Judul: Lukisan Neraka
Penulis: Ryunosuke Akutagawa
Penerbit:
Kansha Publishing, 2013
Tebal:
200 halaman
Ryunosuke Akutagawa (1892-1927) adalah sosok yang kompleks, baik sebagai pribadi, gagasan, ataupun imajinasi-imajinasi liar yang tak-terhindarkan
membubuhi karya-karyanya. Kompleksitas-diri tersebut, pengalaman hidupnya sendiri yang kemudian
menggelandangnya dalam medan kreatif, telah mewarnai lanskap
dan atmosfir proses kreatif dan risalah imajiner dalam prosa-prosanya
yang sulit tergantikan, dan bahkan disebut-sebut
menjadi tonggak cerita pendek (cerpen) Jepang modern.
Julukan Father
of The Japanese Short Story saya kira sangat layak disandangkan sebagai justifikasi eksistensi kepengarangannya dalam jagat prosa, juga pun pengabadian namanya dalam sebuah ajang penganugerahan sastra paling disegani
di Jepang, yaitu
Akutagawa Prize.
Kehidupan Akutagawa
memang tak panjang. Rentang usia yang hanya sampai di angka usia 35 tahun
tersebut diisi dengan gairah menggebu dalam menulis sastra. Ia menulis sekitar 200
karya: puisi, esai dan 149 cerpen dan karya sastra terjemahan para peraih Nobel
seperti William Butler Yeats (1923) dan
Anatole France (1921). Keberanian memublikasikan karya dimulai ketika ia
kuliah Sastra Inggris di Tokyo Imperial
University, pada usianya berkisar 23, menjadi cerpenis Jepang pertama yang secara
tekun menjembatani dialog sastra lokal dengan Barat. Saat itu sebenarnya adalah
“momentum ledakan” dari Akutawaga yang sejak kecil sudah tergila-gila pada buku,
seorang anak yang oleh ayahnya disematkan nama “Ryunosuke” yang berarti “anak
Dragon”, karena lahir pada jam, hari, bulan dan tahun Dragon—hadiah kepercayaan
masyarakat Asia Timur.
Akutagawa adalah sepotong
sejarah ganjil. Lahir dari
seorang ibu yang lalu
menjadi gila. Ia pun terpaksa harus hidup dalam asuhan saudara sang ibu. Penyakit halusinasi dan rasa takut berlebihan yang dialami ibunya mewarisi Akutagawa sehingga dia
benar-benar tidak kuat dan memutuskan bunuh diri di usia 35.
Rentang hidup yang lumayan pendek tersebut tidak membatasi Akutagawa untuk
menjelajahi dunia imajinasi dengan cara ungkap bahasa yang khas. Meski tema yang diangkat universal yang oleh Yasuyoshi
Sekiguchi, seorang profesor emeritus dari Tsuru
University, disebut “timeless themes
of world literature”, cara Akutagawa
dengan memainkan kontradiksi (God and devil), misunderstanding, ketidakpastian (uncertainty) dan sesuatu yang tak logis dengan teknik gaya
bahasa yang kuat (stylistic virtuosity) telah menjadi cirikhas dirinya secara dominan. Tema-tema sejarah
lokal pun (berlatar seperti akhir periode Heian ataupun periode Meiji) disuguhkan
dengan teknik penceritaan modern melalui alegori sekaligus sarkasme yang menohok.
Kemasan sarkastik dengan benturan-benturan nilai yang
melebihi kontradiksi dan bahkan tidak masuk akal dikelola secara konsisten oleh
Akutagawa sehingga jalan
yang ditempuhnya menjadi ruang pembelajaran paling
menjanjikan dalam prosanya. Tak berlebihan
jika kemudian Haruki Murakami menyebut Akutagawa sebagai cerpenis yang
karya-karyanya tidak pernah melelahkan untuk dibaca. Salah satunya bisa
ditemukan dalam buku kumpulan cerpen Lukisan
Neraka.
Banyak pembaca dari
luar Jepang berkenalan dengan prosa Akutagawa melalui Rashomon,
the Noise, Kappa, Hell Screen, The Spinning Gears, dan In a
Grove. Cerpen-cerpen yang saya sebutkan ini dianggap sebagai masterpiece-nya. Saat ini kita
berhadapan dengan salah satu karya terbaiknya, yaitu Lukisan Neraka (Hell Screen). Dalam buku ini, ada satu cerpen yang
tipkal Lukisan Neraka, yaitu Roda Bergerigi (Spinning Gears). Dua cerpen panjang tersebut saya kira layak
menjadi salah satu karya terbaik Akutagawa, tentang kecanggihan berbahasa, rekayasa
plot, kemampuan mengelola kontradiksi, keliaran imajinasi dan suspensi, dan kemasan-kemasan
sarkastik yang tak terelakkan.
