih
berdiri kokoh di sana. Tahun 1957, pegawai kotamadya memutuskan untuk menebas pohon
itu demi memperluas jalan. Pemerintah yang pongah dan walikota yang otoritarian
lalai terhadap perlawanan dari para tetangga. Ketika tiba waktu pembabatan
pohon itu, keluarga kami menghabiskan waktu sehari semalam di jalan, melindungi
pohon itu. Dengan cara begini, kami tidak hanya menjaga pohon tapi juga menciptakan
kenangan bersama, di mana semua keluarga masih mengenangnya dalam kebahagiaan,
dan telah mengikat kami semua bersama-sama.
Hari ini, Taksim Square adalah sebuah pohon kastanye
milik Istanbul. Saya telah tinggal di Istanbul selama 60 tahun lebih, dan saya
tidak bisa membayangkan ada satu penduduk kota ini yang tidak mempunyai
setidaknya satu kenangan yang berhubungan dengan Taksim Square. Tahun 1930, barak-barak
artileri yang sudah lapuk, dimana hari ini pemerintah ingin menjadikannya sebagai
gedung pusat perbelanjaan, berisi stadion kecil yang menghelat pertandingan
resmi. Klub sepakbola terkenal Taksim Gazino, yang telah menjadi pusat
kehidupan malam Istanbul tahun 1940-an hingga 50-an, berdiri di pojok Taman
Gezi. Kemudian, gedung-gedung itu dihancurkan, pohon-pohon ditebang,
pohon-pohon baru ditanam, barisan toko dan galeri seni paling terkenal di
Istanbul dibangun di sepanjang sisi taman. Pada tahun 1960-an, saya bermimpi
untuk menjadi seorang pelukis dan memamerkan karya saya di galeri ini. Tahun 70-an,
Taksim Square menjadi rumah untuk perayaan Hari Buruh yang penuh antusias, dipimpin
oleh serikat kaum buruh kiri dan banyak organisasi non-pemerintah; di mana pada
kala itu, saya ambil bagian dalam perayaan ini (tahun 1977, 42
orang terbunuh karena ledakan yang dipicu oleh provokasi kekerasan dan chaos
yang tak terhindarkan.)
Pada waktu muda, saya menyaksikan dengan penasaran
dan kesenangan semua perilaku partai politik—sayap kanan dan sayap kiri, nasionalis,
konservatif, sosialis, dan sosial-demokrat—tumpah ruah di Taksim.
Tahun ini, pemerintah melarang perayaan Hari
Buruh di taman itu. Karena menjadi ruang publik, semua orang di Istanbul tahu
bahwa mereka akan melawan rencana pembangunan pusat perbelanjaan di
satu-satunya ruang hijau yang tersisa di tengah kota. Membuat perubahan yang
sedemikian signifikan terhadap taman kota yang telah mengerami kenangan jutaan
orang tanpa rembug lebih dulu dengan rakyat Istanbul adalah petaka besar yang
dilakukan sendiri oleh pemerintahan Erdogan. Langkah tak sensitif ini jelas
merefleksikan arah pemerintahan menuju otoritarianisme. (Hak Asasi Manusia
Turki mencatat bahwa sekarang lebih parah daripada satu dekade sebelumnya).
Tapi itu memberiku harapan dan keyakinan untuk melihat bahwa rakyat Istanbul
tidak akan melepaskan hak mereka untuk melakukan demonstrasi politik di Taksim
Square—atau melepaskan kenangan mereka—tanpa sebuah perlawanan.
Tulisan di atas diterjemahkan dari bahasa Turki
oleh Ekin Oklap dan dimuat di The New
Yorker edisi 5 Juni 2013 dengan judul Memories of a Public Square.
0 comments:
Post a Comment