***
Bagi kita
yang ingin menapaki litani imajinasi dalam dunia cerita dengan suspensi yang menyiksa, jangan pernah melewatkan buku Lukisan Neraka ini. Jika tidak
sempat membaca Roda Bergerigi (hal
64-124), setidaknya kita harus bersabar dengan sebuah cerita panjang setebal 59 halaman berjudul Lukisan Neraka. Saya jamin Akutagawa tak sia-sia menuliskan prosa panjang berjudul Lukisan
Neraka ataupun
Roda Bergerigi kepada pembaca sastra
di seantero dunia.
Scanned book's cover |
Kisah itu bermula dari tangan Yoshihide, seorang pelukis istana potensial yang mengabdi kepada Pangeran Besar di Horikawa. Kerena
perangainya yang aneh, dekil, sifat buruknya yang tak kepalang: pelit, tak tahu
malu, pemalas, dan serakah (hal 13), diimbuhi imajinasinya yang liar
dan ganjil di mata orang lain, dia harus menerima pengucilan oleh rekan-rekannya. Bahkan karena keburukan postur dan sifat hidupnya, dia
dijuluki Saruhide, si Monyet Hide. Namun bukan Yoshihide namanya jika
cepat mengalah. Di antara beberapa hasil lukisannya yang di luar mainstream, dia merasa belum puas dan memohon izin kepada Pangeran Besar untuk melukis sesuatu
yang sulit, yaitu lukisan tentang neraka, yang
sebenarnya sudah digarap tapi tidak tahu kapan selesainya.
Karena sifat bandelnya yang parah, sang Pangeran Besar mulai memperhatikan Yoshihide.
Dalam
pada itu sang Pangeran Besar juga tidak bisa menutupi
perasaan senang kepada putri semata wayang Yoshihide yang menjadi pelayan di
istana dan (ternyata)
telah meluluhkan hatinya. Dasar pongah, kecurigaannya kepada Pengeran
Besar yang ingin menyunting
putrinya menjadi selir ditunjukkan secara verbal dan dia meminta putrinya keluar dari puri istana.
Siapa yang tak berang mendengar kabar pembangkangan si “monyet” Yoshihide di
tengah
kemegahan istana yang penuh khidmat?
Tapi, lagi-lagi, Pangeran Besar tetap memperlakukan Yoshihide secara khusus.
Sebagai penganut aliran ekspresionis
yang ingin melukis neraka, Yoshihide mengutarakan
keinginannya kepada Pangeran Besar untuk menyaksikan sebuah peristiwa nyata tentang
api neraka pada
sebuah kereta yang dibakar dan di dalamnya ada seorang perempuan
mengerang-erang karena terpanggang bara api yang berkobar; daging dan tulang-belulangnya meleleh; dan rambutnya memijarkan bunga
api, berhamburan sejauh pandang. Sebuah
hasrat demi menghadirkan neraka dan disaksikannya sendiri!
Sebenarnya jauh
sebelum itu, Yoshihide sudah memraktikkan kehidupan neraka dengan menyiksa
murid-muridnya di galeri pribadinya (hal 34). Tapi dia merasa masih kurang!
Dengan skenario yang matang, Pangeran Besar mengabulkan permintaan Yoshihide. Setelah waktunya tiba, dia
menyaksikan pengalaman akbar tersebut dari kejauhan, di
balik remang pepohonan. Sang Pangeran
Besar menandaskan bahwa perempuan yang dirantai dalam kereta yang dibakar itu
adalah seorang istri pendosa (hal 52).
Berselang sekitar
sebulan dari peristiwa itu, dengan bangsa Yoshihide membawa lukisan neraka ke istana; penuh khidmat ditunjukkan di hadapan Pangeran Besar. Lukisan yang mengerikan—seolah-olah
secara nyata menghadirkan
kesengsaraan dan kekejian “dunia neraka”—mendapatkan pujian sebagai karya besar oleh siapa pun yang
melihatnya.
Namun, ada yang belum benar-benar Yoshihide tahu, bahwa perempuan yang
dirantai dan dibakar di dalam kereta sebulan silam tersebut adalah putrinya sendiri. Mendengar kabar itu, satu malam berikutnya, Yoshihide langsung bunuh diri dengan sehelai tali yang diikatkan pada
palang kayu di atap kamarnya (hal 61).
Lanskap cerita
di atas, kisah nyeri Yoshihide tentang cinta
kepada sang putri dan sekaligus ambisi untuk sebuah lukisan diramu dengan penuh
kejutan dan tensi yang tinggi di tangan Akutagawa.
***
Di sini saya
merasa bahwa Akutagawa telah sempurna membuat pembaca terteror. Ia
ciamik mengedor-ngedor emosi dengan plot yang diramunya. Cerita skuel dari bagian 1-20 ini disulap seperti
sebuah pertunjukan sirkus. Ia dengan leluasa memotong satu narasi dan
mengalihkan pada narasi lain dalam satu bingkai cerita. Ia menjadi narator dan
sekaligus penonton dari sebuah peristiwa besar di balik pembuatan Lukisan
Neraka. Antara berjarak dan tidak (dengan peristiwa), Akutagawa memainkan
perannya secara lihai untuk meneror dan sekaligus mengacak-acak emosi dan
fantasi pembaca. Ia menjadi pegawai kerajaan, tapi tidak serta merta
menunjukkan dirinya sebagai narator serba-tahu dengan penyuguhan kata “saya” sebagai dominan pemerannya. Si narator “saya” seperti timbul
dan tenggelam. Atau sengaja sembunyi untuk mengarahkan pembaca kepada sumbu imajinasi
yang telah dibuatnya tergobang-gobang.
Teknik bercerita dengan kedalaman imajinasi yang tanpa batas dari Akutagawa
perlu dipelajari sebagai bentuk ihtiar proses kreatif dan sekaligus citarasa kesungguhan dalam menulis prosa. Jika cerpenis kita tidak mampu melahirkan dunia rekaan
yang berkarakter dengan imajinasi tingkat tinggi, karya
demikian tak lebih dari sekedar impresi-sintimentil,
rekaman kasar atas realita yang pasti akan takluk dari tayangan televisi yang tak jarang membuat kita terperangah, atau bahkan
kerap seperti pertunjukan fiksi. Ihwal eksplorasi
imajinasi adalah lessons learned dari Akutagawa. Imajinasi yang sublim akan menyuguhkan ruang
pengembaraan yang menerobos batas dan merongrong tirani yang telah memasung
perspektif kita. Akutagawa memaksa pembaca untuk berpikir out of the box,
menjelajahi dunia luar-liar, sadis dan mencekam sekalipun.
Sampai di sini, saya teringat Marques de Sade (1740-1814) yang diakui sebagai pioner penulisan cerita-cerita
sadisme dengan eksplorasi tubuh sebagai lokus. Dia nyaris seperti tokoh pelukis
dalam Lukisan Neraka Akutagawa: mengalami sendiri peristiwa-peristiwa untuk karyanya. De Sade harus ringkih dalam kubangan penjara
untuk memperjuangkan hasrat menulis. Sementara Akutagawa melalui tokoh
Yoshihide harus berperang dengan imajinasi dan halusinasi, kebiasaan yang memperparah
penyakit mentalnya
sendiri yang akhirnya menjemput nyawanya tahun 1927.
Di samping cerita Lukisan Neraka, dalam buku ini disertakan lima potongan prosa dari Akutagawa yang sama-sama istimewa, seperti Kehidupan Seorang Bebal, Dewa Agni, Gerobak Dorong, dan Jeruk. Untuk prosa-prosanya dalam rentang tahun 1920-an, nyaris menjadi autobiografi tentang kompleksitas-diri seorang Akutawaga.
Di samping cerita Lukisan Neraka, dalam buku ini disertakan lima potongan prosa dari Akutagawa yang sama-sama istimewa, seperti Kehidupan Seorang Bebal, Dewa Agni, Gerobak Dorong, dan Jeruk. Untuk prosa-prosanya dalam rentang tahun 1920-an, nyaris menjadi autobiografi tentang kompleksitas-diri seorang Akutawaga.
(Tulisan ini dalam versi cetaknya terkumpul dalam Jurnal Poetika, Jurnal Ilmu Sastra Program Studi S2, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Volume II Nomor 1 April 2014).
0 comments:
Post a Comment